ZONA NYAMAN
Disetiap lekuk bangunan tua yang berdiri kokoh menemani pagi cerah di taman kota. Ramai lalu lalang orang dan kendaraan serta hiruk pikuk masyarakat tumpah ruah dihari minggu ketiga bulan Desember. Seperti gadis berambut sebahu yang diberdiri memotret berbagai aktivitas di taman untuk referensi perjalanan liburan sebelum dia kembali ke ibu kota, memulai pekerjaan yang menunggu dituntaskan.
Mitha berjalan menyisiri sudut taman, menangkap pose demi pose close up beberapa orang yang tengah menampilkan berbagai ekspresi dilayar kamera DSLRnya. Dia tersenyum sambil mengamati foto-foto yang sekarang mendiami kamera milik gadis itu. Dirasa cukup, dia berjalan ke arah warung tenda di sebelah utara taman. Perutnya keroncongan, tadi pagi dia hanya mengonsumsi sebungkus roti seharga seribu rupiah yang dibelinya dari warung rumahan, belum lagi air mineral dibotol tinggal setengah. Akhirnya dia memutuskan membeli soto di warung tenda.
Langkah gadis itu terhenti saat berpapasan dengan seorang laki-laki berkaos hitam yang berjalan berlawanan arah dengannya. Mitha terus mengamati orang tersebut, jantungnya mendadak ditabuh keras, pengelihatannya meremang seketika. Kilasan ingatan-ingatan tertarik menampilkan kehadiran sosok masa lalu yang dia rindukan.
Mitha semakin dekat dengan laki-laki itu, namun jarak dari sedekat ini tak membuat si objek menghiraukan keberadaan Mitha. Tak ingin kehilangan kesempatan untuk kedua kali, Mitha berjalan cepat dan mencekal pergelangan tangan laki-laki dari masa lalunya.
Raut muka terkejut terlihat dari wajah Mitha dan lelaki itu. Mereka berpandangan sejenak sebelum suara Mitha memecahkan kecanggunan diantara keduanya.
"Gue mau bicara."
\\ ZONA NYAMAN //
Seperti dahulu, masa kecil mereka dihabiskan berdua. Membuat secuplik memori indah yang terkenang sepanjang masa. Mereka adalah dua anak adam dan hawa yang bersatu lalu berpisah oleh keegoisan masing-masing. Mereka tak pernah berpikir untuk menyakiti satu sama lain, mereka saling menghadirkan rasa nyaman ketika bersama. Hari-hari selalu dihabiskan mereka berdua dengan sebuah canda dan tawa, terkadang kisah pilu ikut andil memperdalam ikatan batin keduanya.
Namun, setelah kejadian lima tahun lalu, yang mengharuskan salah satu dari mereka mengalah, semuanya bubar. Tak ada kata perpisahan diujung akhir pertemuan mereka kala itu. Keduanya saling bungkam, enggan menyuarakan isi hati masing-masing. Sampai pada akhirnya, mereka berdua sama-sama tersakiti.
Kini keduanya kembali bertemu, merajut sebuah benang penghubung yang telah lama putus. Menghidupkan lagi memori usang yang tersimpan jauh di dalam otak.
Mitha menundukkan kepala, meremas ujung baju yang dikenakan gadis itu. Sedangkan laki-laki yang dicegatnya hanya menatap mitha, mengenali lagi gadis yang berhasil menjatuhkan hatinya sampai berkeping-keping.
"Mau ngomong apa, Tha?" Tanya Faris saat Mitha hanya diam saja selama lima menit.
Mereka duduk di pelataran balai pertemuan dekat taman. Orang-orang mulai ramai duduk di sana sembari memakan jajanan murah dari pedagang kaki lima dan asongan. Faris ingin membenarkan anak rambut Mitha yang bersliweran di depan wajah gadis itu, dia merindukan hal yang sering dilakukan agar wajah Mitha tetap terlihat di matanya. Tapi, lagi-lagi Faris mengurungkan niat ketika teringat luka lama yang belum sembuh.
"Aris, gue... " kata Mitha tertahan. Dia tetap menundukkan kepala, tak berani menatap Faris.
"Kalo lo nggak bisa ngomong sekarang, besok gue ada waktu luang setelah kuliah." Tandas Faris.
"Enggak, gue mau ngomong sekarang." Mitha memberanikan diri menatap kedua iris wata cokelat gelap yang sangat-sangat dia rindukan. Oh Tuhan, Mitha masih bisa melihat goresan luka yang dia buat di balik beningnya mata itu. Lagi-lagi Mitha dilanda kerisauan.
"Kalo gitu cepetan ngomong." Kebiasan lama Faris, selalu to the point.
Mitha menarik napas dalam-dalam dan panjang, mengusir segala keresahan hati dan rasa malu yang teramat sangat. Kemudian dialihkan pandangan itu ke wajah Faris. Wajah yang lima tahun lalu menemaninya mengisi ruang-ruang kosong dalam hidupnya. Wajah yang lima tahun lalu menampilkan tawa dan senyum hangat, terkadang rasa malas dan sebal yang ditahan. Dia benar-benar merindukan Faris seutuhnya.
"Gue minta maaf, Ris." Katanya pelan. "Seharusnya gue enggak melarang lo waktu itu. Itu hak lo buat suka sama gue. Tapi, perlu satu hal yang lo tahu, gue takut kehilangan lo sama seperti saat ini." Mitha menatap teduh Faris.
Sedangkan lelaki itu menampilkan ekspresi datar yang tidak bisa dibaca. Dia mendengkus pelan. "Ya, itu hak gue. Dan seharusnya elo enggak usah larang gue buat suka sama lo, Tha."
Mitha menundukkan kepala, keberanian yang tadi mencuat ke permukaan lenyap ditelan bumi. Ini kesalahannya atau bisa dibilang keegoisannya, dia melarang Faris untuk menaruh hati padanya yang waktu itu sedang menjalin hubungan dengan kakak kelas yang Mitha sukai. Dia salah mengambil langkah karena keputusan bodohnya dia kehilangan sosok Faris yang selama ini setia menemani dia, setia mendengarkan celotehan tidak pentingnya, setia mengajarkan PR yang rumitnya--astaga mending nyemplung di gorong-gorong dari pada hafalan rumus seambrek, tapi Faris tidak mengeluh bila Mitha belum paham, dia akan tetap mengajarkan kepada gadis itu sampai bisa.
Seharusnya dia berterima kasih pada Faris, bukan malah menyalahkan laki-laki itu karena telah mencintainya.
"Gue gagal paham sama kemauan lo, Tha. Bisa-bisanya waktu itu lo ngomong jangan pernah suka sama lo dan gue harus hilangin perasaan gue terhadap lo? Emang lo siapa, lo Tuhan? Yang dengan seenaknya membolak balikkan hati orang? Lo enggak pernah hargai gue, Tha." Faris terpancing emosi yang terpendam lama. Dia mengerang frustasi setelah melihat Mitha hanya mendundukkan kepala sambil menggulung ujung bajunya pertanda dia ketakutan.
Fuck you, Faris. Lo buat dia nangis lagi, makinya dalam hati. Faris tidak bisa melihat Mitha menangis bersedih, dia bahkan pernah mengikrarkan janji untuk menghabisi siapa pun yang membuat Mitha bersedih. Tapi apa yang dia lakukan sekarang? Dia yang membuat Mitha menangis. Faris tak lebih serupa dengan bajingan yang sering dia maki-maki.
"Sekarang mau lo apa, Tha? Gue udah maafin lo, gue udah berusaha menghapus perasaan gue ke lo, sekarang mau lo apa lagi, Mitha Reisvati?" Demi apapun itu, Faris ingin memukul mulutnya yang berkata sarkas pada Mitha.
Gadis itu perlahan mengangkat wajahnya, di sana terlihat jalur air mata, kedua mata polos itu tertutup cairan bening. Faris semakin kalap ketika menemukan Mitha sedang menangis karena perbuatannya. Dia memaki maki dirinya sendiri. Kenapa garis takdir hidupnya begitu rumit? Kenapa semua yang diinginkannya mendadak runyam? Faris mengacak kasar rambutnya.
"Gue enggak ingin apa-apa dari lo, Ris." Mitha mengusap pelan air matanya. "Makasih Aris udah maafin gue. Sepertinya lo lebih baik tanpa kehadiran gue. Maaf, Ris udah ganggu lo." Setelah mengucapkan kata itu, Mitha berencana pergi daripada harus bergulat dengan rasa sakit.
Tetapi, kepergian Mitha ditahan oleh Faris. Dia menatap sebentar Faris lalu duduk kembali di posisinya semula.
"Dengerin gue. Gue ingin lo dengerin gue tanpa memutus perkataan gue." Kata Faris tegas. "Tha, gue enggak tahu harus gimana lagi ngomong sama lo. Gue telanjur kecewa sama keputusan sepihak lo menyuruh gue menghapus perasaan gue sama lo. Lo bukan Tuhan, Tha. Lo manusia biasa yang enggak punya hak buat atur kehidupan gue, termasuk rasa suka gue. Jadi jangan pernah lagi suruh-suruh gue buat hapus rasa suka ini, karena sampe kapan pun gue enggak bisa."
Mata Mitha membola, terkejut. Dia hampir limbung ke belakang mendengar kata-kata itu. Sampai saat ini Faris masih mencintainya sama seperti lima tahun lalu. Entah mengapa dia merasa senang, perasannya terbalaskan, namun bukan itu yang penting sekarang, dia harus menyelesaikan masalah hati dengan Faris.
"Tahu nggak Tha perasaan gue saat lo ngomong kayak lima tahun lalu? Gue berasa ingin bunuh diri aja, mungkin kedengaran alay banget, tapi serius, Tha, gue enggak bisa hidup tanpa lo. Gue udah terbiasa hidup sama tingkah aneh lo, sama kecerewetan lo, sama rasa sayang lo. Gue belum bisa melepaskan itu semua, Tha. Gue enggak bisa apa-apa lagi setelah lo ngomong gitu, gue cuma bisa diem dan menurut buat jauhin lo. Gue sadar seratus persen lo masih pacaran sama Mas Rian, makanya gue enggak ungkapin perasaan gue ke lo. Gue lihat lo bahagia banget sama Mas Rian dan gue enggak berani merusak kebahagian lo."
Pandangan Mitha memburam, tertutup cairan bening yang berkerumul di matanya. Satu air mata lolos dari tempatnya. Alam berkonspirasi merumitkan segala takdir yang mengikat dirinya dan Faris. Dia sempat berpikir untuk berhenti berharap karena lelah hidup dalam rasa bersalah yang mendalam. Mitha menatap Faris, menatap seseorang yang dahulu pernah berbagi kehidupan dengan Mitha. Dia tidak pernah sadar sebesar apa kasih sayang Faris yang telah diberikan untuknya. Dia tidak pernah mau memahami keadaan Faris disaat laki-laki itu mencurahkan semua perhatian kepadanya. Mungkin ini teguran dari Tuhan atas kelalaiannya menyayangi orang seperti Faris.
"Gue sayang sama lo, Tha, beneran sayang sama lo. Gue enggak bisa lihat lo nangis. Gue enggak rela lo sedih. Makanya gue lepasin lo. Lo salah satu sumber kebahagian gue, Mitha. Mana bisa gue buat kebahagian gue sedih melulu." Faris mengusap air mata yang berjalan pelan di permukaan kulit pipi Mitha. Ditatapnya sang gadis yang kini tidak bisa mengontrol tangisannya, untung orang-orang sudah membubarkan diri tinggal tersisa dua orang saja. "Mitha, lo harus bahagia, walau ada atau tanpa gue. Janji ya, Tha?" Dia mencubit pelan pipi kurus yang diridukannya. Mitha menggigit bibir bawahnya sambil menganggukkan kepala.
Mitha menangis disertai isakan rasa sakit, sesal, rindu, dan senang. Dia menenggelamkan diri dalam pelukan Faris, tenggelam dalam kenyamanan yang telah lama hilang. Dirasakannya tangan Faris yang membelai rambut hitamnya yang terurai. Dia mendekap erat Faris seolah laki-laki itu akan pergi jauh darinya. Hembusan angin pagi membelai kulit mereka berdua memberikan efek sejuk dari suhu panas setelah perdebatan mereka. Sinar mentari menerangi wajah Faris yang terlihat senang, tangannya secara konstan mengusap rambut hitam legam Mitha. Dia selalu berdoa pada Tuhan agar menempatkan hatinya pada seseorang yang mau menerima Faris. Dan sepertinya doa Faris terkabul oleh kedatangan Mitha setelah lima tahun tidak berjumpa.
"Maafin gue, Ris. Maafin gue." Kata Mitha disela-sela isakan tangisnya. "Gue bodoh memarahi lo karena memendam perasaan ke gue," Dia menarik diri dari pelukan Faris. "bukan karena gue enggak suka sama lo, Ris. Gue hanya enggak ingin persahabatan kita rusak gara-gara keegoisan kita saat menjalin hubungan. Makanya gue marah banget waktu itu. Lo terlalu berharga untuk dilepaskan, Ris."
Faris menatap sendu wajah Mitja. Dia juga ikut andil dalam keegoisan itu. Dia tak pernah berpikir sampai di sana ketika Mitha menolaknya mentah-mentah. Padahal ketika dia sadar, Faris selalu memikirkan hal tersebut. Ya, seperti yang Mitha ucapkan, terlalu disayangkan bila mereka harus musuhan karena keegoisan masing-masing saat berpacaran. Harusnya Faris berpikir sejauh itu.
"Selama ini, selama lima tahun ini gue selalu berharap lo pulang. Gue selalu tunggu lo di depan teras. Gue masih ingat jam-jam lo keluar rumah, jam empat sore lo pasti keluar rumah buat beli beras buat ibu lo yang masak dagangannya. Jam sepuluh malam lo selalu duduk didekat jendela kamar sambil dengerin musik di hape. Jam enam pagi lo udah pake seragam lengkap buat berangkat sekolah. Gue juga sering menatap ponsel berharap lo sms gue atau menelpon gue. Tapi lo enggak pernah, Ris. Lo memutus semua hal yang berhubungan sama gue." Mitha terus menangis. Dia tidak tahan lagi dengan segala rasa sesak ini seolah-olah dia sedang dipermainkan oleh takdir yang tertawa di ujung sana.
"Maafin gue, Tha. Gue terlampau kecewa sama lo." Faris menundukkan kepala.
Suasana hiruk pikuk taman berangsur-angsur sepi. Beberapa pedagang asongan dan kaki lima mulai meninggalkan taman. Orang-orang yang lalu lalang satu persatu pergi membawa segala rasa senang dihati, meninggalkan sepasang muda mudi yang tengah berperang dengan masa lalu mereka.
Mitha menghapus air matanya. Tangannya terulur mengangkat wajah Faris. Diperhatikan lagi gurat wajah lelaki itu, dia mengusap lemput dahi Faris, turun ke alis, berlanjut ke kedua pipi Faris.
"Gue harap setelah semua ini kita enggak lagi diem-dieman kayak anak SD. Kita harus terus terang satu sama lain, Ris, biar kita tahu perasaan masing-masing. Gue enggak bisa melepaskan lo, lo terlalu berharga. Lo itu kayak rumah bagi gue, Ria. Lo adalah zona nyaman gue disaat dunia membuat gue muak dan sedih." Ucap Mitha sambil mengusap pipi Faris. "Gue cinta sama lo, Ris."
Faris yang baru tersadar dalam dunia mimpinya kembali disadarkan oleh ucapan Mitha. Dia menatap lekat Mitha mencari-cari setitik kebohongan dari ucapan gadis itu. Tapi tak pernah ditemukannya sebuah kebohongan. Seolah mendapat angin segar dari surga, Faris menurunkan tangan Mitha yang menempel dipipinya, kemudian mencium tangan tersebut. Dia meresapi kulit halus tangan Mitha yang lama tak tersentuh olehnya, dia bisa mencium bau body lotion kesukaan Mitha.
"Gue juga cinta sama lo, Tha."
Setelah ucapan itu terlontar dari bibir Faris, Mitha langsung memeluknya erat-erat. Menyalurkan semua rasa yang terpendam di hati. Kebahagiannya terasa utuh sekarang. Luka masa lalu perlahan-lahan tertutup, meninggalkan seberkas tanda sebagai pengingat di masa depan. Cintanya telah kembali, memekarkan segenap rindu yang terkubur selama lima tahun ini.
Mitha dan Faris tidak pernah menyangka naskah takdir membawa mereka berdua untuk belajar saling menghargai dan mengerti arti kehilangan. Keduanya sama-sama terluka, sama-sama merasakan kehilangan, namun sekarang mereka sama-sama merasakan kegembiraan. Dalam benak keduanya telah terikrar janji untuk saling bergandengan melawan segala arus kehidupan bersama.
Mitha melepaskan pelukannnya, menatap manik mata Faris. Lelaki itu membalas tatapannya. Perlahan, kedua bibir anak adam itu menyatu membentuk harmonisasi indah sebagai kompensasi rasa sakit yang terpendam selama lima tahun.
\\ ZONA NYAMAN //
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top