25. Bukan kamu
Dia tidak pantas karena telah menyiakan anugrah terindah dari Tuhan.
🌸
Suasana kelas lumayan ramai di pagi ini. Kelas sudah hampir terisi setengahnya. Zinni berjalan pelan menuju bangku miliknya. Raut muka sedikit sendu menatap ke bawah. Ia mengabaikan keriuhan di sekitar dan terhanyut dalam pikiran sendiri.
Beberapa hari ini Zinni diantar oleh papa. Sekalian pria tersebut pergi ke kantor. Sepanjang jalan petuah papa terus terngiang di kepala Zinni. Ia masih ingat jelas bagaimana percakapan tadi.
.
.
.
"Zin, kamu kenapa?"
Wajah murung Zinni menarik perhatian Darma di balik kemudi. Sejak mereka keluar dari halaman rumah, anak bungsunya tak sedikit pun bersuara. Sibuk menatap nanar pada jendela kaca mobil. Entah apa yang tengah ia pikirkan.
Dengan badan bersandar pada kursi mobil, tatapan mengambang Zinni masih sama seperti semula. Bahkan panggilan dari papanya belum mampu menyadarkan lamunan Zinni.
Sedikit menyentuh puncak kepala Zinni, Darma berkata, "Zinni, apa yang kamu pikirkan?"
Ia sedikit tersentak, dan buru-buru membenarkan posisi duduknya jadi tegak. Merubah mimik wajah seceria mungkin.
"Kamu mikirin apa barusan, hm?"
"Nggak ada kok, Pa," elak Zinni seraya mengembangkan senyum kaku.
Tak mungkin papanya percaya dengan mudah. Meski dia adalah seorang pria, papa bisa membaca gurat kecemasan di wajah Zinni. Darma tahu tentang anaknya. Walaupun dia terbilang jarang menunjukkan kepekaan secara langsung seperti mama.
"Kamu tau nggak pinokio?"
Dahi Zinni berlipat dua. Cukup heran mendengar penuturan papanya barusan. Apa dia sedang memberinya sebuah tebak-tebakan? Zinni tidak ahli dalam bidang itu. Bukankah itu sesuatu yang sering Zinni bicarakan waktu lampau.
"Pinokio?"
Gadis itu mengulang kata tersebut sambil memiringkan kepala. Yang membuat Darma tersenyum geli.
"Iya. Zinni pernah dengerkan?"
"Heum. Iya, Pa. yang idungnya panjangkan."
"Betul. Zinni tau kenapa bisa gitu?"
Kali ini obrolan semakin menarik Zinni untuk sedikit berpikir. Rupanya papa tak mau memberi ruang pada Zinni sekadar membuang waktu karena melamun.
"Karna berbohong 'kan," jawab Zinni tidak begitu yakin. Ia ragu itu adalah fakta atau mitos.
"Nah, Zinni nggak mau 'kan nanti hidungnya panjang mirip pinokio," ledek papa menakuti Zinni.
"Pa, itukan dongeng. Mana mungkin."
Tanpa sadar Zinni terkekeh menanggapi bayolan Darma. Ia jadi ingat bagaimana dulu papa selalu menakutinya waktu kecil. Supaya Zinni mengaku dan tak boleh berbohong. Sedikit bumbu dalam cerita dongeng yang selalu Darma ceritakan membuat Zinni kecil percaya. Hingga anak itu selalu berkata jujur kalau ditanya. Berbeda dengan sekarang, putrinya sudah lihai berbohong menutup diri dan enggan berbagi cerita.
"Papa cuma bergurau, Zin. Papa kira kamu masih percaya. Padahal dulu nangis, takut kalo dibilang mirip pinokio."
"Zinni 'kan udah gede, Pa."
"Papa tau," tukasnya tetap fokus mengemudi, "jangan merasa bersalah karena Geren. Papa tau, kamu mikirin itukan. Kamu nggak bisa bohongin Papa."
Zinni tak menjawab. Tetap mendengar omongan papa sambil memainkan jemari tangan di pangkuan. Ia juga tidak mau kepikiran tentang itu, tetap saja hal itu merayap di kepalanya.
"Jangan khawatir. Semuanya bakal baik-baik aja. Geren butuh waktu buat nerima semua ini. Dia anak yang susah, dan nakal. Tidak seperti Zinni, ya 'kan?"
"Kamu nggak perlu merasa bersalah karena dia. Jangan dengarkan ucapannya yang melantur. Dia harusnya malu sama kelakuannya sendiri. Papa nggak habis pikir sama Geren," eluh Darma meraup wajah seraya mendesah berat.
"Papa nggak usah khawatir. Zinni bisa lewatin ini, Pa."
Darma kini menoleh setelah menghentikan laju kendaraan. Mereka sudah sampai di depan sekolah. Zinni mengangguk melempar senyum samar.
"Zinni!" teriak Ziko berhambur dari arah depan.
"Zik-"
"Lo mau ngapain?"
Makki sudah membentangkan tangan menghalangi Ziko supaya berhenti. Itu terlihat seakan cowok itu hendak memeluk Zinni. Mana mungkin Makki membiarkan itu, bukan hal baik. apalagi dilakukan di sekolah. Ah, bukan pada masalah tersebut, melainkan Makki tidak terima.
"Weh, santai, Mak. Becanda gue."
Ziko tertawa puas karena berhasil mengerjai Makki. Hingga siswa itu bersemu merah, malu sendiri. Setelahnya berdeham, mencoba menguasai diri.
"Lo beneran nggak papa, Zin? Gila kemaren mau ikut gue, tapi nih bocah malah kabur aja," tutur Ziko sambil duduk di atas meja kosong di samping Zinni.
"Iya. Aku nggak papa. Kamu liat sendirikan."
"Gue denger Geren juga, eh maaf."
"Nggak papa, Zik. Karena aku, dia jadi sakit. Terus belum bisa masuk sekolah."
"Udah tenang aja, Zin," ujar Ziko seraya mengelus bahu Zinni, "dia nggak akan mati karna jatoh gitu. Cuma kesleo kan. Beberapa hari juga sembuh. Nggak usah dipikirin, karma juga buat dia tuh."
"Iya."
Ziko beralih meraih lengan kanan Zinni. Sengaja melihat reaksi Makki di sampingnya. Dia mesem-mesem, tetap mengontrol ekspresi normal.
"Wah! Liat sampe lecet-lecet gini, Sakit nggak?"
"Nggak kok," sahut Zinni sama-sama mengelus sikunya yang memar.
"Lo ngapain sih, Ziko."
"Upss! Sorry boy, guekan khawatir."
"Yakin?" Makki menatap temannya tak yakin. Satu alis Makki terangkat setelah membuka ponsel, "kayaknya lo kudu lebih khawatir sama ini deh."
"Apa-aaa!"
Ziko terpekik heboh dan langsung merampas hp Makki. Hasil ujian fisika kemarin sudah keluar, dan bisa dipastikan dari raut jelek Ziko, nilainya di bawah standar KKM.
"Makki! Gara-gara lo ini."
"Lah, kok gue." Makki menyeringai jahil membalas kelakuan Ziko.
"Udah nggak papa, nanti kita ujian bareng, Zik."
Tepukan di bahu Ziko membuat cowok itu kembali semangat. "Tau gitu kemaren gue nggak ikut ujian aja deh."
"Kenapa?"
"Ya, liat nih." Tidak malu, Ziko memperlihatkan nilainya pada Zinni di dalam ponsel Makki. Barusan grup kelas memberi informasi terkait hal tersebut. "Gue kudu ngulang bareng kalian."
"Nasib lo itu."
Nol. Zinni menutup mulut berusaha menyembunyikan tawa. Ia tak ingin mengejek, tetapi nilai telur yang Ziko dapatkan tak mampu meredam desisan kikuk dari mulutnya.
"Lo juga apa sih yang lo tulis pas ujian?"
Cowok itu malah nyengir kuda menanggapi pertanyaan Makki. Pasti Ziko tak berkutik mengikuti ujian kemarin. Biasanya dia mengandalkan Makki di sesi sulit alias ngepek. Meski Makki menolak pun, mata juga leher siswa itu bisa menjangkau keberadaan lembar jawaban dari dewa Makki. Asal tidak ketahuan saja, semua bisa berjalan lancar.
Sayang, kemarin adalah kesialan bagi Ziko yang tak mampu menjalankan misinya. Jadi selama sejam lebih, dia cuma merengut pada soal di atas meja dan goresan abstrak yang memenuhi kertas. Sampai dia ketiduran sendiri. Alhasil Ziko tidak menyelesaikan ujian fisika.
🌸🌸🌸
"Lo kenapa?"
Tak biasanya melihat Misel begitu berantakan. Siswi pembuat heboh di kelas IPS itu tampak seperti depresi. Rapi, cantik, berkilau hari ini tak terlihat dari cewek langsing itu. Justru wajah pucat tanpa polesan bedak maupun pelembab di bibirnya menggambarkan seperti bukan diri Misel, jauh 180 derajat. Belum lagi rambut acak-acakannya ibarat baru bangun tidur, ada kantung mata juga menghiasi wajah Misel menambah kesan tak terawat.
Jasmine tak bisa untuk tidak menyorot pada siswi tersebut. Bukan hanya dirinya, bahkan murid-murid lain pun melirik sama. Ia jadi teringat sesuatu.
"Lo masih di sini? Pergi sana."
"Jas, lo denger nggak sih? Pergi sana." Teman Misel mengusir Jasmine yang baru saja datang dan mematung di tempat.
"Iya-iya, bawel."
"Nggak usah kepo sama urusan orang."
"Dih. Guekan cuma nanya keles," cibir Jasmine kemudian berlalu ke bangkunya. Ia sewot tetapi terus mempertajam pendengaran, guna mendapatkan informasi.
Kedua teman Misel menyorot pada Jasmine, lalu beralih ke Misel yang terlihat seperti orang linglung. Rambut keritingnya semakin kusut karena dijambak sendiri oleh empunya. Dia bergumam tidak jelas dengan pandangan tak terbaca.
"Gara-gara gue. Nggak kalian, karna kalian!"
"Sst. Lo bisa kecilin suara lo nggak, Sel?" Temannya mendesis langsung meredam racauan Misel.
"Nggak ada yang salah, okay. Baik lo, gue, dia, dan ... cewek itu."
Misel menolehkan kepala, sepasang matanya melotot. "Lo bener. Tap-"
"Percaya sama kita, Sel. Lo sadar dikitlah. Sebel gue liat dia gini. Macam orang gila aja."
"Sabar, kenapa jadi ribut sendiri sih. Dia lagi syok elah. Lo juga harusnya ngerti."
"Lo kira gue nggak ngerti? Lo berdua sama aja."
Mereka mulai berdebat dan kembali terbelit situasi yang mendera pikiran beberapa hari ini.
"Dia nggak berangkat."
Misel menoleh pada bangku kosong di sampingnya. Walau sering diperlakukan acuh tak acuh oleh Geren, dia tetap merasa bersalah. "Kalo bukan karena gue, dia nggak mungkin sakit. Gue ...."
Misel mengantukkan kepala ke meja kayu. Hingga bunyi tumbukan menarik perhatian anak-anak di sekitarnya. Apalagi ketika dua teman Misel memekik heboh. Sepertinya cewek itu mulai setengah tidak waras.
Tidak ada yang tahu bagaimana saat Misel berada di rumah? Mungkin seisi rumah dibuat ketar-ketir karena perubahan gadis tersebut.
"Stop! Lo ngapain, Sih?"
"Lo gila ya!? Udah lupain kejadian itu. Berhenti mikir nggak jelas."
Siswi itu menghentikan kelakuan Misel yang menyakiti dirinya sendiri. membenamkan Misel dalam pelukan. Cewek itu bisa melihat getaran tangan yang tak dapat disembunyikan saat kerah seragam miliknya ditarik kasar.
"Salah gue. Terus kalo mereka lapor polisi, kita dipenjara gimana."
Misel benar-benar melantur. Pikiran liarnya menjelajah jauh pada tindak kriminal. Padahal dari situasi tempo hari tidak ada yang tahu bagaimana keadaan bisa terjadi. Kesimpulan tak berdasar malah Misel tarik tanpa ragu.
"Nggak. Nggak mungkin, Sel."
"Lo yakin?" salah satu temannya mulai meragu.
"Lo apa-apaan sih, malah ikut parno. Yaiya lah nggak mungkin. Kita nggak ngelakuin apa pun. Inget itu. Buktinya sampe sekarang aman-aman aja, kan?"
Misel terisak merasa bersalah dan dihantui kecemasan. Sambil sesenggukan ia berujar, "Nggak bisa. Kita salah. Gue ... kita harus ngaku."
"Misel. Lo gila ya? jangan bawa-bawa gue. Inget itu kalo lo mau bunuh diri."
"Udah kalian berdua diam. Semua tetep aman, asal lo pada jaga mulut. Nggak ada yang tahu. Simple."
"Tap-"
"Jasmine!?"
Tiba-tiba Jasmine sudah berdiri di dekat ketiga siswi itu, dan membuat mereka menatap horor. Dengan tangan bersedekap menatap satu persatu lawan bicaranya, ia berkata tegas, "Kalian ikut gue. Kayaknya kita perlu bicara."
MiHizky💕
4 Januari 2023
Hayoloo hampir selesai yes! Doain bulan ini kelar ya, aamiin.
Salam semangka🍉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top