8. Akhirnya Kembali

Part 8 Akhirnya Kembali

“Mama?” Elea terkejut melihat mamanyalah yang melangkah masuk. Dengan piring berisi camilan dan jus buah di atas nampan dalam genggaman Davina, yang kemudian diletakkan di meja dan duduk di samping sang putri.

“Kau baik-baik saja?”

Elea merasa janggal dengan pertanyaan sekaligus kecemasan di wajah Davina dan memberikan satu anggukan tipis sebagai jawaban.

Tangan Davina terulur, menggenggam salah satu tangan Elea. “Apakah semuanya baik-baik saja?”

“Ya, tentu saja, Ma.”

Davina mengamati raut Elea dengan hati-hati sebelum mengajukan pertanyaan selanjutnya. “Hubunganmu dan Zhafran?”

Napas Elea segera tertahan, tubuhnya bergerak tak nyaman.

“Semalam mama mendengar kalian bertengkar.”

Elea tersentak pelan. Membuang pandangannya ke samping, tak tahan dengan kecemasan yang memekati wajah sang mama.

Davina mengelus pundak Elea. “Apakah ini tentang keguguranmu?”

Elea tak menjawab.

“Ya, mama memahami rasa kehilangan yang kau rasakan, Elea. Tetapi … jangan berpikir bahwa hanya kau saja kehilangan. Zhafran juga pasti merasakan kehilangan yang sama besar denganmu.”

Elea menggigit bibir bagian dalamnya, merasakan panas yang mulai menjalar di kedua matanya. Ingin sekali berteriak karena Zhafranlah ia harus kehilangan anak dalam kandungannya. Yang tak benar-benar diharapkan oleh pria itu. Tetapi, ia tak sampai hati harus melukai perasaan mamanya akan kebobrokan dalam pernikahan mereka.

“Ini …” Elea memaksa keberaniannya untuk membalas tatapan Davina. Dengan gumpalan emosi yang menyendati tenggorokannya. “Ini masalah yang berbeda, Ma.”

Davina terdiam. Menunggu dengan sabar penjelasan sang putri. “Kau bisa bercerita pada mama jika kau mau,” ucapnya lagi karena Elea kembali diam.

Elea menggigit bibir bagian dalamnya, sekali lagi menatap sang mama. “Orang tua Zhafran, mereka baru saja mendengar tentang Elea dan dalam perjalanan kembali ke negara ini.”

“Mereka pasti sangat mencemaskanmu.”

Elea tak menyangkal. Ya, kedua orang tua Zhafran menyayanginya melebihi kasih sayang Zhafran padanya tentu saja. “T-tapi … Elea merasa telah mengecewakan mereka. Mama tahu mereka sangat mengharapkan kehamilan Elea sejak kami menikah. Mempersiapkan bulan madu yang terbaik untuk mendengarkan kabar bahagia ini. Dan … Elea tak berani menghadapi kekecewaan mereka lebih banyak lagi setelah menunggu selama setahun.”

Davina menghela napas rendah. Membawa sang putri ke dalam pelukannya. Telapak tangannya mengelus lembut punggung Elea dengan penuh kasih. “Mama memahami perasaanmu. Tapi … mama yakin mereka tak akan kecewa. Mereka sangat menyayangimu. Mereka datang karena mencemaskan keadaanmu. Itu saja. Dan mereka tak mungkin menyalahkanmu atas kecelakaan yang bahkan tak pernah kita duga akan datang dan menimpamu."

Elea merasa lebih baik dengan kata-kata sang mama, meski tak sepenuhnya melenyapkan kegelisahan di hatinya. Bertanya-tanya berapa lama lagi ia harus bersandiwara seperti ini pada orang tuanya dan orang tua Zhafran.

“Kau sudah terlalu lama menyendiri dan tenggelam dengan kesedihanmu, Elea. Sepertinya sekarang sudah waktunya kembali ke rumah kalian. Kembali menjadi istri Zhafran dan memulai semuanya dari awal.”

Elea ingin membantah, tetapi ia memang sudah lebih dari dua minggu tinggal di sini. Perang dinginnya dan Zhafran cepat atau lambat pasti akan terendus oleh orang tuanya. Dan membayangkan mama dan papanya mengetahui malapetaka yang menimpanya malam itu, akan membuat hatinya lebih hancur lagi.

Ia pun mengangguk dengan pelan. Meski ia tak sudi kembali ke rumah itu, setidaknya di sana ia lebih bebas mengungkapkan kebencian dan kemarahannya pada Zhafran tanpa takut terpergok oleh mama dan papanya.

Dan sore itu juga, Zhafran mengemas pakaian-pakaian Elea dan barang-barang pria itu sendiri. Pria itu menutup bagasinya, menghampiri Elea yang sedang berpelukan dengan Dirga. Pria paruh baya itu mengecup ujung kepala sang putri dengan penuh kasih sayang. “Papa akan lebih sering mengunjungimu.”

“Ya, terima kasih, Pa. Elea akan selalu merindukan papa.”

Setelah Elea dan Dirga saling mengurai pelukan, Zhafran pun berpamit pada kedua mertuanya, membukakan pintu mobil untuk Elea sebelum duduk di balik kemudi.

Satu jam setengah perjalanan, Elea mempertahankan keheningan di dalam mobil. Menatap jendela mobil, berpura tidur tetapi lama kelamaan benar-benar tertidur.

Begitu memasuki kawasan perumahan elit, Zhafran mulai mengurangi kecepatan. Berhenti sejenak di depan gerbang yang perlahan bergerak membuka dan langsung memarkirkan mobil di depan teras.

“Bangun, Elea,” ucapnya lembut dengan punggung jemari mengusap pipi sang istri. “Kita sudah sampai.”

Mata Elea perlahan bergerak membuka dengan sentuhan tersebut. Seketika menyentakkan tangan Zhafran dari wajahnya. “Jangan menyentuhku, Zhafran,” ucapnya kasar.

Seperti biasa, Zhafran sama sekali tak merasa tersinggung dengan sikap sang istri. Membuka sabuk pengamannya dan membuka pintu. “Kita sudah sampai. Turunlah.”

Elea mengedarkan pandangannya keluar mobil. Pandangannya berhenti ke arah teras rumah. Mencoba melawan ketakutan yang menyergap hatinya ketika ingatan malam itu berputar di benaknya tanpa ia inginkan.

Zhafran yang baru saja selesai memerintah pelayan untuk memindahkan semua barang-barang di bagasi ke kamar mereka, merasa terheran dengan Elea yang tak juga turun dari mobil. Ia pun gegas mendekati pintu depan dan membukanya. “Kau tak ingin turun?”

Elea mengerjap dengan keras. Menatap Zhafran dan menolak menjadi lemah karena dikalahkan ketakutannya. Tatapannya seketika berubah dingin dan melompat turun dari mobil. Melewati pria itu dan berjalan masuk ke dalam rumah.

Sejenak langkahnya terhenti ketika baru saja memasuki ruang tamu. Menggigit bibir bagian dalamnya ketika mendadak cahaya di seluruh ruangan menjadi gelap seperti malam itu. Setiap detail ingatan itu mulai memenuhi kepalanya. Suara langkah dari arah belakang tertangkap telinganya. Membuat seluruh tubuhnya membeku dan udara di sekitar mendadak direnggut dengan paksa. Membuatnya kesulitan untuk bernapas.

“Elea?” Tangan Zhafran menyentuh pundak Elea dengan lembut. “Kau baik-baik saja?”

Sekali lagi Elea tersentak dengan keras, nyaris menjerit dengan keras dengan sentuhan yang mengagetkannya tersebut. Begitu ia menoleh ke samping dan menemukan wajah Zhafran yang menatapnya penuh tanya dan cemas, ia kembali menyentakkan tangan pria itu dari tubuhnya. “Aku sudah bilang, jangan pernah menyentuhku , Zhafran?” desisnya tajam. Berjalan menyeberangi ruang tamu yang luas dengan ketakutan yang hampir membuatnya menangis.

Langkahnya berhenti tepat di depan tangga, sejenak menunggu Zhafran yang mendekatinya. “Aku ingin pisah kamar,” ucapnya begitu pria itu berdiri di hadapannya. Yang membeku karena terkejut dengan keinginannya. “Kau menolak keinginanku untuk bercerai, kan? Setidaknya kabulkan permintaanku yang satu ini.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top