26. Status

Kamu lebih mudah membuka mata dari pada menjaga hati, dan kamu lebih mudah menyakiti ketimbang berbesar hati.
🌸

Dia tidak akan lupa tentang hari ini. Separuh mimpi tak berharganya pun dilewati dalam khayalan yang sudah terencana. Kepahitan dan sakit hati mengganti kedudukan utama di hati keras Geren. Dia benci takdir hidupnya. Seolah keberuntungan enggan menjadi bagian dari apa yang cowok itu mau. Harapan pupus bersama angin lalu.

Terkutuk!

Takdir benar-benar memparmainkan dirinya. Anggapan itulah yang mendekap Geren hingga bergelut dengan nurani. Kalau memandang tampilan Geren, mungkin cocok dikatakan frustrasi. Pakaian kusut, rambut berantakan, muka keruh dan timbul urat-urat di sekitar pelipis.

Lelaki itu menghabiskan banyak waktu dalam tidur. Sejenak mengenyahkan kekalutan di kepala, juga melupakan kenyataan bahwa dia telah gagal. Seharusnya Geren tengah berlarian menggiring bola, menendang bersisihan dengan lawan, saling mengoper benda bulat di area lapangan, bersorak demi membangkitkan semangat, dan mejerit puas karena berhasil mengikuti lomba. Sayang seribu sayang, sekedip mata hanyalah ilusi. Sebab semua ada di tempat lain.

Karena kesalahan yang tak terprediksi, malah tak terpikir sekalipun olehnya. Jika Geren akan ditinggalkan, dan terdampar di ruangan seperti saat ini. Diam, tak berdaya, tanpa hasrat, kecuali terus-terusan menjadi emosi lantaran belum menerima kenyataan. Ia tidak ingin lemah layaknya seorang gadis yang merajuk manja, tetapi keadaan memaksa batinnya meronta.

"Argh! Sialan!"

Geren mendesis sarkastik. Lihat, untuk ke kamar mandi saja dia butuh perjuangan setengah mati. Padahal biasanya, dia bisa menendang pintu bilik tersebut. Tetapi sekarang menyedihkan, dia perlu merambat pelan, berpegang pada ranjang miliknya. Tertatih seraya merayap ke sisi tembok. Kalau terus begini bisa-bisa Geren buang air di celana alias mengompol.

Bisa saja anak itu memanggil pembantu atau siapa pun untuk menyeret kaki pincangnya. Namun, bukanlah Geren namanya karena terlalu jaim sekadar meminta tolong. Mungkin, kalau nyawanya berada di ujung tanduk pun dia rela mati saja. Sungguh keras kepala!

"Biar kubantu."

Jemari ramping itu meraih lengan Geren pelan. Setelah meletakkan senampan makanan ke atas nakas. Sedang makhluk di sampingnya menyalak dengan tatapan menikam. Tak ingin menerima uluran tangan tersebut, dia menepis cepat dan berujar kasar.

"Cih. Nggak perlu. Minggir lo."

Gadis itu mengembuskan napas berat. Menetralkan gejolak di batinnya, berkali-kali merapal doa untuk sabar. Zinni memilih diam dan menuruti ucapan Geren. Meskipun begitu, ia tetap menjaga jarak aman dari kakaknya yang arogan. Sebab cowok itu terhuyung dalam berjalan, dan hampir tumbang. Tetap saja tidak mau dibantu. Sampai ketika keluar Geren terjerembab di depan pintu kamar mandi.

"Kakak."

Zinni keceplosan melambungkan kata terlarang. Ia tidak sadar, dan langsung berhambur membantu Geren untuk bangkit.

"Jaga mulut lo!" ketusnya keras kepala. Berusaha bangkit. "Gue bisa sendiri."

Sementara itu, Zinni tidak mengindahkan omongan Geren, tetap diam tanpa berkomentar.

Diraihnya lengan besar Geren dan disampirkan ke pundak. Sebenarnya terlihat jomplang lantaran yang dipapah lebih tinggi dari pada Zinni. Biarpun begitu, itu lebih baik. Terbukti cewek dengan surai gelombang tersebut mampu menjadi tumpuan bagi Geren di sampingnya, dan terus berjalan gontai kembali ke kasur.

"Gue benci sama lo." Geren menghardik begitu mendarat di atas kasur.

Ia menarik napas dalam sambil menatap sepasang netra gelap di depannya. Mencari kebenaran dari ucapan yang menyayat hati.

"Iya, aku tau. Kamu udah ngomong berkali-kali."

Gadis itu justru memperjelas pernyataan Geren. Zinni hanya tidak bisa menampik fakta tersebut. Mau tutup mata pun telinganya mendengar, juga dirinya tahu bahwa memang seperti itu. Jadi, tidak perlu berpura-pura abai.

"Lo tau. Tapi tetep di sini. Gue pikir lo emang bebal ya?"

Adakah manusia yang lebih buruk dari pada kakaknya ini?

Tak meladeni ucapan barusan, Zinni beralih mengambil sepiring makanan di atas meja yang dibawanya tadi. Menyodorkan pada Geren, guna menyuruhnya makan.

"Ini makan, dari pagi belum makan kan?"

"Ngapain sih lo? Nggak laper gue."

"Bohong. Makan sedikit aja, biar cepet sembuh."

"Nggak usah nyari masalah deh . Mending lo pergi. Nggak usah ngurusin gue."

"Makan dikit aja. Jangan nyiksa perut."

Zinni sedikit memaksa dan sudah menyendok nasi serta lauk. Niatan ingin menyuap makanan tersebut. Tetapi langsung didorong Geren.

"Sumpah! Lo nggak usah resek jadi orang. Gue bilang nggak ya nggak!"

"Tap-"

Suara piring pecah menjadi atensi kedua anak itu. Zinni menganga menyaksikan beling juga makanan yang berhamburan di atas lantai.

"Udah gue bilang, lo pembawa sial!" umpat Geren menunjuk Zinni kesal.

Satu perkara muncul dan mengundang penghuni rumah lainnya untuk datang ke kamar. Di malam seperti ini tentu papa sudah pulang kerja, dan mama selalu stay di rumah.

"Lo kalo nggak bikin masalah bisa nggak sih? Bosen gue, jin!"

"Maaf."

Zinni meratap sendu seraya menyesali perbuatannya. Walaupun sebenarnya itu bukanlah salah dirinya. Tekad dan kesungguhan ingin memperbaiki keadaan, justru malah memancing masalah baru.

"Basi. Pergi lo!" titah Geren seraya mendorong Zinni kuat. Hingga membuat adiknya tersentak, lalu terpeleset karena makanan yang berceceran di lantai.

Baru saja telapak tangannya tergores pecahan beling. Yang membuat sorot mata Geren makin melotot. Dua alis tebalnya menukik tajam.

"Lo! Perg-"

Kalimat Geren terpotong karena kedua orang tuanya keburu datang.

Terlambat.

Drama atas kesalahpahaman tersebut akan berlanjut sedikit lebih lama dari perkiraan Geren.

"Astaga! Zinni, kamu nggak papa?" pekik mama yang tiba-tiba muncul. Di belakang ada papa menyusul. Kedua orang tuanya lumayan kaget mendapati kamar bak kapal pecah, dengan segala benda berantakan di mana-mana termasuk balada piring pecah.

Geren yang masih duduk di tepi kasur mendengkus sebal. Memperhatikan pemandangan di depannya. Terlebih saat mama dengan wajah panik mendekati Zinni dengan kursi roda.

Raut kecemasan, perhatian, dan segala bentuk curahan wanita itu tunjukkan terang-terangan. Hingga membangkitkan kembali jiwa iri yang tertidur dalam diri Geren.

"Ada apa ini?" tanya mama ingin tahu. Sementara papa, mendekat dan meraih tangan Zinni yang dilumuri bercak darah.

"Zinni nggak papa, Pa. Ini nggak sengaja tadi ...."

"Terus, Jin. Lo paling jago buat gue susah," sindir Geren seraya meraup wajah kasar, "kalo lo pergi dari pas gue suruh. Ini nggak akan terjadi."

Bertubi-tubi Geren menghujani Zinni dengan ucapannya, sedang cewek itu hanya terdiam menunggu momen untuk bicara.

"Geren! Ada apa ini? Apa yang kamu lakuin sama adik kamu?"

Suara Darma terdengar marah. Tetapi tak sedikit pun membuat Geren ciut, apalagi takut. Dia sudah biasa, terlalu meremehkan papa yang memang menyebalkan.

"Papa bela aja dia terus. Nggak usah peduliin aku."

"Nak, Papa kamu nanya bener-bener." Mama menimpali, berusaha memberi pengertian.

"Mama juga. Berhenti pilih kasih! Salah Jinni, Ma. Ini salah dia!"

"Bukan begitu Geren. Dengerin Mama dulu."

"Kalian semua sama aja. Lebih peduli sama dia. Ketimbang anak sendiri!" bicara Geren semakin ngawur ditelan emosi.

"Cukup, Geren."

"Papa harusnya nggak bawa dia ke rumah."

"Aku ngga pernah setuju, Pa, Ma."

"Kalian selalu sibuk sama dia, sampe lupa kalo ada Geren."

"Papa harusnya nggak perlu ngelakuin hal nggak guna."

"Geren. Cukup!"

"Papa harusnya nggak mungut dia!"

PLAK

"Cukup! Papa bilang cukup ...."

Hening.

Aksi di luar dugaan semua orang, termasuk Darma yang menampar Geren ikut terperanjat. Dengan tangan bergetar, pria berambut cepak itu mengepalkan tangan. Sementara mama, membelalak seakan bola matanya mau copot. Begitupun dengan Zinni yang sudah meneteskan air mata. Gadis itu tidak mampu lagi menahan gelombang sakit atas ucapan kakaknya. Ditambah perkara riweh barusan. Sekarang atmosfer semakin mencekik setiap penghuni rumah.

"Puas. Papa puas!? Dari dulu Papa selalu pengen ngelakuin itu kan?" cowok itu masih mampu membeo dengan memegangi nyeri di tulang pipinya.

"Geren tau, Papa nggak pernah sayang sama Geren kan?" dia kembali bersuara sambil tergelak sendiri. "Kenapa diem, Pa?"

"Ayo, Ma, katakan sesuatu. Jangan cuma diem," pinta Geren menggoyang lengan Ike. "Apa yang barusan Mama liat itu nyata. Mama liat sendiri kan, gimana sikap Papa."

Sepasang iris Geren bertemu dengan Zinni. Tak bisa dipungkiri dan merasa belum puas, dia mulai mengumpat melampiaskan kekesalannya yang bertumpuk. Tamparan barusan menyulut bara api dalam hati Geren. Seluruh badan, hati, pikirannya ikut sakit dan mati rasa.

"Lo! Gara-gara lo, pergi lo dari sini!"

Setelah diam akhirnya mama buka suara, "Tenang, Geren ... jaga bicara kamu." Di balik nada bicaranya yang serak, wanita itu menahan Geren dan menyisakan jarak di antara mereka.

"Zinni! Mau ke mana kamu, Nak?"

Cewek itu lebih dulu melesat keluar kamar. Tak mau lebih lama menahan sesak juga sakit di dada. Sehingga, ia pergi meninggalkan tanpa menghiraukan panggilan papa yang menggema di ruangan tersebut.

Ekspresi Darma tumpul. Dalam benaknya menyembul sedikit penyesalan atas perlakuan kasar tadi. Tetapi dengan apik pria itu tutupi. Dia kembali menguasai diri dan menghirup napas dalam.

"Geren, kamu perlu tahu sesuatu. Tutup mulutmu dan dengarkan Papa."

🌸🌸🌸

Ia belari ke kamar. Lalu menyandarkan punggung dan kepalanya menengadah ke atas. Tangannya meremas rok seiring dengan air mata yang keluar.

Zinni merosot terduduk di atas lantai di balik pintu kamar. Tetesan darah yang mengalir bebas ia biarkan begitu saja. Bagian itu tidaklah sakit jika dibanding dadanya yang seolah diremas dan dicabik-cabik.

Zinni tahu, amat paham bagaimana statusnya selama ini. Terlahir dari rahim orang lain, lalu menjadi bagian dari keluarga Geren sejak kecil. Tentu itu tidak akan merubah bahwa memang ia sekadar orang asing di rumah. Tetapi apa tidak bisa barang sebentar saja, Geren berlaku baik padanya. Setidaknya, berpura-pura untuk terus menyayanginya sebagai adik sendiri. Bukan malah membencinya.

Banyak usaha Zinni lakukan demi mencuri hati kakaknya. Mengalah dan terus menuruti kemauan Geren bukanlah perkara mudah. Terlebih cowok itu sering emosian dan memperlakukan Zinni kasar. Ia sangat menyayangi Geren, seperti dia sayang pada kedua orang tuanya. Berbanding terbalik dengan harapan kecil Zinni, justru Geren menyimpan dendam padanya.

Menyedihkan! Kalau sudah begini, apa yang bisa Zinni lakukan menyerah atau terus berjuang? Demi pengakuan yang belum jelas tujuannya.

Cewek itu semakin menunduk menahan isakan supaya tak terdengar keluar pintu. Sedari tadi, mama berteriak memanggil dari luar. Zinni ingin abai saja untuk sebentar. Namun, ia tidak bisa untuk melukai hati mama. Sedetik kemudian, Zinni membuka pintu dan membiarkan dirinya direngkuh paksa dalam tubuh tambun Ike.

MiHizky💕
6 Februari 2023

Jangan lupa votmen!
Salam semangka🍉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top