29. Benci dan rindu

Sekali saja kamu kembali, aku bisa meledak bersama luapan kasih.
🌸

Dari tadi Zinni berdiri mematung seraya memutar gagang pintu. Bisa dikatakan menguping pembicaraan antara kakaknya dan Makki di teras depan. Ia tepat berada di balik pintu. Entah mengapa cowok itu tak membiarkan dirinya keluar barang sebentar saja. Kendatipun begitu, tak lantas Zinni bersuara. Apalagi berteriak untuk mendobrak pembatas di antara keduanya.

Ia harus bertahan sebentar saja. Meski hati kecilnya mencelos ketika mendengar kondisi mama. Sekalipun ada kegundahan, Zinni berusaha tabah. Cewek itu lebih percaya jika semua akan baik-baik saja. Ada sosok kuat yang mendorong Zinni untuk menjauh sejenak, demi kelancaran apik sesuai perjanjian kemarin.

Begitu percakapan di luar berakhir. Makki membuka pintu lebar-lebar, hingga mendapati Zinni di sana. Iris yang berkaca-kaca menuntun lengan Makki untuk memberinya dukungan. Dengan lembut dia mengusap bahu Zinni.

"Kamu nggak perlu sedih. Dia perlu belajar menghargai. Buat mama kamu, tenang aja. Dia akan segera membaik."

"Iya."

🌸🌸🌸

Dengan dipapah oleh supirnya, Geren kembali ke rumah. Lelah, tampang lelaki yang tak bersemangat kala menemui keputusasaan. Dia sudah rela melakukan hal terbodoh, dan berakhir menyedihkan.

Kecewa, saat ini hatinya panas dan tak jelas. Zinni tak ada di sekitarnya saja mampu membuat sejuta masalah. Geren masih tak ingin terima kenyataan, tetap saja dia tak berdaya. Mau tak mau harus berlaku membuang ego lebih dulu.

Sepanjang perjalanan Geren tidak bisa untuk berhenti mengumpat. Menyumpahi adiknya dengan
hujatan. Seharian dia telah keliling ibu kota tanpa tujuan yang jelas. Entah ke mana mobilnya melaju, yang jelas Pak Ujang mengemudikan kendaraan tersebut sesuai titah Geren.

Tidak banyak teman Zinni yang Geren tahu, selain Makki, Jasmine, dan Ziko. Selebihnya zero. Sejak kapan juga cowok itu peduli. Wajar saja jika dijuluki lelaki tak berhati. Dengan tingkat keyakinan hampir seratus persen, Geren menuju rumah Jasmine. Namun sayang, dia tak bisa menemukan Zinni juga di sana. Alhasil akhirnya memutuskan pulang ke rumah.

Ingin sekali Geren melihat sosok itu, lalu menghujani makian seperti biasa. Meski sebelumnya telah mengusir Zinni, dia perlu menarik lagi tingkah laku dan segala ucapan yang sukses membuat keluarganya berantakan. Hanya karena kelakuan Geren semata. Lelaki berhati batu sepertinya tengah dilema.

"Mama."

"Geren. Kamu dari mana?" tanya mama yang pertama kali melihat anaknya di ruang kamar.

"Ma. Apa yang bisa Geren lakuin? Aku ... nggak bisa nemuin Jinni," adu Geren berhambur ke sisi ranjang, "dia juga nggak bawa hp. Dasar anak bego."

Cowok tersebut tak peduli jika mulut sampahnya sesumbar meluapkan kekesalan terang-terangan di depan mama. Dia tidak mau terus-terusan berada dalam suasana demikian. Tetapi titik terang belum juga tampak baginya. Geren mudah putus asa dan menyerah. Terlalu sering mengandalkan kepolosan Zinni, hingga tanpa sadar kalau dirinya tidak lebih menyedihkan.

"Mama belum makan?"

Lelaki yang tidak tahu cara berlaku lemah lembut itu melirik piring nasi di atas meja. Porsi tersebut masih utuh tak berkurang sama sekali. Mama belum menyentuh, apalagi memakannya. Padahal makanan itu sudah berada di sana sebelum Geren pergi. Kebiasaan Ike selalu menunggu putri bungsunya pulang, demi sekadar makan bersama. Tetapi bagaimana sekarang, apa mama akan berhenti makan. Pasalnya Zinni belum bisa ditemukan.

Geren berdecak kesal. Lalu, meraih piring tersebut dan menjulurkan sesuap nasi pada sang mama.

"Mama mau sampe kapan nggak makan? Cepetan buka mulutnya."

"Mama nggak lapar, Geren."

Usaha singkat itu membuat Geren pasrah. Dia tak lagi memaksa mama, dan ditaruhnya piring tersebut ke atas meja. Ya, cowok yang tak ingin bersusah hati dan selalu merasa semua bisa dia dapat dengan mudah selama ini. Tetapi sekarang, untuk merayu mamanya saja dia tak mampu. Sangat tidak berguna.

"Ma, jangan kaya gini. Nanti Mama sakit."

Ike memilih tersenyum. Meski hatinya berlainan dengan rupa yang ditunjukkan. Wanita itu sudah rindu dan ingin segera bertemu Zinni. Di depan Geren sebisa mungkin Ike berbesar hati untuk menahan linangan air mata. Tidak mau menambah beban Geren karena merasa semakin bersalah. Tetap saja raut sendu tak bisa dia sembunyikan. Sangat kentara tercetak di wajah pasinya.

"Kamu sadar, semua karena siapa?"

Suara bariton baru saja memecah keheningan di ruangan tersebut. Dari arah belakang, Darma berjalan mendekat dan berdiri di samping Geren.

"Papa nyalahin aku?"

Tak bisa untuk tidak terpancing omongan papanya. Geren menatap tajam sepasang netra Darma. Dia tahu salah, dan kesadaran sedikit terlambat membawa dirinya untuk tak merusuh. Mau bagaimana lagi arogansi Geren memang susah dikendalikan.

"Menurut kamu gimana? Kalo kamu bisa sedikit dewasa, Papa yak ...," Darma tak berniat melanjutkan kalimat. Rasanya percuma jika kegaduhan kembali terjadi. Maka sebelum dia kalap, pria itu sengaja mengganti topik, "lalu bagaimana hasilnya? Apa yang kamu dapat, sampai berani kembali lagi."

"Aku nggak tau, Pa."

Tentu jawaban yang sangat jelas Geren utarakan. Nihil, usahanya tak membuahkan hasil. Meskipun begitu, Geren lebih memilih bicara jujur dari pada merengek atau menutupi.

"Anak cengeng itu, sialan," desis Geren lirih. Samar-samar bisa didengar oleh kedua orang tuannya. Mereka saling melempar tatapan, sepersekian detik beralih ke arah pintu.

Berderap pelan dengan otot pipi yang bergerak naik. Sosok itu langsung berhambur mendekap lelaki di tepi ranjang. Tak peduli jika akan dimarahi.

"Lo!?"
.
.
.
"Hati-hati di jalan Mak. Kabari Ibu, Zin kalo anak ini ngelakuin hal aneh, ya?"

Bu Minah memberi petuah sekaligus mewanti-wanti anak lanangnya. Yang ditanggapi Zinni dengan kekehan kecil.

"Aku pamit pulang, Bu," ucap Zinni langsung memeluk wanita berkerudung tersebut.

Baginya Bu Minah adalah orang tua kedua selama ini. Wanita itulah yang sempat mengurusi Zinni saat kecil, layaknya seperti anak sendiri. Jadi ia tak sungkan sama sekali untuk bermanja atau sejenisnya.

Selepas berpamitan, keduanya meluncur pergi meninggalkan panti asuhan.

Langit malam menjadi atensi Zinni di boncengan sepeda. Tidak ada yang bersuara beberapa saat. Baik Makki dan Zinni lebih memilih menyelami pikiran masing-masing. Cowok berhoodie abu-abu di depannya fokus menggowes pedal, sementara Zinni mengeratkan pegangan pada baju belakang Makki.

Makki sengaja izin pulang lebih awal dari jadwal kerja seharusnya. Hanya untuk mengantar Zinni pulang. Meski sebenarnya bisa saja cewek tersebut memesan taksi atau ojek online, tetapi dia sendiri yang ingin mengantar Zinni. Tak bisa untuk merelakan kalau sesuatu yang buruk bakal terjadi. Lagipula, jarak antara tempat tinggalnya dengan kediaman Zinni tidak terlampau jauh. Masih mampu dijangkau menggunakan kendaraan roda dua. Maka dari itu, dia paling antusias melakukan hal tersebut.

Untung saja Zinni tak masalah dengan sepeda bututnya. Kalau tidak, bisa dipastikan kegengsian membuat Zinni malu.

"Masuk gih." Makki menyuruh Zinni ke dalam.

Sekarang cewek itu sudah turun dari sepeda, berdiri tak jauh dari Makki. Dia menatap dalam seraya memasang tampang heran. Seperti ada yang ingin disampaikan. Namun, bibirnya kembali terkatup rapat.

"Kenapa?" tanya Makki cukup menyita perhatian Zinni. Pasalnya sepasang iris gadis itu masih intens menyorot pandangan tanpa kata. "Aku nggak ikut masuk, Zin. Jaga dirimu baik-baik. Sampai ketemu lagi besok, oke."

Raut cerah sedikit terbit di wajah putihnya. Zinni mengembangkan senyuman lebar merespons positif.

"Makki."

"Ya?"

Makki menghentikan gerakannya. Baru saja akan mengayuh pedal, dan seketika menolehkan kepala.

Di lain sisi, Zinni mendekat. Hanya terpaut setengah meter. Diletakkannya jemari ramping itu di atas punggung tangan Makki. Hingga membuat si empunya tersentak bersemu merah di kedua pipinya.

"Makasih, Makki. Buat semuanya," bisik Zinni pelan seolah melantunkan melodi rendah, "aku masuk dulu ya. Jangan lupa sampaiin salamku sama Bu Minah."

Setelahnya cewek bersurai gelombang hilang di balik gerbang besar rumah tersebut. Meninggalkan dentuman kencang di jantung Makki. Untung saja dia tidak semaput.
.
.
.
"Lo!?" sungut Geren sembari berusaha melepaskan lengan yang melilit lehernya dari belakang. "Ngapain lo. Lepasin!"

Mengabaikan teriakan Geren yang memekakkan telinga, Zinni masih bergelayut menjatuhkan kepala di pundak cowok itu.

Baru kali ini, Zinni begitu lega hanya karena bebas melakukan hal tersebut. Meski kakaknya marah, ia tidak peduli. Mumpung mama-papa ada di sana. Sekalian saja ia meluapkan segala aksi yang sukses membuat Geren tak berkutik. Jika menuruti bentakan Geren semua tidak akan berjalan sesuai rencana.

"Sebentar ... bentar aja. Bukannya tadi Kakak nyari aku?"

"Nggak! Siapa? G-gue? Ngimpi lo," elak Geren tak bisa menutupi ekspresi cengonya. "Sejak kapan lo di sini?"

"Dari tadi." Zinni menjawab singkat.

Ia mendengar semua pembicaraan di antara keluarganya. Terutama keluhan Geren yang mengadukan diri bahwa dia kembali sia-sia alias gagal. Di ambang pintu Zinni terus tersipu merasa senang. Padahal Geren tengah menggerutu, menyumpahi dirinya karena memberi kesulitan. Itu bisa dikatakan bahwa ada sedikit perhatian yang bisa Zinni rasakan.

"Lo ngapain sih. Gue bilang lepasin, Jin!"

Lumayan gelagapan dan jengkel karena situasi yang menurutnya menjijikkan. Geren bukan tipe makhluk romantik atau bertingkah lemah lembut. Oleh karena itu, dia salah tingkah ketika melakukan sesuatu seperti itu.

"Lepasin nggak. Lo resek."

"Nggak."

"Ma, Jinni ...."

Geren terperangah menyaksikan kedua orang tuanya mengulum senyum. Terlebih muka sangar dan datar papa ikut berkilat menahan bibir untuk bersikap datar. Seperti ada hal yang tak beres, Geren tak bisa untuk diam. Dia menuntut banyak pertanyaan, terutama pada Zinni.

"Lo, ngapa balik?" sergah Geren seraya mendorong kepala Zinni untuk menjauh. Lantaran adiknya terus mendusel manja tanpa bergeming. "Woi, lo budek, Jin? Sialan."

Zinni tak menjawab. Ia menyembunyikan wajahnya yang sudah dibanjiri air mata. Cewek itu tak pernah menyangka, jika keinginan kecilnya benar-benar bisa terwujud. Kembali lagi ke rumah dan berkumpul bersama keluarga.

"Geren, Papa harap kamu bisa berubah setelah kejadian ini," ucap Darma menepuk bahu anak sulungnya dan beralih meraih puncak kepala Zinni, "kamu harus menjaga Adikmu dengan benar. Papa nggak mau denger lagi kejadian kaya kemaren, kamu paham?"

Geren mengeryit tak suka. Tetapi berdeham sesaat sebagai tanda jawaban atas pertanyaan tersebut. Papa beringsut ke samping istrinya dan membuat wanita baya itu mengusap sudut matanya yang berair.

Rupanya Geren benar-benar dipermainkan. Pantas saja melihat kedua orang tuanya bertingkah biasa dan tak kebakaran jenggot akan situasi yang ada. Seolah semua dilimpahkan pada Geren atas kekacauan yang ada.

Sialan.

MiHizky💕
13 Februari 2023

Adakah komentar buat part ini?
Rasanya ada manis-manisnya udah mau end.
Salam semangka🍉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top