23. Melebur dalam sendu

Kabar terburuk yang pernah kudapat adalah ketika aku tak bisa bertemu denganmu tanpa alasan.
🌸

Tidak biasa hingga jarum jam menunjukkan waktu masuk sekolah pun, bangku itu masih kosong. Berulang kali cowok itu menoleh menatap bangku dan jam bergantian. Seorang yang seharusnya telah duduk di sana tak terlihat.

Siswa yang didera cemas hanya berharap, jika gadis itu terlambat atau memberinya kabar. Sayang itu cuma harapan yang tak pernah jadi nyata.

Raut cemas menghiasi wajah Makki. Berkali-kali fokusnya pecah dan tidak bisa melanjutkan bacaan, hingga ia menutup buku di tangan dan beralih membuka hp jadul miliknya. Tidak ada notifikasi apa pun, selain dari satu orang. Sebenarnya ia teramat malas untuk menekan pesan tersebut. Biasanya Makki abaikan begitu saja, barang satu atau dua hari setelahnya barulah ia buka. Entah mengapa kali ini, jari-jarinya seakan dituntun dan harus membaca pesan dari Jasmine.

Sekali tekan muncul pesan singkat dari banyaknya isi chat yang Makki gulir. Di kalimat terakhir sontak mata itu membola lebar. Sekali lagi mengulangi bacaan, kalau-kalau ada kesalahan. Mana tahu maniknya rabun. Tetapi tidak ditemui kesalahan. Jelas dan sangat menghujam ulu hati. Jantung Makki berhenti berdetak sesaat. Malahan ia sempat menahan napas juga.

"Zinni."

Dia berpikir sejenak dan menimang keputusan apakah yang akan diambil. Apa bisa dia konsentrasi sekarang? Percuma saja, jika dirinya di sekolah. Tetapi pikiran juga jiwanya melayang melalang buana jauh ke tempat seorang yang menyita separuh pikirannya. Dia tak perlu lagi menunda. Persetan dengan hukuman dari gurunya, Makki harus pergi!

"Mak! Mau ke mana lo? Woi!"

Seisi kelas menoleh pada kedua murid itu. Ziko berusaha mengejar Makki yang lebih dulu berlari ke luar kelas. Ziko memanggil kencang karena melihat Makki buru-buru pergi sambil menggantung ransel ke bahunya.

Tidak ada balasan dari pemilik nama, kecuali meninggalkan rasa penasaran di benak murid-murid di kelas. Padahal sebentar lagi gurunya akan masuk, tetapi Makki malah bolos tanpa alasan. Hingga membuat Ziko berdecak keheranan.

"Gue kudu kasih alasan apaan, Mak!?"

"Ujian Fisika bego! Gue nyontek siapa? Makki!"

Bukan peduli akan urusan temannya yang belum Ziko dapatkan, dia malah gusar perihal tabiat buruk demi sebuah nilai. Mau bagaimana lagi, cowok itu tak bisa berbuat sesuatu selain menggeram gila. Pasalnya jika berhitung dan bertemu angka-angka dalam lembar ujian maupun tugas sekolah, Ziko selalu mengandalkan otak Makki yang encer. Kali ini bersiap saja buat dapat nilai telur berhias dua kumis dan garis lengkung di hasil ulangannya. Nol bergambar smile.

Derap sepatu beradu dengan keramik di lorong kelas. Sedikit suara berdecit dan gema membuat beberapa anak di dalam kelas menoleh ke luar. Beberapa mengintip dari balik kaca jendela, pun guru yang mengajar turut menyaksikan seorang Makki berlarian bak orang kesurupan. Kasak-kusuk dari murd-murid Makki abaikan begitu saja. Itu bukanlah hal penting, sampai dia perlu meladeni omong kosong mereka.

Cowok bersurai coklat itu hanya heran. Kejadian heboh dan merebak di penjuru sekolahnya malahan dia tak tahu. Memang, Makki tak pernah mau tahu hal lain yang menurutnya bukan hal penting. Jadi dirinya jarang mengikuti apa-apa yang tengah beredar di sekolah. Baik gosip, berita hot, dan segala macam berita yang membuat anak-anak lain membicarakan itu, Makki tak berselera mengikuti. Kecuali tentang satu orang saja.

Ia menuruni dua anak tangga sekaligus. Menuju lobi utama dan langkahnya diseret cepat ke arah parkiran, demi menggoes sepeda untuk mengantarnya pergi. Namun, tiba-tiba saja sebuah mobil berwarna merah menghampirinya hingga Makki berhenti mendadak.

"Masuk. Bareng kita aja," ajak Jasmine mengendarai Aila miliknya.

"Halo."

Makhluk berambut ikal di jok belakang menyapa ringan, sampai deretan gigi besarnya terlihat. Makki hanya mengangguk, lalu mendudukkan diri di kursi depan.

Kemudian, mobil melaju meninggalkan area sekolah. Mereka sudah bernegosiasi dengan satpam sekolah sehingga memberikan jalan. Gerbang yang tadinya tertutup setengah, dibuka kembali sampai Jasmine bisa mengemudikan mobilnya lagi.

🌸🌸🌸

Zinni baru saja keluar dari kamar mandi. Rambutnya yang basah terbiar menetes di atas lantai. Ia beringsut ke sisi meja rias dan mematut diri di depan cermin. Berdiri sedikit membungkuk dengan kedua tangan diletakkan pada meja kayu.

Di wajahnya yang putih, terdapat sembab dan raut sendu masih tercetak jelas. Semalaman menangis tak bisa untuk tidak meninggalkan jejak luka.

Tadi ia terbangun dan kaget karena mentari tak lagi malu-malu menampakkan sinar. Zinni kesiangan dan akhirnya memilih absen untuk tetap di rumah. Ia butuh menenangkan diri dan mencari celah dari masalah yang ada. Terutama pada hubungannya yang semakin merenggang. Dipegangnya pergelangan tangan, masih membekas cetakan jemari Geren di kulit mulusnya.

Apa Kakak begitu membenciku?

Saat Geren mencengkeram kuat tangannya adalah bertahan selama mungkin, supaya air mata dan hatinya kuat menerima bentuk amarah itu. Ternyata, ia gagal. Hingga membuat suasana semakin kacau.

Untuk waktu juga masalahnya sekarang, Zinni tidak bisa abai. Walau sebelumnya, ia bisa menutupi kesedihan dan memendam sakit sendiri.

"Zinni."

"Eh, Mama." Zinni menyahut kala sang mama masuk ke dalam kamarnya, "ayo, makan ke bawah."

"Iya, Ma. Bentar lagi aku turun kok."

Mama diam. Menatap Zinni lekat-lekat. Setelah menarik napas dalam wanita itu berujar pelan, "Kamu masih marah sama Geren?"

Zinni tersenyum sesaat sembari mendekatkan diri. "Nggak, Ma. Zinni nggak papa. Kakak cuma lagi bingung aja sama kondisinya. Mama jangan khawatir atau marahin Geren, ya."

Bibirnya mengucapkan kebohongan lagi. Meski ia tidak marah, tetapi di dalam dirinya tersayat perih atas perlakuan Geren. Zinni hanya tidak mau melihat mama semakin larut dalam kesedihan. Kemarin anggap saja bukan masalah besar. Walau tidak bisa ditampik sebelah mata.

Tangan mama terjulur mengusap lecet di beberapa lengan Zinni. Sebelum air matanya merebak di pelupuk, Ike buru-buru mengerjap dan mendongakkan kepala seraya menatap Zinni di depannya.

"Zinni percaya kan, Geren sayang sama kamu?"

Ah. Zinni ingin, sangat menginginkan itu. Walau sekadar dalam mimpi.

Seulas senyum ditarik paksa, hingga membuat garis smile di bibir Zinni.

"Iya, Ma. Mama nggak perlu mikir aneh-aneh. Nanti Zinni turun ya."

Kecupan di kening mama membuat wanita itu sedikit bernapas lega. Zinni membantu mama keluar dari kamarnya, lalu menutup kembali pintu kayu. Sesak itulah yang Zinni rasa sekarang. Sedetik kemudian, Zinni berjalan dan mendudukkan bokongnya di ujung tempat tidur.

Susah payah dari tadi ia menahan bendungan di netranya. Semakin menunduk, Zinni mengusap derai air mata yang mengalir. Dua tangannya menangkup wajah untuk meredam isakan itu sendiri, orang lain tidak perlu mendengar. Apalagi mama.

Ketukan pintu terdengar dari luar. Zinni membiarkan gema itu menghilang, tak bersuara lagi. Sampai derak pintu lirih menyadarkannya. Ia menoleh ke arah sumber suara. Kedua bola mata Zinni melebar bersama langkah lebar seorang yang baru saja masuk ke dalam kamar.

"Ma-"

"Aku di sini, Zin."

Bibirnya bergetar. Air bening kembali meluncur di pipinya kala rengkuhan lembut membenamkan wajah Zinni ke dada Makki. Masih dalam posisi berdiri, sedang Zinni duduk. Makki tak bisa untuk menahan diri lagi, dan langsung memeluknya.

Tidak biasa, Makki juga tak membiarkan gadis itu memberinya penolakan. Maka sebelum berakhir dengan cepat, satu tangan cowok itu melingkar di pundaknya, dan satu lagi mengelus surai Zinni.

Zinni membiarkan Makki melakukan hal tersebut hingga tak bisa memungkiri kedua tangannya ikut melingkar di pinggang Makki. Ia benar-benar seperti bocah, menghabiskan pertemuan dengan menangis sesenggukan tanpa berkata apa pun.

"Kamu nggak bisa nyembunyiin apa-apa lagi sama aku."

Zinni diam, tak berani melepaskan pelukan itu. Padahal banyak pertanyaan di kepalanya. Dari mana Makki tahu semuanya, bagaimana dia bisa ke rumah di jam sekolah, apa Makki membolos. Tunggu ....

"Ki, bukannya ada ujian hari ini?"

"Apa itu yang kamu khawatirkan? Apa kamu nggak pernah mikir ada orang yang lebih kacau ketimbang ujian?"

"Jangan karena kamu merasa nggak enak, jadi kamu mau menanggung sakit sendirian, Zin. Aku kan udah sering bilang. Andelin aku di setiap kamu butuh tempat."

"Aku kecewa. Apalagi aku tahu kabar ini dari orang lain."

"Apa kamu mau terus diam kaya gini?"

Bukan kalimat panjang yang bisa Zinni balas. Melainkan kata singkat.

"Maaf."

Elusan terus Makki berikan pada cewek itu. Dari tadi tangisnya belum berhenti. Tetapi Makki senang saat tangan itu belum melepaskan tautannya.

Sejak berada di perjalanan, Makki tak henti-hentinya mendesah gusar. Bahkan dia terkadang menyuruh Jasmine sedikit melajukan kendaraan lebih kencang. Di belakang kemudi, Jasmine menyuruh Makki sabar, dan berucap bahwa yang gelisah bukan hanya dirinya. Begitu pun dengan Sandi ikut menenangkan kegelisahan Makki.

Sesampainya di halaman rumah, mobil Jasmine langsung melipir ke garasi. Sebab, Makki sudah lebih dulu mengabari mama Zinni bahwa mereka akan datang.

Setelah obrolan dan mendapat izin, Makki langsung melesat ke kamar Zinni. Hingga mendapati keadaan gadis itu yang memprihatinkan.

"Zin, kamu mau nangis sampe kapan?"

"Hm."

Sekarang Zinni malu. Sungguh, ia tidak bisa membiarkan Makki melihat wajah jeleknya. Percayalah, seragam sekolah Makki sudah basah karena air mata dan ingus. Bukan itu masalahnya. Dirinya cuma bingung, kenapa harus menangis seperti tadi. Padahal jelas-jelas cowok itulah yang belakangan ini ia hindari.

Di balik pintu kayu, berdiri seorang siswi dengan tangan terkepal. Dia beberapa kali mengerjapkan mata, menghalau bulir bening yang mungkin saja siap tumpah. Dibusungkan dadanya supaya tegap, dan dia menghirup udara dalam. Di samping, ada Sandi yang menepuk bahu gadis itu, demi menambah kekuatan padanya.

"Lo bisa. Cepet masuk. Persahabatan kalian lebih penting."

Sekali anggukan kepala, dia membuka pintu kamar lebar. Hingga menampilkan sosok seorang cewek berambut sebahu. Dia berdiri di ambang pintu sambil menatap pemandangan yang percayalah cukup mengiris hatinya.

"Jasmine!"

Zinni langsung melepas pelukan  hingga cowok itu termundur sedikit. Kini ketiga anak adam itu saling mengadu tatapan satu sama lain.

MiHizky💕
31 Januari 2023

Adakah komen atau masukan buat part ini?
Hey jangan sungkan, bisa kalian sampaikan di kolom komentar. Jangan lupa vote juga.
Salam semangka🍉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top