12. Meragu

Daun itu gugur lebih awal dari waktunya. Seperti aku yang terlalu cepat mengambil pilihan.

🌸

Ia tidak pernah paham akan perasaan yang mendiami relungnya. Meski melawan logika, nyatanya Zinni tetap menurut pada hati kecil di dalam diri. Apa ia telah salah membuat keputusan atau itulah yang seharusnya Zinni lakukan.

Dihadapkan pada dua kemungkinan membuatnya gundah.

Mana yang lebih utama dalam pertemanan, pengorbanan atau kepercayaan?

Sejak jam istirahat berbunyi, ia masih menimang untuk stay di kelas dan dilanda penasaran, atau berperan jadi penguntit sebentar saja. Sesekali Zinni meremas jemari, menggaruk tengkuk yang tak gatal, menggigit bibir cemas. Hampir dua puluh menit, Makki belum kembali. Apa seberat ini karena ia memikirkan masa depan nanti.

Bukan.

Masalahnya ada pada sekenario yang ia cipta sendiri demi mempertemukan kedua sahabatnya.

Zinni tahu, ia terkesan memaksa Makki. Tetapi, ia tidak bisa mengabaikan permintaan Jasmine. Dalam keseharian cewek yang sering curhat dan mengeluhkan sikap Makki pada Zinni membuat ia sedikit berpikir, apa salahnya untuk mendengar sebentar sesuatu yang ingin Jasmine sampaikan. Hingga pada akhirnya, Zinni hanya menengahi antara satu sama lain.

“Zin, lo kagak liat Makki?” Woii! Zin?” panggilan Ziko tak dijawab ketika gadis itu beringsut ke luar kelas. “Apa dia nggak denger gue?” desisnya kemudian berlalu pergi dengan raut mengernyit.

Ia harus memastikan sendiri. Begitulah batinnya berkomentar. Namun, ketika sampai di tangga menuju rooftop gedung A. Tungkainya berhenti melangkah tepat di anak tangga terakhir. Zinni sedikit mengintip dari balik celah pintu yang terbuka.

Background langit redup membingkai kedua insan yang berdiri saling berhadapan. Pandangan mereka terkuci satu sama lain, sampai Jasmine berucap sesuatu dengan senyuman yang sulit diartikan. Melihat itu, jantung Zinni berpacu dua kali lipat. Sesaat otaknya tak mampu berpikir jernih.

Dari jarak hampir sepuluh meter, mustahil Zinni bisa mendengar. Apalagi suara mereka tersamarkan karena deru angin di sana. Ditambah pintu yang membatasi pendengaran.

Aku ngapain sih?

Otak Zinni sangat tidak sinkron saat ini. Ia menempelkan dan mempertajam pendengaran pada daun telinga. Berharap dapat menangkap suara dari keduanya.

Sekarang persis seperti maling yang tengah beraksi, ia merasa seakan di sisi sebelah kiri ada makhluk buruk yang membisikkan ajakan negatif, sedangkan telinga kanannya mendengar siraman rohani.

Mampus!

Belum juga berhasil nguping. Makki sudah mulai beranjak dari sana. Kontan Zinni mundur perlahan dan hampir terjungkal. Beruntung ia dengan sigap berpegangan pada pinggiran tangga. Kemudian, buru-buru melesat kabur. Berderap pelan sembunyi di bawah tangga, di samping lemari besar.

Sumpah! Ini lebih menegangkan hanya dengan mendengar sepatu Makki yang beradu dengan tegel lantai, dari pada menonton film horor. Satu kecemasan, ia hanya takut ketahuan. Sungguh Zinni tidak memiliki sedikit pun alasan.

Jantung yang berdetak kencang, dan kaki seolah terpaku. Membuat ia kaku dengan deruan napas tertahan. Apalagi ketika Makki sempat berhenti dan menyisir sekitar. Gadis itu sampai membekap mulut demi menetralisir suara kalau-kalau beraduh kaget.

Syukurlah ….

Zinni mengembuskan napas lega. Namun, kembali waspada kala Jasmine menyusul di belakangnya. Dari tempatnya berada, ia cuma memandangi siluet Jasmine yang kemudian menghilang di balik dinding.

Sesampainya di kelas. Zinni berlaku seolah baik-baik saja.  Dengan gayanya yang ramah, ia memberanikan diri menyapa Makki lebih dulu. Siapa tahu, cowok dingin itu mau bercerita.

“Makki … lancar?” Basa-basi yang hanya dibalas oleh Makki singkat.

“Hmm.”

Respons macam apa itu? Zinni dibuat terbelalak. Kendati pun diliputi rasa penasaran, ia urung untuk bertanya lebih lanjut. Tak biasanya sikap Makki berubah seperti itu.

Apa semua baik-baik saja?

Di bangkunya Zinni tak fokus sekaligus tak enak hati. Berbanding terbalik dengan cowok di belakangnya yang santai dan menyibukkan diri dengan buku.

Ice Man! Dari mane aja lo? Tadi gue cariin ke mana dah?” cerocos Ziko seraya menepuk Makki tiba-tiba.

“Lagi galau lo? Ya kan?” lagi-lagi Ziko berkomentar asal. “Jelek banget muka lo. Eh, Zin kenapa dia?”

Zinni merasa terpanggil dan menoleh ke belakang. Ia memutar duduknya empat puluh lima derajat.

“Nggak tau. Ah apa Makki sakit?” sepolos itu Zinni mengira keadaan.

“Masa?” ucap Ziko tak percaya.

Lalu menempelkan telapak tangannya ke dahi Makki sedang tangan satunya menyentuh bokong.

“Wah iya. Jidat lo anget kek pantat gue.” Cowok berambut awut-awutan itu terkekeh girang. Kemudian berlalu ke belakang, bergabung dengan gerombolan siswa yang lagi bermain game.

Makki berdecak memasang tampang datar.

Zinni tersentak ketika Makki menatap matanya dalam. “Kamu penasarankan aku jawab apa tadi?”

Ada jeda dalam kalimatnya barusan. Dia menyelami netra Zinni lekat, tanpa bergeming sedikit pun. Seolah waktu terhenti, semua orang lenyap dan hanya menyisahkan mereka saja.

“Iya,” ujar Makki singkat. Tetapi bermakna berat bagi Zinni. Iris beningnya melebar bersamaan dengan kata tarakhir yang ia dengar.

🌸🌸🌸

Suara denting piring yang beradu dengan sendok dan garpu mengalun di meja makan.  Begitu banyak menu menggoda di sana. Tetapi, Zinni tak berselera dan merasa hambar. Ia tak sadar, jika mama dan papa tengah memperhatikan tingkahnya sejak tadi.

“Zin, kenapa nggak dimakan makanannya?” tanya mama membuyarkan lamunan. Sebab ia malah asik mengaduk-aduk makanan sampai tak berbentuk.

“Eh, iya ini mau dimakan kok.” Gadis tersebut langsung menyendok sesuap nasi.

“Kamu ada masalah di sekolah?”

“Zin?” kali ini suara papa menginterupsi.

“Nggak kok Pa, Ma. Kepikiran tugas aja kok he he,” dalih Zinni takut membuat orang tuanya khawatir.

“Coba sini, takutnya kamu meriang lagi,” katanya langsung menempelkan telapak tangan ke dahi Zinni. “Nggak panas, kok. Udah makan dulu. Abis itu minum vitamin, dan ingat jangan tidur kemaleman.”

Ia menarik garis lengkung di bibirnya. “Iya, Ma iya. Nggak perlu cemas. Zinni cuma lagi banyak tugas aja. Nanti aku tidur cepet deh.”

“Geren belum pulang?” tanya papa setelah meneguk minum.

“Belum, Pa. Katanya tadi ada latihan futsal.”

“Beneran latihan atau nongkrong nggak jelas?” Papa seperti tengah menginterogasi Zinni. Pasalnya wajah serius itu masih menatap kaku.

“Latihan Pa. G—kakak tadi nitip pesen gitu. Zinni nggak bohong loh,” jelas Zinni semantap mungkin.

“Iya Papa percaya sama kamu. Tapi anak itu ….”

“Udahlah, Pa. Geren, kan udah berubah. Dukung dia aja selagi positif.” Mama menimpali dan tak ingin memperpanjang obrolan yang melenceng.

Di antara kedua orang tuanya, Zinni duduk diam dengan pikiran lain. Tentang Geren yang jarang bersama di meja makan. Juga tentang masalah cowok itu. Asal tahu saja, hubungan papa juga Geren tidak bisa dibilang baik. Tepatnya, sejak pertengkaran setahun lalu. Papa kurang percaya dan sering curiga pada Geren.

“Kamu dari mana?”

Suara berat berasal dari sosok di balik pintu. Begitu lampu ruang tamu dihidupkan terlihat lah papa berdiri tegap bak tentara sambil bersedekap tangan.

“Aku capek. Mau tidur.” Geren yang terlihat berantakan dan luka lecet di sekujur tubuhnya itu niat beranjak. Namun, terhenti kala papa kembali bersuara.

“Tidur di luar.”

“Papa ngusir aku? Cih.”

“Kamu liat jam berapa sekarang?” tanyanya menunjuk jam dinding yang berdetak.

Geren melirik malas. Jam menunjukkan pukul satu malam. Orang tua mana yang tidak naik darah kala menemukan anaknya selalu pulang larut dalam kondisi buruk. Bertaruh di jalanan memacu kendaraan. Hanya untuk sebuah kesenangan. Belum lagi ketika Geren sering terlibat perkelahian yang tak jelas. Sampai mengganggu sekolahnya. Lalu berdampak pada panggilan orang tua untuk hadir di sekolah. Demi memberi keterangan tentang kenakalan anaknya.

“Kamu mau sampe kapan kaya gini terus? Kenapa nggak sekalian hidup jadi gembel di jalanan?”

Bisu.

Geren sengaja membiarkan Darma mengomel panjang lebar. Toh dia sendiri tak ingin mendengar hal tersebut berulang kali. Dia hanya ingin bebas dan mengikuti hobinya. Duduk di balik kemudi. Kemudian melesat saling bersaing membelah jalur balapan malam.

“Papa sekolahin kamu bukan buat jadi anak nggak guna, Ger.”

“Iya, iya Geren tau.”

“Tahu apanya! Kalo kamu masih begini tiap malam. Mau jadi preman, ha!”

Darma semakin tersulut emosi karena sikap Geren belum juga berubah. Lalu, langkah tegas Darma memangkas jarak di antara keduanya. Papa tak main-main sampai menarik kaus Geren kasar.

“Keluar! Papa tantang kamu. Nggak usah pulang lagi kalo masih berulah,” perintahnya sembari menyeret Geren paksa.

Keributan yang semakin santer terdengar rupanya mengundang penghuni rumah yang sudah terlelap, terutama mama. Begitu pun Zinni yang memilih mengintip dari balik pintu.

“Pa! Papa ngapain Geren?”

Wanita paruh baya itu susah payah menyeret badannya karena terjatuh dari kursi roda. Mama terburu-buru ingin tahu kebisingan di luar kamar. Tetapi karena kondisi yang terbatas akhirnya Ike tersungkur dari kasur, dan memilih mengesot ke luar.

“Mama!” teriak Zinni melihat mamanya di atas lantai. Lalu ia menghampiri Ike dan membantunya duduk di kursi roda.

“Kamu lihat, masih mau bikin Mamamu sedih lagi?”

“Udah Pa. Udah malem, nanti didengar tet—“

“Biar! Biar semua orang tau. Kalo anak nggak tau diri ini bikin ulah.”

Bergeming. Geren hanya berdiri tanpa suara ketika dirinya diseret keluar teras, dan gebrakan keras daun pintu yang menjadi akhir perdebatan. Sayup-sayup, dia bisa mendengar suara tegas papa yang menyuruh mama untuk kembali tidur.

Seolah tak peduli akan amarah Darma. Cowok itu melangkah pelan ke sisi samping halaman. Mengamati sekitar, kemudian memanjat pohon guna sampai ke lantai dua. Sesampainya di balkon luar, Geren mengendap-endap masuk ke kamar. Bukan miliknya, melainkan kamar Zinni. Itu akses termudah untuk dimasuki, ketimbang menuju kamarnya di sebelah. Resiko ketahuan lebih besar. 

“Ka—emh?”

“Diam. Turuti aja perintah gue.”

Zinni mendelik, sedikit menjaga jarak dari Geren. Sebab lelaki itu sudah meredam suara Zinni dengan membekap mulutnya. Hingga tak menyisahkan jarak.

“Gue tidur sini malam ini.”

“Ha. Tapi nanti kalo ketauan papa gimana?” Gadis berpiyama putih itu terkejut  akan penuturan ngelantur Geren, “kenapa nggak ke kamar sendiri?”

“Bawel. Papa bakalan tau kalo lo ngasih tau,” ucapnya melempar asal ransel dan sepatu. “Awas aja lo ngadu.” Geren mengancam seraya menunju ke sofa di dekat kasur.

Zinni terkesiap ketika membuka ponsel. Mode getar di hp-nya membuyarkan ingatan Zinni. Diam-diam ia merogoh benda persegi dari kantung piyama, dan membaca chat WhatssApp.

Jasmine :
P
p
Zin! ;p
Thanks ya. Besok gue traktir deh.

MiHizky 💕
5 Januari 2023

Kasih tau acu dong :) pendapat kalian tentang part ini gimana?
Salam semangka 🍉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top