18. Mencoba sadar

Orang yang benar-benar peduli tidak akan berpura-pura atau sembunyi dari masalahmu.
🌸

"Gue ntar nyusul, Zin. Kalo udah beres OSIS, ya."

Lantas Jasmine melipir ke gedung timur di ruang ekskul. Sementara Zinni berkelok ke arah kantin. Keduanya berpisah dengan tujuan berbeda. Wajar saja kalau Jasmine lumayan sibuk. Sebab ia termasuk anggota inti di OSIS Bunga Bangsa. Anak yang easy going juga pandai bergaul sepertinya bukanlah perkara sulit untuk menjadi bagian dari organisasi tersebut.

Berada dekat bersama Jasmine di saat tertentu membuat Zinni segan. Sebab tanpa diminta, otak tumpulnya berkelebat tentang kisah asmaranya dengan Makki. Meski tidak ingin berpikiran jauh, nyatanya ia tidak bisa tidak penasaran.

Mulai bagaimana mereka menjalani hubungan tersebut, kegiatan apa yang dilakukan kalau bertemu, pembicaraan menarik seperti apa yang sering mereka singgung, dan masih banyak hal lainnya yang membuat ia kepo. Tetapi, jujur saja hampir seminggu yang katanya mereka jadian, Zinni belum mendengar lagi dari mulut Jasmine. Kecuali bahwa memang perasaannya tersampaikan.

Sepanjang perjalanan ke kantin Zinni bergumam sendiri.

Gadis itu menepuk jidat supaya kembali berpikir jernih. "Bukan waktunya mikirin itu."

Bergegas ke kantin demi mengisi perutnya yang keroncongan. Cewek itu duduk sendirian dan menyantap makanan tak mau ambil pusing dengan memikirkan apa pun. Sebab, perutnya sedang kekurangan asupan. Zinni lapar karena tadi pagi belum sempat sarapan.

Tumbenkan.

Alasannya ia bangun kesiangan karena tidur kelewat malam. Tugas fisika yang tidak Zinni ingat membuatnya harus begadang sampai larut. Alhasil waktu istirahatnya berkurang. Beruntung, ia tidak terlambat sekolah pagi tadi.

Coba saja pikirannya normal, pasti ia bisa menghandle jadwal harian dengan benar. Setelah rampung dengan makan siangnya, Zinni berniat menunggu Jasmine barang lima menit lagi. Siapa tahu dia akan datang lebih cepat. Kalau tidak, keputusannya kembali ke kelas.

Belum genap lima menit, Zinni berubah haluan. Ia buru-buru bangkit dan membayar pesanannya. Lalu berderap cepat menyusul siswa yang baru saja keluar kantin.

"Gg-geren!"

Panggilan dilayangkan pada Geren hingga membuat siswa tersebut berhenti, juga Sandi yang berada di sampingnya.

"Halo, Zin. What's up?"

Ia mencoba mendekat seraya mengatur napasnya yang masih naik turun. Alih-alih menunggu, Geren justru mulai melangkah lagi. Semakin memperjauh jarak di antara keduanya.

"Bon, lo dipanggil tuh. Budek ya?" Sandi mengomentari sikap abai Geren.

Seakan tuli Geren tetap berjalan begitu saja. Seolah benar-benar tak mendengar ada orang yang memanggilnya. Maka, dengan cekatan Zinni berhambur ke sisi depan dan memblokade jalan.

"Tunggu ... dengerin aku sebentar aja?"

"Minggir."

Geren berucap ketus dengan mata berkilat. Netranya enggan bersitatap pada Zinni. Dia lebih memilih menyapukan pandangan ke arah lain.

Menghirup udara dalam seraya meremas rok sekolah. Aku bisa! Tekadnya sudah bulat untuk membujuk sang kakak supaya pulang. Ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut lagi.

"Ayo, pulang. Mau sampe kapan kaya gini terus?"

Menoleh kanan-kiri di antara Geren dan Zinni. Akhirnya Sandi pamit duluan tak ingin terlibat dalam urusan mereka. Cowok ikal itu yakin, kalau mereka butuh bicara empat mata. Namun, Geren yang tepat berdiri di sampingnya langsung menarik kerah seragam Sandi. Memberi tanda untuk stay di sana.

"Apa nggak bisa dibicarain baik-baik di rumah? Mama nanyain terus."

"Nggak minat gue. Lo senengkan karena gue pergi. Puasin aja, bermanja ria mumpung nggak ada gue, Jin."

"Bukan gitu. Itu nggak bener, setidaknya telpon mama biar nggak khawatir."

"Nggak usah ngajarin deh. Lo siapa sampe mikir bisa ngomong gitu. Kalo udah mending lo minggir, gue mau lewat."

"Nggak mau!"

Spontan kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Zinni. Sampai ia sendiri pun terbelalak. Beda dengan Geren yang tetap melangkah maju, hingga membuat Zinni termundur perlahan.

Masih di area kantin tentu banyak pasang mata mengamati. Ini sudah seperti adegan klasik di drama kacangan yang tayang dalam acara TV.

"Papa juga khawatir."

"Omong kosong."

"Semua ... bisa kembali lagi, kalo ...."

Geren semakin memangkas jarak membuat Zinni terbata. Mungkin hanya berjengkal tiga jari karena sepatu mereka hampir bersentuhan. Kakaknya yang memang lebih tinggi menatap ke bawah pada Zinni. Dalam tiga detik dia belum bersuara, masih diam sambil menatap datar. Zinni sendiri tak bisa menebak isi pikirannya. Ia memberanikan diri menatap manik itu.

"Woi, Ger. Mau ngapain lo? Tahan, ini di sekolah. Urusan rumah tangga jangan dibawa ke sini," peringati Sandi mengguncang lengan Geren, "liat lo diliatin anak-anak, Ger."

"Gue bakal pulang, kalo ...," tutur Geren sengaja menjeda ucapannya. Sementara Zinni menunggu kelanjutan kata tersebut. "Kalo lo nggak ada di rumah."

Terpaku di tempat, Zinni tak bisa berkata-kata. Iris bulatnya melebar bersama lantunan lirih Geren yang terus terngiang di kepala. Setelah itu, dia pergi tanpa kata apa pun dan sedikit menubrukkan bahunya pada Zinni yang masih membeku kaku.

Bagaimana untuk membuat kakaknya paham. Jika bertingkah seperti kekanak-kanakan malahan tambah memupuk kekeliruan semakin banyak. Di tempatnya berdiri pandangannya nanar, ia masih membisu seraya menarik napas dalam. Mungkin, dirinya butuh lebih keras lagi supaya berhasil. Beban berat belum sirna, di pundaknya seakan tengah memikul berkilo-kilo beras.

Drama lain datang di saat tak diharapkan. Lengan kiri Zinni disentuh kasar sampai terkesiap dari lamunan. Membalik badan dan didapatinya sekelompok pengganggu yang berdiri angkuh. Siswi berkulit putih semulus pantat bayi itu memainkan rambut kritingnya dengan jemari lentiknya. Sementara dua lainnya bersedekap tangan, menatap remeh pada Zinni.

"Wah-wah siapa yang abis dikacangin nih?"

"Kasian banget nggak sih. Udah dibilang nggak usah sok akrab deh."

"Lagian lo ngapain deketin Geren, hm?"

Tiga pentol korek tiba-tiba angkat bicara setelah muncul secara mendadak. Seperti hantu saja, hawa mereka terasa negatif.

Misel menampilkan muka ceria seakan senang melihat Zinni sedang bermasalah bersama Geren. Rupanya dari tadi dia diam-diam mencuri lihat dari jarak lumayan jauh dari sana.

"Eh, mau ke mana lo? Kita lagi ngomong woi?"

Misel sedikit terkejut tak menyangka akan diabaikan begitu saja. Melihat Zinni yang beranjak pergi, siswi menel itu ikut mengekor dan segera menjajarkan diri di samping Zinni. Dua pengikutnya pun turut menyusul, menyeimbangkan langkah sambil berkoar sendiri.

"Lo beneran nggak ada niatan buat ngasih tau gue, huh?"

"Kalian bisa tinggalin aku sendiri nggak?"

"Lucu banget dia, Sel. Lagi ngelawak ya," ledek teman Misel.

"Minta dikasarin dulu kayaknya anak ini."

Diikuti oleh Misel dan ajudannya menambah dongkol perasaan Zinni. Gadis itu sengaja mempercepat tungkainya supaya bisa menjauhi mereka. Di luar dugaan, Misel terus merapatkan diri supaya tetap menjangkau jarak sedekat mungkin.

"Cewek budek, buru-buru amat sih jalannya. Kita main dulu yuk."

"Ikut bentar ke toilet bareng kita."

"Nggak mau," desah Zinni menghindar sesaat karena Misel mulai merayu sambil memegangi rambut Zinni. Percaya saja, itu lebih terlihat ingin menjambak.

Anak-anak di sekitar mereka hanya melirik dan berbisik-bisik. Dunia itu kejam. Banyak yang tahu kalau ada ketidakbenaran di depan matanya. Tetapi diam dan berpaling adalah pilihan paling aman untuk tidak ikut campur. Apalagi menambah masalah bagi kenyamanan mereka.

"Hei, kalian mau apa?" tanya Zinni jengah seraya merapikan surai panjangnya.

"Berhenti nemuin Geren atau deket-deket sama dia."

"Nggak bisa kalo itu. Percaya aja, aku nggak ada hubungan aneh sama dia."

"Lo kira gue percaya," tegas Misel, "semenjak lo muncul. Geren makin menjauh dari gue. Lo tahukan rasanya gimana. Jadi cobalah buat nggak nambah masalah lagi."

Siapa Misel? Berkata demikian. Zinni paling paham bagaimana menjaga perasaan, apalagi demi orang terdekatnya. Tidak mungkinkan ia membeberkan bahwa mereka saudara. Bukan selesai masalah yang ada, justru resiko dimaki Geren semakin besar. Ditambah dalam situasi sekarang.

"Ayo kita bicara sebentar, ke sin-kejar dia!" perintah Misel kala Zinni berlari dan enggan menurut masuk ke toilet.

Dari tadi mereka menggiring Zinni ke sana. Tidak ingin berakhir buruk, lebih baik kabur saja.

Menyelinap di balik siswa-siswi di lorong kelas, membuat Zinni tersamarkan. Meskipun begitu, Misel masih mengejar di belakang. Sesekali mereka berhenti dan mencari dengan saksama keberadaan Zinni.

"Aduh! Maaf, nggak sengaja."

"Jangan lari-lari dong."

"Maaf," kata Zinni pada murid-murid yang tertabrak.

"Di sana! Jangan lari, cewek budek!"

"Hiih. Kenapa mereka masih ngejar sih," gumamnya terengah-engah dan semakin melambat.

Ia celingukan mencari tempat sembunyi. Kalau kembali ke kelas terlalu jauh dan tidak akan sempat. Baru mengangkat sebelah kakinya, ada seorang yang menarik lengan Zinni. Beringsut cepat di balik pintu ruangan. Hingga membuatnya terhempas ke belakang dan jatuh tepat dalam rengkuhan orang tersebut.

"Sia--?" mata Zinni langsung melotot bersama degup jantung yang berpacu cepat. Ia tidak tahu siapa yang telah melakukan itu padanya.

"Sstt. Diam."

Aroma maskulin begitu familier di hidung Zinni. Ia mendongak ke atas pada empunya tangan yang telah membekap mulutnya. Hingga membuat matanya melotot tak percaya.

Sebelum hilangnya cewek bersurai gelombang di balik pintu kayu tersebut. Ada siswi yang menangkap kejadian barusan. Hingga membuat murid itu berbalik arah, tidak jadi ke kantin. Seketika rasa lapar berganti kenyang. Ajaib, secepat itu gundah bertandang di hatinya yang rapuh.

🌸🌸🌸

"Ngapain sih lo ngikutin gue?"

"Duh, galak banget sih Kakaknya."

"Bodo amat."

"Yuk makan bareng," rayu cowok itu mengangkat seplastik makanan."

"Nggak sudi. Sonolah pergi. Dibilangin juga," balas siswi berambut sebahu ketus. Mimik marah menghiasi wajahnya. Lalu dia menghentakkan salah satu kaki karena jengkel.

Yang disuruh malah pura-pura tak mendengar. Saat siswi itu berhenti, dia ikut berhenti. Begitu pun saat berjalan.

"Ish! Nyelebin lo. Gue benci tau nggak," ujarnya menghisap ingus dalam-dalam.

"Gue suka."

"Diem lo! Tau nggak sih, gue pengen sendiri. Jadi jangan ikuti gue, awas lo!"

Percuma. Cowok tersebut tetap mengikutinya dalam diam. Tak seperti biasanya. Hingga mau tak mau isakkan tertahan mengambil alih keheningan. Sudah dari tadi susah payah dia menahan air mata supaya tidak tumpah. Pada akhirnya harus begini.

"Nangis aja nggak papa. Gue ada emang pas waktu begini."

MiHizky💕
21 Januari 2022

Yohooow gimana part ini? maaf kalo bikin boring dan banyak typo yah. Tinggal vote komen :)
Salam semangka🍉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top