20. Jatuh

Untuk apa kamu menarikku dari kematian, jika selamat pun kamu menatapku kasihan.
🌸

Apa hari-harinya semakin menyepi?

Hanya ada barisan bangku, meja, dan lemari kayu yang berjajar di ruangan tersebut. Tempat petak itu seperti mati, tidak ada hawa nyawa di sana. Samar terdengar suara dari luar kelas. Di tempatnya berdiri, Zinni menyorot detak jarum jam yang berputar dan menggema di pendengarannya. Tak apa, itu lebih baik dari pada benar-benar ditelan kesunyian.

Bel jam terakhir sudah berlalu sepuluh menit lalu. Bahkan orang terakhir yang menjadi rekannya lebih dulu pamitan karena tidak bisa membantu. Bukan masalah bagi Zinni. Dikerjakan sendiri pun akan selesai, jika memang niat.

Setelah semua anak pulang dan menyisakan kekosongan, ia mulai bersiap dengan alat kebersihannya. Apalagi kalau bukan piket kelas. Mumpung masih ada waktu, Zinni memilih pulang terlambat lantara ingin merampungkan misinya yang lain.

Diraihnya sapu di dalam lemari, kemudian mulai menyapu tiap jengkal lantai kelas. Tidak terlalu kotor, juga tidak bisa dikatakan bersih. Sapuan pada baris di belakang terlewati, hingga usaha pada deretan bangku di baris kedua menghentikan gerakan Zinni. Gadis itu duduk sejenak memijit keningnya yang berdenyut.

"Jangan sekarang. Ini bahkan belum setengahnya," gumam Zinni berkompromi kalau-kalau pening di kepalanya bisa ditunda barang sebentar saja.

Ia tidak tahu pasti kenapa bisa merasa pusing. Bahkan sejak pagi rasanya seperti ada yang bersemayam dalam otaknya, berat. Mungkin ia sedang meriang. Zinni kepikiran tentang kesehatannya yang akhir-akhir ini menurun. Penyebab utama keseringan begadang atau lebih pada banyak pikiran yang seharusnya tidak perlu ia ingat.

Merasa baikan, Zinni kembali bangkit untuk melanjutkan kegiatannya. Namun, seorang yang baru saja datang membuat sepasang netra mereka bertemu. Siswa itu terlihat kacau, tidak seperti penampilan yang rapi biasanya.

"Makki. Kamu belum pulang?"

"Belum. Ada rapat PMR sebentar tadi, aku ... biar kubantu," tutur siswa tersebut seraya mendekat. Dia tampak kikuk.

"Nggak usah, Ki. Kan udah ada jadwal masing-masing. Bukannya kamu harus cepet pulang."

"Sebentar aja, nggak akan lama. Pasti keburu buat sampe tempat kerja."

"Tap--"

"Udah nggak pa-pa, biar cepet kelar kalo dikerjain berdua."

Makki masih memaksa dan langsung mengambil sapu lain di lemari. Sedang Zinni mengembangkan senyum tipis.

"Oke, kalo kamu maksa. Tapi jangan minta aku buat bantuin kamu piket besok, ya?"

"Iya, nggak akan. Tenang aja."

Apa penolong selalu datang di waktu yang tepat? Zinni pikir juga begitu. Entah bagaimana ini kesempatan baik untuknya sekadar menghabiskan sisa hari yang ada. Mengukir sedikit momen receh yang mungkin akan ia ingat ketika menjadi masa lalu.

Ia selalu ingin bersama cowok tersebut. Melakukan hal gila demi sebuah tawa dan kebersamaan yang semakin jarang terjadi akhir-akhir ini. Kehadiran Makki seperti candu, membuatnya ketagihan. Percaya atau tidak, sekarang nyeri di kepalanya seolah raib sesaat.

Dengan senyum tiga jari guratan itu belum luntur sepanjang melakukan piket kelas.

"Yang lain ke mana? Kenapa piket sendiri?"

"Sebagian udah pulang, sisanya udah nyapu, dan ini tinggal bagianku."

Makki mengangguk paham, dan kembali menyapu. Sesekali dia berhenti untuk mengangkat kursi dan membaliknya di atas meja, demi memudahkan meraup sampah di lantai. Tak butuh waktu lama, keduanya berhasil menyelesaikan piket dalam waktu kurang dari lima belas menit.

"Kapan kamu libur kerja?" tanya Zinni seraya menyusun kembali sapu ke dalam lemari kayu.

"Akhir pekan. Kenapa?"

"Aku mau main ke sana, gimana boleh?"

Sejak kapan Zinni minta izin ketika akan bertandang ke kediaman Makki. Gadis itu hanya takut jika akan mengganggu jadwal kencannya bersama Jasmine. Maka, ia perlu memastikan dulu.

"Boleh banget, Zin. Udah lama juga kamu nggak main. Anak-anak pada nanyain, apalagi Dino."

"Beneran?" katanya tak percaya.

Sebulan lalu adalah terakhir kalinya Zinni bermain ke panti. Lumayan lama juga, padahal biasanya ia menyempatkan diri dalam seminggu sekali. Urusan sekolah dan masalahnya saat ini cukup menyita waktu, hingga menjauhkan dirinya dari tempat tersebut.

"Iya."

"Oke 'lah, akhir pekan aku ke sana."

"Zin, aku ... sebenarnya ada yang mau aku omongin sama kamu," lirih Makki setelah menimang pikiran.

"Hmm, ap-sebentar," ujarnya lalu merogoh hp di saku seragamnya.

Sandi 
Bon cabe lagi remedial, Zin. Jadi ke kantor aja mumpung dia belum kelar.

"Zin?" Makki bertanya penuh selidik, "Gimana, sebentar aja mau dengerin nggak?"

"Aku harus pergi, Geren ...," lirih Zinni terjeda ketika raut muka Makki berubah sendu. "Besok, kita lanjut lagi. Aku harus pergi sekarang."

"Tapi, Zin, sebentar aja."

Dahi Zinni mengerut, ia bimbang untuk memutuskan. Kalau tidak buru-buru, Geren akan segera pulang. Tetapi, Makki ingin bicara. Ia hanya perlu mengikuti tujuan awal dari misinya, harus diprioritaskan. Demi membujuk Geren pulang.

"Aku janji, besok kita bicara sebelum jam pertama dimulai. Dah, Makki aku pergi duluan," ucapnya pamitan seraya melambaikan tangan.

Sementara Makki tidak berkutik, selain mengalah dan menunggu hari esok.

Ekspresi kecewa terpampang di wajah cowok itu. Kalau Zinni tahu saja, dia sudah memikirkannya matang-matang dan gelisah tidak karuan sejak kemarin.

Setidaknya dengar sebentar aja, Zin.

Apa dia bener-bener menjaga jarak sekarang?

Harusnya aku menolak Jasmine.

Makki mendesah panjang, dan tersentak saat Zinni kembali di hadapannya.

"Makki, makasih. Buat bantuannya, ya. Aku hampir lupa."

Dia memaksa sudut bibirnya seraya mengangguk.

🌸🌸🌸

"San, mana Geren?"

"Masih di dalem, bentar lagi juga keluar. Jangan khawatir. Udah gue rukiyah tadi dia biar mau balik kok. Kalo nggak mempan besok gue usir dari rumah deh." Sandi berujar yang ditanggapi Zinni dengan senyum tipis.

"Gue duluan ya, futsal dulu."

"Iya, San."

Di sinilah Zinni berada. Di depan kantor. Geren dan beberapa anak tengah mengulang ujian karena nilai di bawah standar, termasuk Sandi. Tetapi siswa itu lebih dulu selesai dan keluar dari ruangan. Lantaran ada agenda ekskul rutin yang biasa mereka ikuti.

Cukup gugup ketika menunggu Geren di ruang guru. Berharap sosok kakaknya segera muncul. Ia mondar-mandir dengan kedua tangan saling meremas, berusaha santai. Jangan sampai ia lupa dialog dan tujuan saat Geren menyalak padanya. Satu-satunya kebiasaan Zinni yang masih sering kumat jika harus menghadapi Geren. Lelaki yang merupakan saudaranya namun terasa seperti musuh.

Tenang, Zinni.

Ia menguatkan diri. Ketika knop pintu bergerak, Zinni langsung menyorot gagang pintu tersebut. Mata bulatnya meredup kala mendapati murid lain yang keluar. Sialnya, siswi itu adalah Misel. Bencana sebentar lagi akan terjadi.

Sama-sama terpaku dalam bisu, akhirnya Misel buka suara lebih dulu. Menyeringai bak menemukan mangsa yang telah dinanti. Tanpa menunggu waktu lagi, cewek langsing itu melangkah maju dengan sangat mengintimidasi.

"Wah, lo ngapain di sini? Punya nyali juga."

"Bukan urusan kamu."

"Sok galak lo. Nggak mungkinkan lo ke sini tanpa tujuan?" Misel menyelidik nakal. Dia semakin mendekat sambil berjalan mengelilingi Zinni. Lalu, berhenti di depannya saling berhadapan.

Yang ditanya cuma diam. Enggan menanggapi. Sumpah demi apa pun, manusia satu ini sangat menguji batinnya.

"Lo nggak mau ngomong, atau lagi sariawan?"

"Bukan urusan kamu. Lagian aku nggak perlu kasih tau apa pun sama kamu."

"No. lo harus kasih tau gue. Ah ...," tolak Misel ingin jawaban, "jangan bilang lo mau ketemu Geren."

Zinnia tetap mingkem, tak mau menjawab. Tebakan Misel tepat. Jelas sekali hanya itulah tujuan Zinni ke sini. Situasi yang tidak menguntungkan karena selang sedetik kemudian, dua siswi lain ke luar dari kantor.

"Wow, cewek ini ngapain di sini, Sel? Padahal kemaren lari ketakutan."

"Jangan bilang kangen sama kita, ya?"

Kedua teman Misel menggoda Zinni sambil terkekeh mengejek. Zinni memilih sabar menghadapi tiga siswi rempong itu.

Ia pikir mereka akan pergi meninggalkan tempat tersebut. Salah, prediksi Zinni meleset. Justru mereka sengaja menunggu reaksi Zinni sampai buka suara.

"Zinnia, lo nggak mau masuk ke dalam, nih? Terus ngapain masih di sini?"

Misel kepo akut dari tadi terus mempertanyakan hal yang sama perihal keberadaan Zinni di sana. Malas menanggapi omongan Misel, ia beringsut ke dekat tembok. Menjaga jarak dari mereka.

"Helo di sini ada orang loh. Itu mulut sariawan atau bisu, jawab dong."

Zinni menepis tangan Misel karena berusaha menyentuh rahangnya, "Jangan sentuh aku."

Aksi melawan Zinni sontak membuat ketiga siswi itu bersorak, "Wohoho! Apa katanya barusan? Gue nggak salah denger."

"Oke, kita nggak bakal ganggu lo lagi. Kalo lo kasih tau mau apa ke sini?"

"Ketemu Geren. Puas."

"Udah gue duga lo ngejar-ngejar Geren terus, ya."

"Kemaren aja lo bisa kabur dari kita, jangan harap buat sekarang."

"Kalian mau apa sih?" tanya Zinni heran sendiri.

"Lo jauhin Geren."

"Geren," ucap Zinni menoleh ke arah pintu yang terbuka. Ia mengabaikan Misel di sampingnya. Buru-buru Zinni berderap mendekati kakaknya.

"Ngapain lo di sini?"

"Ayo pulang bareng."

Ucapan Zinni barusan membuat ketiga murid itu kaget. Sampai mendelikkan mata. Mereka pikir Zinni telah mengibarkan bendera perang secara terang-terangan. Hingga membuat Misel kalap dan menarik lengan Zinni kasar.

"Lo, barusan ngomong apaan, huh?"

"Geren, tunggu aku belum selesai bicara," panggil Zinni berusaha mengejar Geren yang berlalu menuruni anak tangga. "Lepasin!" ia masih berusaha melepaskan cengkeraman tangan Misel.

"Geren!"

"Lo budek ya, gue udah peringatin lo buat jauhin dia. Dasar cewek budek."

"Kalian apa-apaan, sih?"

Terjadilah tarik menarik dari dua cewek itu. Sementara dua teman Misel terus mengadu ketangkasan dari seorang Zinni, meremehkan siswi yang mereka anggap lemah. Tanpa mereka semua sadari, bahaya telah mengintai.

Geren yang berhenti sesaat dan membalik badan, terkesiap saat salah satu dari mereka ada yang tergelincir dari atas. Refleks dia pasang badan dan terjungkal bersamaan dengan siswi yang baru saja menubruknya. Hingga keduanya berguling di tangga sampai terhenti di dasar lantai.

Suara kedebum membuat ketiga siswi di atas memekik kencang, serta saling menyalahkan. Setelahnya hening karena dua cucu adam itu telah terpejam tak sadarkan diri.

Waktu sesaat terasa berhenti. Salah satu dari mereka meraup udara dalam karena merasa sesak. Dia sendiri tak percaya dengan pandangan di depannya. Semua terasa seperti reka adegan terburuk di siang itu.

Dengan tubuh bergetar juga penglihatan yang memburam, hanya satu kata siswi itu rapalkan sembari mengusap air mata.

MiHizky💕
26 Januari 2023

Sakitan mana jatuh dan terkilir atau patah hati? 😂
Tinggal vote komen :)
Salam semangka🍉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top