11. Pembawa pesan
Manakah yang terbaik dari merelakan atau menahan diri untuk bertingkah sesuka hati.
🌸
Setelah semalaman berpikir dan kurang tidur, gadis itu belum juga mendapatkan jawaban. Kesenduan tampak di wajah putihnya. Padahal ia sendiri tak tahu tengah memikirkan apa. Ada sesuatu yang menghimpit dada tetapi begitu sulit dijabarkan melebihi materi perhitungan trigonometri.
Tanpa kejelasan dan perasaan mengambang, Zinni cuma bisa memutar otak tak pasti. Ia bermuara pada kebuntuan. Sebenarnya hanya perlu kata ‘ikhlas’ untuk melepas kekhawatiran tanpa alasan.
Namun, seperti belenggu yang menawan hati. Ia merasa ingin menjadi egois untuk tak mendengarkan keinginan Jasmine. Andai sekarang Zinni sedang bermimpi! Bukankah sangat melegakan.
Sayang, semua nyata bukan ilusi. Bagaimanapun, ia masih harus berpikir lebih bijak.
Tin!
Klakson nyaring memekakkan telinga Zinni. Hingga cewek itu tersentak dari lamunan. Sadar dan mengerjapkan mata seperti orang linglung.
“Heh, lo mau sampe kapan di sono?” tanya Geren karena Zinni tak kunjung masuk ke dalam mobil, “naik atau gue tinggal.”
Zinni sempat tersentak sesaat, juga dengan beberapa murid lain di sekitar parkiran. Meskipun begitu, ia belum menjawab, membiarkan Geren dipenuhi tanda tanya besar atas kelakuan adiknya. Pandangan Zinni kosong mengarah pada manik Geren yang menyalak.
“Jin! Lo budek ya? Buruan napa sih.”
Rasa kesal Geren sudah di ubun-ubun. Dia terus mengumpat dan menekan klakson berulang kali. Lelaki itu sukses membuat suara berisik yang menggema di area sekolah. Sementara Zinni, tengah bergelut dengan pikirannya sendiri. Kali ini ia tak peduli dengan kakaknya yang marah. Justru ia memilih memutar badan dan pamit dari sana. Membiarkan Geren pulang lebih dulu.
“Aku harus pergi. Kamu duluan aja. Nanti aku kabarin mama.”
“Setan!” umpat Geren karena menghabiskan waktu sia-sia demi menunggu Zinni, dan pada akhirnya cewek itu malah kabur entah ke mana. Tahu begitu, kenapa tidak sejak tadi Zinni mengabari.
Dengan emosi Geren menarik gas cepat, dan melesat meninggalkan parkiran. Decakan dari bibir pedasnya terus merapalkan kutukan pada Zinni yang dirasa kurang ajar! Andai saja dia penyihir, ingin sekali Geren menghilangkan Zinni.
Pedal rem diinjak tanpa ampun kala mobil putih Geren hampir menabrak seorang di depannya.
“Woi! Mau mati lo ya?” teriak Geren membuka kaca mobil. Lalu beringsut turun seraya membanting pintu mobil keras.
“Lo kira ini jalan nenek lo?” balas Ziko tak terima karena ulah Geren yang serampangan. “Udah tau salah, malah ngegas.”
Bagaimana kalau dia benar-benar tertabrak dan mati konyol. Ziko melirik pada pixy merahnya yang sudah tergolek di tanah. Sepertinya dia harus memberi pelajaran pada makhluk songong bin gila ini.
“Minggir lo, ganggu aja,” protes Geren penuh amarah. Dia ingin segera pergi, namun Ziko sudah lebih dulu meraih kerah seragam Geren.
“Lo kayaknya perlu diajarin sopan santun deh.”
“Maksud lo apa, huh!”
Keduanya saling beradu tatap dengan mata menyalak.
“Orang itu kalo salah harusnya minta maaf,” tutur Ziko tegas.
“Bacot lo. Mata lo siwer ya, jelas-jelas lo yang tiba-tiba muncul.”
Letupan api semakin membara dari dua cowok itu. Geren yang memang keras kepala dan merasa tak bersalah harus berhadapan dengan Ziko, siswa dengan harga diri tinggi. Salah ya tetap salah. Begitulah prinsip Ziko.
Mendadak mereka menjadi pusat atensi semua murid yang menyaksikan. Meski ramai, tak satupun berusaha menengahi. Mereka hanya tidak ingin berakhir menjadi korban karena ikut andil sok jagoan layaknya superhero kacangan.
Manusia memang suka angkat tangan dan pura-pura tidak tahu. Padahal mereka saksi nyata di sana.
“Lo mau gue ganti rugi? Berapa? Sebutin aja.”
“Sorry. Gue nggak butuh duit lo. Cukup kata maaf, Bro.”
“Ck! Alay lo,” hina Geren seraya menepis lengan Ziko yang masih setia mencengkeram kerah seragamnya. Kemudian, dia merapikan seragam yang kusut dengan menepuk-nepuk seolah kotor.
Mode on Ziko mulai menyala, tingkat kesabaran telah habis. Kedua alisnya menukik tajam. Lalu, tatapan itu, tatapan yang seolah-olah ingin membunuh.
“Mampus lo!”
Bugh!
Satu pukulan telak mendarat di rahang. Bukan Geren. Melainkan temannya yang dirasa bodoh.
“Makki?” pekik Ziko salah sasaran karena tanpa terduga cowok itu menghalau serangan. “Ngapain lo, bego?”
“Baru ditinggal bentar udah berantem aja, Zik.” Makki mengelap sudut bibirnya yang berdarah.
“Cih. Minggir lo berdua,” cibir Geren muak dengan keberadaan mereka. Apalagi pada sosok Makki. Melihatnya membuat Geren ingat Zinni.
Menyebalkan!
Sebelum pergi, mata Geren menyorot Makki dengan aura gelap tak terbaca.
“Oi. Mau ke mana lo? Bangsat!“ teriak Ziko ketika Geren pergi begitu saja, dan mulai menstater mobil.
“Ziko.”
“Apaan Ice man.” Ziko geram karena dihalau Makki untuk menahan diri.
“Itu sepeda mau dilindes atau gimana?”
Buru-buru Ziko mengamankan pixy merahnya. Takut jika Geren benar-benar melakukan hal gila. Pasalnya deruman mobil semakin santer terdengar, diikuti klakson yang terus mengudara.
Tin! Tin!
“Awas aja, Lo Ger!”
“Udah weh, buruan balik,” ajak Makki karena tak ingin menarik perhatian murid lebih banyak lagi.
“Bagus. Udah jago ngatur-ngatur gue.” Lilitan lengan Ziko menarik leher Makki. Dia menuntut jawaban atas perlakuan tadi. Bisa-bisanya Makki menjadi tameng dari makhluk seperti Geren.
“Hmm. Budek lama-lama kuping ini.”
Bukannya menjawab, Makki malah mengalihkan topik.
Naluri bak dewa membawa Makki untuk berlaku demikian. Ia tak ingin Zinni sedih ketika mendapati Geren babak belur karena perlakuan temannya. selain itu, demi meredam amarah Ziko hanya Makki’lah yang bisa melerai monster itu.
🌸🌸🌸
Bersama langkah kecilnya, Zinni sedikit berlari kecil mengikuti kata hati yang mulai gegana. Kepala Zinni celingukan mencari sesuatu. Ia berharap sosok tersebut masih berada di sekolah. Di kelas, tentu saja tidak mungkin. Sebab, mereka terakhir kali berpisah setelah bel pelajaran berakhir.
Lalu buru-buru Zinni menuruni anak tangga dan berlalu ke gedung ekskul berada di belakang bangunan utama. Dari deretan tempat ekskul di sana, ia berhenti di depan pintu ruang PMR. Tanpa permisi Zinni membuka pintu kasar, hingga membuat suara derak dan seisi murid di dalamnya terlonjak kaget. Kesibukan mereka terjeda sebentar saat melihat Zinni di ambang pintu dengan napas yang masih tersengkal.
“Ada yang bisa dibantu?” tanya salah satu siswa setelah melongo dan menyeruput bubble tea miliknya.
“Nyari siapa?” siswi lain menimpali ingin tahu.
Tetapi yang ditanya hanya mengedarkan pandangan pada tempat tersebut. Sosok yang dicari tidak ditemukan. Maka, Zinni menggelengkan kepala, dan kembali menutup pintu sambil berucap, “Maaf.”
Aku ngapain sih?
Desah Zinni masih berdiri seraya mengacak surainya asal. Baru saja kakinya berjalan dua langkah, seorang yang lengkap dengan sepeda butut berdiri di belakangnya.
“Zin?”
Ah suara ini yang dari tadi ingin ia dengar. Kemudian ia membalikan badan. Tampak seulas senyuman bertengger di bibir mungilnya. Ia merasa hatinya meringan dan terbang seperti dedaunan kering yang terbawa angin.
“Aku ikut kamu pulang, ya.”
“Ha?”
“Nggak boleh?”
“Bukan. Aku kira kamu udah balik tadi?”
“Iya, aku pengen main ke panti.“
“Gue ikut yak?” celetuk cowok berparas amburadul yang baru saja datang.
“Nggak boleh. Ngapain sih, Zik?” tanya Makki merasa terganggu. Ia baru ingat jika sedang bersama Ziko.
“Elah. Pelit amat lo Ice Man. Lagian berdua-duaan itu nggak boleh. Nanti ketiganya setan.”
Lagipula, untuk apa lelaki itu turut serta ke panti. Makki khawatir jika semua anak di sana akan diajarkan cara bertarung lagi. Seperti tempo dulu, terakhir kali Ziko singgah. Semua anak saling beradu mempraktekkan jurus yang telah diajarkan.
“Berisik. Udah sono ….” Kalimat Makki terpotong. Sebab Ziko sudah berhambur menyusul Yura yang baru saja melintas dengan motor metic-nya.
“My Yuraa! Bareng dong,” teriak Ziko memutar sepeda ke arah siswi itu berada.
Bodoh. Dia bukan Dilan! Bagaimana bisa Ziko menyusul Yura dengan menggowes sepeda, sedangkan gadis itu semakin melaju kencang tak peduli.
Tetapi ada untungnya juga, Ziko pergi. Kalau tidak, habis sudah mulut ember itu mengadu pada Zinni.
“Dasar,” cibir Makki tak habis pikir. Fokus Ziko begitu mudah terbagi hanya karena seorang cewek, dia langsung lupa daratan.
“Ayo naik Zin.”
“Iya,” katanya seraya mendekat, “eh, kamu kenapa. Kok bibirnya gini?”
Makki kicep harus berekspresi seperti apa saat Zinni berusaha menyentuh sudut bibirnya yang memar.
“Nggak papa, udah buruan yuk.” Gerakan tangan Zinni terhenti dengan alis bertaut.
“Kamu abis berantem?”
“Nggak.”
“Bohong.”
Mata Zinni masih mengunci netra Makki supaya lelaki itu jujur. Betapa egois dirinya. Ia ingin mengetahui banyak hal tentang Makki. Berkebalikan dengannya yang menyimpan banyak rahasia.
“Zin … tadi Ziko biasalah anak itu.” Akhirnya Makki berujar sekenanya. Tanpa membeberkan seluruh bagian cerita. “Udahkan. Nanti keburu sore.”
“Iya. Let’s go,” ucap Zinni terkekeh seraya berpose seperti akan terbang. Lalu berjalan ke sisi belakang dan mendudukkan diri di boncengan.
“Kamu lagi ada masalah?” pertanyaan pertama Makki ketika mereka telah sampai di tanah lapang dekat panti. Pemandangan di depan sana begitu ramai akan bocah-bocah. Kegiatan bermain menjelang senja.
“Enak ya jadi mereka. Pengen balik kecil lagi.”
Iris bening Zinni menangkap kesenangan dari anak-anak yang tengah bergurau. Sekitar belasan anak kecil sibuk bermain sepak bola, beberapa gadis cilik berjingkatan menghindari sabetan karet yang berputar-putar, sisanya saling kejar-mengejar seraya melempar tawa. Persis seperti masa kecilnya dulu.
Di sampingnya, Makki berusaha memahami arah pembicaraan tersebut.
“Kamu beneran lagi ada masalah? Coba kasih tau aku, Zin.”
Setelah membaca pesan masuk dalam ponselnya, Zinni menolehkan kepala dengan mata sendu. Harapan yang ingin Zinni langitkan supaya terwujud tepat berada di dekatnya. Tetapi, ia tidak bisa berlaku dan menyakiti hati yang lain. Dengan menarik napas dalam, ia berkata lirih, “Aku ada satu permintaan. Kamu ingat dengan janjimu ‘kan?”
Secepat kilat, Makki teringat pada taruhan balap lari yang pernah mereka lakoni. Kini Zinni menuntut dari Makki yang kalah tanding. Walau sebenarnya itu tidak fair.
MiHizky 💕
1 Januari 2023
bantu vote komen yak.
Salam semangka 🍉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top