9. Kasih Sayang Mertua

Part 9 Kasih Sayang Mertua

Zhafran menatap permohonan di kedua mata Elea yang sempat meluluhkan hatinya. Namun ia segera menguatkan hati. Jika keduanya berpisah kamar, itu akan semakin membentangkan jarak di antara mereka. Dan ia tak menginginkan hal semacam itu untuk memperbaiki pernikahan dan hubungan mereka.

“Tidak.” Jawaban Zhafran tegas dan padat. “Tak ada yang berubah dalam pernikahan kita, Elea. Aku sudah menegaskan hal itu padamu,” pungkasnya kemudian berjalan melewati sang istri yang masih berusaha beradaptasi dengan kekecewaan yang diberikannya.

“Apa kau melakukan semua ini karena menyesali perbuatanmu?” Elea menyusul langkah Zhafran yang sudah menaiki beberapa anak tangga. Menahan lengan pria itu. “Apa kau merasa bertanggung jawab atas apa yang menimpaku pada orang tuaku? Merasa kasihan padaku?!” Suara Elea semakin dipenuhi emosi. “Tak ada apa pun lagi yang perlu kita pertahankan dengan pernikahan ini, Zhafran. Sejak awal tak ada apa pun di dalam pernikahan kita!”

“Jika memang tak ada apa pun dalam pernikahan kita, kita berdua tak akan berjalan sejauh ini, Elea. Kau tahu itu.” Jawaban Zhafran masih diselimuti kesabaran. Berbanding terbalik dengan Elea yang semakin dibuat emosi dengan ketenangan Zhafran, juga kebenaran dalam jawaban pria itu. “Nanti sore mama dan papaku akan datang untuk bermalam di sini. Istirahatlah di kamar. Aku tak akan mengganggumu.”

***

Elea kembali menatap pantulan tubuhnya di depan cermin. Memastikan penampilannya rapi sebelum bergabung di meja makan. Sejenak ia merasa lega dengan reaksi kedua mertuanya ketika bertemu dengannya. Seperti yang dikatakan oleh mamanya, mama dan papa Zhafran lebih mencemaskan keadaannya ketimbang harapan mereka yang belum bisa ia penuhi. Bahkan ia sempat memergoki mama mertuanya yang menyalahkan Zhafran karena kurang memperhatikan dirinya. Dan benar-benar akan kecewa pada pria itu yang tak becus melindungi istrinya sendiri.

Elea sama sekali tak mengharapkan perhatian semacam ini dari kedua orang tua Zhafran. Tapi memang keduanya menyayangi dirinya seperti anak kandung sejak ia dan Zhafran dijodohkan. Zhafran benar, ada banyak alasan mereka berakhir menjadi suami istri. Meski pernikahan ini terasa semakin berat ia jalani.

Suara getaran dari ujung tempat tidur menghentikan langkah Elea yang baru saja keluar dari ruang ganti. Ponsel milik Zhafran tentu saja, karena sejak malam itu ia tak melihat ponselnya lagi, juga tak mencari tahu di mana benda itu sekarang.

Nama Fera muncul di layar tersebut, yang menciptakan denyutan di dadanya. Zhafran memang tak pernah menyembunyikan hal semacam ini darinya. Setiap panggilan atau pesan dari siapa pun, yang keluar masuk dalam ponsel pria itu, tak ada yang dirahasiakan pria itu darinya. Meski terkadang perhatian Zhafran pada Fera yang terlalu berlebihan, tetap saja ia tak bisa menyebut hubungan tersebut sebagai sebuah perselingkuhan. Zhafran tampak menjaga batasan, pada Fera maupun wanita mana pun. Atau memang itu yang sengaja ditampakkan Zhafran padanya? Siapa yang tahu Zhafran pun diam-diam tidur dengan Fera. Bayangan kemungkinan tersebut membuat nyeri di dadanya semakin berdenyut. Itu jauh lebih menyakitkan ketimbang pria itu mengkhianatinya secara terang-terangan

Saat getaran tersebut berhenti, Elea melihat notifikasi 15 panggilan tak terjawab 32 pesan baru  muncul di ujung layar. Dan semuanya dari Fera.

Tiba-tiba Zhafran muncul dari belakang Elea, mengambil benda pipih tersebut ketika kembali bergetar dan mematikannya sebelum meletakkannya kembali ke tempat tidur. “Ayo turun, mama dan papa sudah menunggu di bawah.”

“Apa kau tidak mengangkatnya karena aku? Karena apa yang sudah terjadi padaku?”

Zhafran tak ingin menjawab pertanyaan yang hanya akan menciptakan perdebatan baru di antara mereka. Beruntung pintu kamar diketuk pelayan yang memberitahu mereka bahwa meja makan sudah siap.

“Semua sudah terlambat, Zhafran. Sekarang, aku tak membutuhkan semua ini darimu,” ucap Elea kemudian berjalan keluar lebih dulu.

Meja makan sudah dipenuhi dengan menu-menu makan malam yang disiapkan khusus oleh mama mertuanya. Yang menyambutnya dengan penuh kehangatan.

“Kau terlihat cantik, sayang,” puji Anne merangkum wajah sang menantu. “Kau selalu cocok mengenakan pakaian apa pun.”

Elea menampilkan senyum terbaiknya dan mengucapkan, “Terima kasih, Ma. Mama berlebihan.”

“Tidak. Kau memang selalu cocok mengenakan apa pun. Bahkan pakaian biasa saja jika kau yang memakainya, akan terlihat sempurna karena dirimu.”

Senyum Elea semakin melebar dengan pujian yang berhasil menghiburnya tersebut. Nyatanya kecantikan tersebut tak membuat suaminya mementingkan dirinya dibandingkan wanita lain.

“Ayo, duduklah. Mama sudah membuat masakan kesukaanmu.” Anne membawa sang menantu duduk di samping Zhafran yang sudah duduk lebih dulu. Mendekatkan piring berisi daging ayam yang diatasnya ditaburi keju. “Ayam parmigiani. Resepnya sepertinya ada yang kurang, tapi rasanya lumayan mirip,” bisiknya. “Dan mama juga memesan tiramisu untukmu. Pelayan masih menyiapkannya di dapur.”

“Terima kasih, Ma.” Sekali lagi Elea mengucapkan terima kasih. Terlalu banyak terima kasih dengan perhatian yang diberikan sang mertua sepanjang sore ini.

Anne mengusap ujung kepala Elea dengan lembut sebelum duduk di samping suaminya, Luciano yang duduk di seberang meja. Meja makan seperti biasa diselimuti canda tawa setiap kali ada kedua mertuanya yang bergabung. Berbanding terbalik jika hanya ada Elea dan Zhafran.

Sejenak, Elea terlupakan oleh perang dinginnya dengan Zhafran. Meski hanya untuk sesaat. Ketika tiba-tiba pelayan memberitahu Zhafran ada panggilan dari Fera dari telepon di ruang kerja.

Wajah Zhafran seketika membeku, langsung bertatapan dengan Elea yang membuang wajah darinya dengan cepat.

“Fera?” Anne berkerut kening. “Mama sudah lama tidak bertemu dengannya. Bagaimana kabarnya?”

“Baik.”

“Mama dengar dari tantenya, dia akan segera bertunangan dengan kekasihnya, ya? Apa kau tahu kapan?”

Zhafran tak langsung menjawab. Pria itu kemudian menggeleng dan berkata, “Tidak tahu, Ma.”

“Apa kalian jarang bertemu? Bukankah dia tinggal di kota ini?”

“Fera tak pernah membicarakan tentang itu.” Zhafran menandaskan air putihnya dan bangkit berdiri. Ingin segera mengakhiri pembahasan sensitif ini dan berjalan keluar ruang makan.

“Sepertinya kita tidak bisa datang di acara pertunangannya jika dalam waktu dekat, Luciano. Tapi aku sudah mengatakan pada Helena akan datang di pernikahannya.”

“Kita bahkan belum mendapatkan undangannya, Anne.”

“Kita tak perlu mendapatkan undangannya untuk datang. Kau tahu keluarga Fera sudah seperti keluarga kita sendiri.”

“Ya, apa pun yang kau katakan, istriku.” Luciano mengedikkan bahu sekali. Menatap Elea yang mendadak terdiam di seberang meja. Dengan wajah tertunduk menatap potongan daging ayam yang masih ada setengah. “Kau baik-baik saja?” tanyanya dengan lembut. “Apakah makanannya kurang enak?”

Wajah Elea segera terangkat. Mengerjapkan mata dan menjawab, “Ya, Pa. Dan tidak, makanannya enak. Hanya selera makan Elea yang akhir-akhir ini tidak baik.”

Luciano mengangguk. “Besok papa akan mengirim koki ke rumah ini untuk membuatkan masakan untukmu. Sepertinya Zhafran tidak terlalu mempedulikan kebutuhanmu dengan baik.”

Elea hanya melengkungkan senyumnya seapik mungkin. “Tidak apa-apa, Pa. Elea baik-baik saja.”

“Tidak. Dia pasti tidak memperhatikanmu dengan baik. Papa akan bicara dengannya.”

Elea pun tak mengatakan apa pun lagi. Hanya dengan menatap kedua matanya, papa mertuanya itu pasti sudah menemukan banyak jawaban di sana.

Part 10 Pemicu Trauma

“Aku sudah mengatakan padamu untuk berhenti menghubungiku, Fera.”

“Lalu apakah kau akan mengakhiri hubungan kita begitu saja? Hanya karena kau sudah menjadi suami orang lain?” Suara penuh emosional dari seberang membuat Zhafran mulai muak dengan pembicaraan ini. “Hubungan kita jauh lebih berarti dibandingkan dengan pernikahan kalian, Zhafran. Sadarlah.”

“Apa kau masih akan membahas ini?”

Fera terdiam. Berusaha mengembalikan ketenangan emosinya. “Sore tadi mamaku menghubungiku. Kalau mama dan papamu datang ke negara ini. Aku hanya ingin menyapa mereka.”

“Lakukan itu sendiri.”

“Ya, aku akan melakukannya sendiri. Aku baru saja melewati gerbang rumahmu.”

Kedua mata Zhafran membeliak tak percaya. Terkejut dengan keras. Satu-satunya hal yang ia pikirkan adalah Elea. Wanita itu ada di bawah bersama kedua orang tuanya. Istrinya pasti lebih terkejut dengan kemunculan Fera. “Apa kau sudah gila?”

“Kenapa? Apakah aku juga tidak boleh menemui orang tuamu karena istrimu tidak menyukaiku?”

Zhafran segera membanting tertutup panggilan tersebut. Gegas beranjak menuju pintu dan melangkah dengan terburu ke lantai bawah. Tepat ketika ia baru menuruni undakan terakhir anak tangga menuju ruang makan, suara-suara dari arah ruang tamu membuatnya berbalik arah. Ruang makan sudah kosong, artinya Elea dan kedua orang tuanya sudah bertemu dengan Fera.

Begitu memasuki ruang tamu, pandangannya langsung bertemu dengan Fera yang baru saja mengurai pelukan dengan mamanya. “Hai, Zhaf,” sapanya dengan senyum semringah. Berjalan mendekat dengan kedua lengan terbuka untuk Zhafran. “Sepertinya lama kita tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?”

Tatapan Zhafran menajam dengan bibir yang menipis tajam. “Apa yang coba kau lakukan, Fera?” desisnya tepat di telinga Fera.

Fera mendorong tubuhnya menjauh, mendaratkan kecupan di pipi Zhafran dan berucap lebih keras. “Aku sangat merindukanmu, Zhaf.”

Zhafran melepaskan kedua lengan Fera darinya. Tak mengatakan apa pun dan langsung menangkap Elea yang berdiri di samping mamanya. Ketiganya berjalan mendekatinya dan Fera.

“Apa kau sudah makan?” tanya Anne pada Fera.

“Sudah tante.”

“Kue? Kau tidak sedang diet, kan?”

Fera menggeleng, dengan senyum yang masih selebar mungkin. Mendekati Anne dan bergelung di lengan wanita paruh baya tersebut dengan manja. “Kenapa tubuh bagus tapi harus menyiksa diri dan menahan makanan enak untuk disantap.”

Anne tertawa kecil. Keduanya melangkah lebih dulu memasuki ruang tengah. Sementara Zhafran mendekati Elea, merangkulkan lengannya di pinggang wanita itu. Yang kemudian tiba-tiba berhenti dan berkata, “Kepalaku pusing. Aku ingin ke atas saja.”

Zhafran menundukkan wajah menatap sang istri. Mengamati kepucatan di wajah Elea yang sengaja menghindari tatapannya dan menjauhkan lengannya dari tubuh wanita itu. Kemudian langsung berjalan ke arah tangga.

“Kenapa? Istrimu sakit?” Luciano berhenti di samping sang putra.

Zhafran mengangguk. “Aku akan memeriksanya.”

Luciano mengangguk. Menatap sang putra yang menyusul Elea. Matanya sedikit menyipit, menelisik sang menantu yang tampak sengaja menghindari sentuhan Zhafran.

“Kenapa dengan Elea?” tanya Anne yang ikut berhenti menyadari Zhafran dan Elea yang malah naik ke lantai atas.

Luciano hanya menggeleng singkat. “Sepertinya Elea sedang tidak enak badan. Biarkan mereka istirahat lebih dulu,” ucapnya membawa sang istri mendekati sofa. Sementara tatapan Fera menajam kesal dengan Zhafran dan Elea yang sengaja menghindari keberadaannya. Dan ini memang bukan pertama kalinya Elea menghindar setiap kali datang ke keluarga ini. Mungkin ia butuh bersikap lebih tegas pada wanita itu yang mulai mengganggu hubungannya dan Zhafran.

“Jadi, bagaimana kabar daddymu?” Luciano memulai percakapan ketika Fera mengambil tempat di seberang meja.

***

“Tidakkah kau merasa semua sikapmu sudah jauh melampaui batasanmu, Zhafran?” cecar Elea begitu Zhafran menutup pintu di belakangnya. “Aku tak peduli apa yang kau lakukan di belakangku dengannya. Tapi keterlaluan jika kau membawanya ke rumah ini setelah apa yang terjadi padaku? Apakah kau bahkan benar-benar menyesali semua omong kosongmu itu, hah?”

“Aku tak tahu dia akan ke sini.”

“Aku tak akan setolol itu untuk mempercayai omong kosongmu lagi.” Elea berbalik dan berjalan ke kamar mandi. Membanting tertutup pintu dengan keras. 

Zhafran mendesah dengan kasar. Fera jelas sengaja melakukan semua ini karena penolakannya siang itu. Dan ia tak mungkin bisa menghindari wanita itu karena Fera yang memang cukup dekat dengan keluarganya sejak kecil.

Elea duduk di atas penutup toilet. Matanya terpejam dan merasakan desakan air mata yang semakin tak tertahankan ketika bayangan wajah Fera muncul di benaknya. Mengingatkannya akan bisikan pria itu yang berdengung di telinganya.

‘Hanya aku yang paling menginginkanmu.’

‘Di matanya, kau jelas tak ada artinya dibandingkan wanita bernama Fera itu.’

‘Tapi bagiku, kaulah yang tercantik. Kaulah yang paling sempurna. Di mata dan hatiku.’

Tubuh Elea mulai bergetar. Kedua tangannya menutup telinganya, tetapi bisikan itu masih menembus ke dalam gendang telinganya. Kedua kakinya bergerak naik, meringkukkan tubuhnya menenggelamkan wajahnya di lutut dan mulai terisak. Seluruh tubuhnya bergetar hebat, isakannya semakin tersedu.

“Tidak. Lepaskan aku!”

‘Tidak. Lepaskan aku!’

Suara rintihan bercampur tangisan Elea samar-samar terdengar dari dalam kamar mandi. Kepala Zhafran berputar dengan cepat ke arah kamar mandi dan gegas melompat berlari. Mendorong pintu kamar mandi yang terkunci dari dalam.

“Buka pintunya, Elea!” Zhafran memutar-mutar gagang pintu. Sama sekali tak membuahkan hasil, ia pun berlari ke meja nakas. Menari laci nomor dua dan menyambar kunci cadangan pintu kamar mandi. Ini memang bukan kebiasan pertama Elea menyendiri di kamar mandi. Jadi ia pun memiliki kunci cadangan yang bisa selalu ia gunakan.

Tepat ketika ia membuka pintu kamar mandi, matanya langsung menemukan tubuh Elea yang meringkuk dan menggigit lantai. Dengan isakan yang semakin keras.

“Elea?” Zhafran memegang kedua pundak sang istri. “Hai, aku di sini.”

“Semua karenamu. Semua karena kau meninggalkanku.” Suara Elea tak terlalu jelas tetapi Zhafran tahu apa yang dicecarkan wanita itu padanya. Isakannya semakin histeris dengan kedua lengan yang memeluk tubuhnya sendiri semakin kuat.

“Ya, aku tahu. Maafkan aku. Aku sungguh-sungguh minta maaf.” Zhafran memeluk kepala sang istri semakin erat. Mencoba menghentikan getaran di tubuh Elea. Mengulang bisikan berkali-kali menjawab kalimat racauan Elea yang tak berhenti menyalahkannya.

Hingga akhirnya gemetar di tubuh wanita itu mulai mereda. Isakannya terhenti dan tubuh Elea jatuh terlunglai di pelukan Zhafran dengan mata yang terpejam.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top