21. Nyala api
Siapa yang harus disalahkan karena sisi baikmu mulai berontak mengabaikan risiko terluka.
🌸
"Aaa! Tidak!"
"Misel!?"
"Apa yang lo lakuin?"
"Ha! Lo nyalahin gue? Kalo lo pada nggak rusuh, ini nggak mungkin terjadi."
"Lo. Gue nggak salah."
Napas Misel tersengal, jantungnya seakan berhenti berdetak. Dia gemetaran setengah mati, tungkainya melemah dan tak sanggup menopang berat badannya. Hingga dia merosot terduduk di lantai keramik.
"Kk-alian ... apa yang kalian lakuin!?"
Misel menutup mulut seraya menatap lurus pada dua murid di bawah tangga. Dia mengangkat kedua tangan di depan muka, lalu sepintas ingatan sebelum itu terjadi merayap dalam pikirannya.
Tidak tahu siapa yang harus disalahkan, lantaran terlalu cepat semua dan tak bisa dia cerna dalam situasi sekarang. Padahal baru saja Misel menarik lengan Zinni, demi mencegahnya pergi. Tetapi gadis itu melawan dan tak mau diam, sampai-sampai kedua temannya turut menjegal. Karena sebuah kebodohan mereka, akhirnya Zinni berhasil lepas setelah dengan sengaja Misel melepas tangannya. Bersamaan dengan itu Zinni tergelincir dan jatuh secara tak sengaja menabrak Geren yang masih berada di anak tangga.
"Geren."
Sayup-sayup keributan ketiga siswi di atas masih bisa Geren dengar. Meski suaranya terdengar samar. Sebab dengan posisi terlentang ia merasa sangat berat di bagian atas, Seperti ada yang menindihnya. Belum lagi bagian belakang kepala, berdenyut hebat. Seakan langit-langit atap yang ditatapnya berputar. Perlahan ia tak bisa lagi menahan kelopak untuk terpejam.
🌸🌸🌸
"Ma, Mama. Apa Kakak mati juga?"
"Nggak, Sayang. Kakak cuma lagi tidur aja."
"Dari tadi nggak bangun-bangun, Ma?" gadis kecil itu menempelkan daun telinganya ke perut kakaknya yang terbaring.
Diamati deru napas yang tak biasa, dan merengek kembali kepelukan mamanya. "Ma Kakak kenapa? Apa ini karna Inni, jadi nggak mau buka matanya?"
Ike tersenyum geli menatap anaknya yang polos. Bocah itu tak paham bagaimana seorang yang tengah sakit, demam panas terkadang meracau tidak jelas. Dia kira kakaknya tengah merajuk dan tak mau bermain bersamanya.
"Kakak, cuma lagi tidur. Nanti juga bangun, Nak."
"Kak, cepet bangun. Biar kita bisa main lagi. Nggak papa, mainan Inni buat Kakak semua. Asal Kakak mau main sama Inni." Bocah bermata bulat itu menahan air mata. Bibir mungilnya bergetar.
Hampir satu jam Zinni mematung di sisi tempat tidur. Sembab di matanya tak bisa disembunyikan. Dengan dua tangan terlipat di atas kasur, ia meletakkan kepalanya. Dari tadi berharap kalau lelaki yang tengah terbaring itu bangun.
Kelebat kejadian beberapa waktu lalu masih melekat di pikirannya. Saat terbangun dan berada di atas pelukan Geren. Tergeletak bersama kakaknya dengan tubuh penuh goresan luka, Zinni memekik nyaring. Namun, yang dipanggil sama sekali tak menyahut.
Dilanda cemas, ia mengguncang tubuh Geren. Zinni sendiri bisa merasakan deru napasnya yang naik turun. Tanpa permisi, genangan air mata luruh di pipinya. Terlebih saat ia melihat bercak darah dari kepala Geren. Hingga membuat tubuhnya bergetar hebat. Beruntung selang detik berikutnya, beberapa anak datang dan segera memboyong keduanya ke UKS.
Belum sepenuhnya lega ketika dokter mengatakan tidak ada cidera parah kecuali pada bagian kaki.
Kemungkinan Geren akan kembali sembuh setelah beberapa hari istirahat. Tetap saja, Zinni sangat menyesal kejadian buruk itu menimpanya. Lagi, dan membuat Geren terlibat dalam insiden tersebut. Dalam kepanikan juga kecemasan, ia tak bisa berhenti menangis. Sampai kedua orang tuanya datang menjemput.
Mama sama paniknya dengan Zinni. Begitu sampai di rumah pelukan erat langsung merengkuh Zinni dalam badan tambunnya lalu beralih pada Geren yang dibawa papa. Wanita itu bisa tenang setelah mendapat penjelasan dari suaminya, dan membiarkan Geren istirahat.
Bagaimana dengan papa, jelas khawatir. Namun, sekali lagi pria itu jauh lebih tegar untuk menguasai diri dan tak memperkeruh suasana.
Ia berhasil membawa Geren pulang dalam keadaan yang tak disangka. Tidak sekalipun membayangkan bahwa dirinya benar-benar mengalami ini. Dua telapak tangannya menangkup wajah, menyembunyikan isak dan semakin tertunduk. Rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya ia abaikan, ada yang lebih sakit dibanding itu.
Entah mengapa semakin berat dan susah bagi Zinni mendekati kakaknya. Setelah kesadaran Geren pulih, ia bisa menerawang bagaimana hubungan mereka berakhir.
Apa ada pilihan baginya? Semua tergantung takdir.
Gadis itu masih menatap nanar pada Geren, dan matanya melebar bersama gerakan yang ditunjukkan oleh lelaki di atas tilam.
Kelopak mata Geren perlahan terbuka, penglihatan pertama yang mampir di netra gelapnya adalah langit-langit kamar. Beberapa kali mengerjap, menyesuaikan suasana di ruangan tersebut.
Ia terperanjat sampai terbelakak lebar ketika mendapati dirinya sudah berada di rumah. Kontan Geren bangkit terduduk seraya memegangi kepala, nyeri. Keseimbangannya terganggu serasa keadaan sekitar sedikit berputar.
"Kakak, udah sadar?" sapa cewek yang ikut terbangun di sisi kirinya.
"Lo? Ngapain di sini? Terus gue kenap-lo, sialan!"
Zinni terkejut lantara Geren mengaduh kesakitan, "Geren, aa-pa yang sakit?"
Zinni berinisiatif mendekat. Namun, langsung terhuyung mundur karena Geren mendorongnya kasar.
"Pergi lo! Cewek terkutuk. Ini semua gara-gara lo!"
Sudah jelas, jika Geren mengingat penyebabnya berakhir menyedihkan di atas ranjang.
"Aku ... aku," katanya terbata dengan derai air mata tak terbendung. Tangisan itu kembali lagi, "Kak, ak-"
"Hah, kaki gue?" frustasi Geren menyibak selimut yang menutupi setengah badannya.
Ekspresi Geren makin mengeras, pembuluh darah tampak tegang di lehernya. Ketika didapati kaki kanannya digips dan tak bisa digerakkan. Semakin ia memaksakan diri, malah sakit yang ia dapat. Kakinya cidera lumayan serius.
"Jin! apa yang udah lo lakuin, huh," tanyanya seraya meninju dinding kamar. Ia tidak peduli rasa sakit dari buku-buku tangannya yang berdarah.
Zinni tersentak dengan air mata merebak di pelupuk matanya, "Tadi kita jatuh, da--"
"Lo harus tanggungjawab. Gue benci sama lo, benci!" sarkastik Geren langsung meraih lengan Zinni dan mencengkeramnya sekuat tenaga. Sekarang ia mirip seperti orang kesetanan, tak bisa menahan emosi yang memuncak.
Sementara Zinni, hanya bungkam menahan tangis antara sakit di pergelangan tangan dan batinnya.
"Hiks, hiks ... sakit, Kak."
"Diam! Gue bilang diam, Jin," berang Geren melotot pada Zinni. "Gara-gara lo. Ini semua karna lo, anak sial!"
"Nggak usah nangis di depan gue! Bikin gue jijik."
Amarah Geren meluap-luap dengan napas naik turun. Ia sungguh ingin membalas perlakuan Zinni kali ini. Kebencian yang terpupuk sekian lama mulai tak bisa Geren kendalikan.
"Kaki gue. Kenapa sakit? Anjing!"
"Lo bisa nggak balikin kaki gue, Jinni!"
"Aku minta maaf."
"Nggak. Nggak bisa, gue nggak akan maafin lo. Nggak guna."
"Kalo aja lo nggak ada, ini nggak mungkin terjadi."
"Kalo lo nggak ngajak gue balik ke rumah, nggak akan terjadi. Lo emang paling suka bikin gue sakit, ya." Cengkeraman itu semakin erat membelit tangan kurus Zinni.
"Aku, semua it-"
Alis Geren menukik tajam dengan rahang mengeras, "Bangsat! Gue jadi nggak bisa ikut turnamen futsal, gara-gara lo. Jadi simpen air mata lo yang nggak mungkin ngerubah semua ini."
"Itu bisa sembuh beberapa hari ...."
"Hebat. Lo kira lombanya bisa ditunda, huh? Dua hari lagi itu dimulai. Asal lo tau aja, cih!"
Frustrasi menjambak rambut sampai awut-awutan. Geren sangat menyesal karena kelakuan refleksnya sore tadi. Hingga membuat ia terimbas masalah.
"Sakit ... Geren," cicit Zinni berusaha melepaskan cengkeraman tangan Geren.
"Ini nggak sebanding sama apa yang gue dapet. Lo harusnya sadar."
Kebas, Zinni tak bisa merasakan jemarinya yang kekurangan darah akibat lilitan tangan Geren.
"Aaa! Sakit!" pekiknya serak, "aku minta maaf, aku bakal lakuin apa pun yang kamu mau."
Apalagi yang bisa Zinni janjikan demi membuat Geren berhenti memperlakukannya kasar.
"Pergi, lo pergi dari hidup gue."
Terjadilah keributan, suara pekikan dan racauan antara kedua kakak adik itu memenuhi kamar Geren. Tak lama kemudian Darma datang dan membuat suasana semakin gaduh.
"Geren!"
Suara teriakan Darma bagai angin lalu. Blingsatan tak peduli, Geren semakin menarik Zinni untuk memberinya hukuman. Sedangkan Zinni susah payah menghindar dan melepaskan diri sia-sia.
"Geren! apa yang kamu lakukan?" tegur Darma yang menyaksikan keduanya.
"Bela terus dia, bela, Pa!"
"Kakak, ada apa ini?"
Mama yang tiba-tiba muncul langsung berhambur dan mendekat, sedang Darma memisahkan mereka supaya keduanya menjauh.
"Ada apa, Pa?" tanya mama terlihat bingung dengan keributan yang terjadi. "Zinni ini kenapa?" imbuh mama meraih pergelangan tangan Zinni. Tampak kebiruan dan goresan luka di sana.
Zinni hanya diam sambil mengelap sisa air mata di pipinya. Di atas tilam, Geren masih melayangkan tatapan mengintimidasi. Cowok tersebut benar-benar marah, dan dendam.
"Papa nggak usah ikut campur."
"Kamu kenapa? Apa yang kamu lakukan barusan?"
Smirk di wajah Geren terukir mengerikan. Ditatapnya satu-satu anggota keluarganya. Sesakit itu ia mencebik sendiri dalam luka yang masih basah. Masih sakit pun, orang tuanya tidak pengertian akan batinnya. Padahal kejadian ini terjadi karena siapa?
Geren mendengkus kesal. Ia menarik napas dalan dan mengembuskannya. Kalau saja kakinya bisa untuk berlari, ia sudah melesat dari sana. Sayang, ia cuma bisa terduduk menyedihkan sekarang.
"Keluar! kalian keluar semua!"
"Kakak, kenapa?" mama mendekatinya dan sibuk mengusap bercak darah di tangan. Wanita itu menenangkan Geren dengan segala perasaan resah di benaknya. Kesenduan tercekat jelas di wajah Ike.
"Lo, terutama lo, Jin!"
"Udah, Nak. Kamu harusnya istirahat. Ada apa, kenapa marah-marah?" sebisa mungkin Ike berkata lemah lembut.
"Mama urus saja dia. Nggak usah peduliin aku."
Kedua iris Ike membola kala mendengar keluhan Geren. sedang papa malah geram mendengarnya, "Anak ini. Jangan bertingkah kekanakan, minta dihajar?"
"Papa bilang kekanakan, huh!?" ketus Geren menatap papanya. Tidak ada ketakutan dari cowok itu, sekalipun Darma melotot padanya.
"Anak kurang ajar! Kamu udah kelewat batas Geren."
Selangkah, Darma maju. Namun berhenti ketika melihat anak gadisnya melesat keluar dari kamar.
"Zinni, mau ke mana kamu?"
MiHizky💕
28 Januari 2023
Gimana2 udah mual belom bacanya. Maap kalo banyak kurang dan di luar ekspektasi 😂
Kasih vote dan komen ya. Dukungan kelean sangat berarrti genges!
Salam semangka🍉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top