7. Masih Perang Dingin

Part 7 Masih Perang Dingin

“Kau tidak menjawab panggilanku.”

“Dan kau tahu apa artinya itu.” Jawaban Zhafran dingin, menyeberangi ruangannya sambil melepaskan jas dan menggantungnya di gantungan. Sementara Fera menurunkan kedua lengannya dengan senyum yang kemudian melengkung ke bawah. Memperbaiki raut wajahnya sebelum berbalik dan mendekati meja Zhafran.

“Kau marah padaku?”

“Kau cukup paham bagaimana perasaanku, Fera.” Bibir Zhafran menipis tajam, nyaris tak bergerak dengan amarah yang berusaha ditahannya kuat-kuat pada wanita satu ini. “Kau tahu aku mempercayaimu.”

“Malam itu aku mendapatkan malam yang buruk, Zhafran.” Raut Fera berubah memelas. “A-aku membutuhkanmu. Agar pikiranku tetap jernih dan aku tak berbuat sesuatu yang akan membuatku menyesal.”

Zhafran terdiam. Menatap lebih dalam ekspresi di raut Fera.

“Aku putus dengan Niel.” Suara Fera berubah menjadi kesedihan.

Zhafran masih bergeming untuk beberapa saat. Mengingat kebohongan Fera malam itu, membuatnya harus meninggalkan Elea hingga tragedi itu terjadi. Yang membuat penyesalan di dadanya semakin menggunung terhadap Elea. “Itu tetap tak membenarkanmu untuk berbohong padaku.”

“Aku minta maaf.”

Zhafran mengangguk singkat, menekan tombol di intercom dan memanggil sekretarisnya untuk masuk.

“Zhafran?” Fera berjalan lebih maju, menempelkan kedua telapak tangannya di tepi meja Zhafran dan berkata, “Kau masih marah?”

Zhafran mengangkat wajahnya sembari menyandarkan punggung di sandaran kursi. “Sepertinya kita berdua tanpa sadar melewati batasan yang tak seharusnya, Fera. Kau temanku, teman baikku. Tapi … perhatianku yang kau inginkan dariku, melebihi dari yang seharusnya di dapatkan Elea. Istriku.”

Ketidak senangan muncul di kedua mata Fera begitu nama Elea diungkit. “Apakah dia cemburu dengan pertemanan kita? Kau tahu kita berteman bahkan sebelum kau bertunangan dengannya. Lima belas tahun yang lalu.”

“Apakah itu memberimu hak lebih besar atas diriku dibandingkan dengan dia sebagai istriku?”

Pertanyaan Zhafran mengejutkan Fera. Belum pernah Zhafran berbicara sedingin itu terhadapnya.

“Dia hanya bersikap berlebihan. Seperti biasanya. Kau tahu dia memang semanja itu, kan?”

“Ya. Tapi tidak ada yang salah dengan sikapnya. Dia menginginkan perhatian lebih dari suaminya. Dia bersikap manja pada suaminya sendiri. Akulah yang tidak memahaminya dengan benar.”

“Kau tidak mencintainya, Zhafran. Jangan bersikap seolah kau menginginkan pernikahan ini dengan hatimu.”

Zhafran terdiam, tampak memikirkan kalimat Fera yang ia sendiri tak bisa menjawabnya. Ya, memang tidak ada cinta dalam pernikahan mereka. Elea maupun dirinya tahu apa yang ada di dalam pernikahan mereka bukanlah dari hati mereka.

“Seperti yang kau bilang, kita tanpa sadar melewati batasan yang tak seharusnya. Bukankah itu mengartikan sesuatu?”

Zhafran masih bergeming, menatap wajah Fera yang kini memutari meja kerja dan berhenti di sampingnya. Menyandarkan tubuh pada meja sambil memegang tangan Zhafran yang tergeletak di meja.

“Kita berdua tak pernah menyadarinya. Aku … berapa banyak pria yang kukencani, pada akhirnya aku selalu kembali padamu. Aku selalu membutuhkanmu. Dan tak ada satu pun di antara mereka yang memberiku kenyamanan seperti yang kau berikan padaku. Sebelumnya kita tak pernah menyadarinya, Zhafran. Sekarang, saat kau tidak menjawab panggilanku sepanjang minggu ini, aku merasa kosong. Aku merasa hampa dan seolah setengah jiwaku pergi bersamamu. Tidakkah kau merasakan itu padaku?”

Semakin Zhafran menelaah kalimat Fera, semakin ia tak memahami meski tahu ke mana pembicaraan tersebut mengarah. Dan ada penyangkalan yang menyeruak ke dalam hatinya. Ia memang tidak mencintai Elea, tetapi ia juga tak merasakan perasaan apa pun itu yang dikatakan Fera kepada wanita itu.

“Aku tak tahu apa yang kau katakan, Fera.” Zhafran menarik tangannya dari genggaman Fera. “Jika tidak ada lagi yang ingin kau katakan, sebaiknya kau pergi. Aku memiliki banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan.”

Wajah Fera memias, matanya mengerjap kecewa dengan jawaban yang diberikan Zhafran. Gestur penolakan pria itu sangat jelas ditampilkan untuknya. “Zhafran?”

“Masuk,” ucap Zhafran. Pintu didorong terbuka dan sekretarisnya melangkah masuk dengan tablet dalam pelukannya. Berhenti di depan meja.

“Aku mencintaimu, Zhafran.” Suara Fera kali ini diselimuti pemaksaan.

Mata Zhafran terpejam ketika mendesah lirih. Mengangkat wajah dan menatap Fera lekat. “Aku bukan tak memahami apa yang mau katakan, Fera. Aku akan menganggap semua yang kau katakan tak pernah kudengar.”

“Kau hanya belum menyadarinya, Zhafran.” Emosi mulai menyeruak di wajah pias Fera. Menegakkan punggung dengan kasar.

“Kalaupun aku belum menyadarinya, pernikahanku dan Elea jelas lebih nyata dibandingkan perasaan apa pun itu yang belum tentu kurasakan padamu.” Ada ketegasan dalam kalimat Zhafran. “Sekarang, yang kurasakan padamu adalah kau teman terbaikku. Selama belasan tahun ini. Dan akan tetap menjadi seperti itu.”

Fera mengerjap mata, menahan genangan air mata yang mulai berkumpul di kedua ujung matanya. “Kau melukai perasaanku, Zhafran,” ucapnya lirih.

“Aku tahu. Maafkan aku.” Meski begitu tak ada penyesalan di kedua mata Zhafran yang membuat Fera semakin terluka.

“Kalau begitu aku tak akan menyerah untukmu.” Fera bersumpah dengan penuh keyakinan. “Aku akan kembali,” pungkasnya sebelum berbalik. Menyambar tasnya di sofa dan menghilang di balik pintu.

Zhafran mendesah kasar, menggusur kelima jemari di rambut sambil menegakkan punggung. “Apa saja jadwalku siang ini?”

***

Sikap Elea masih sama dinginnya kepada Zhafran sepanjang dua minggu keduanya tinggal di rumah orang tua Elea. Dan pada akhirnya, Dirga dan Davina tentu saja menyadari kerenggangan tersebut. Dirga sama sekali tak peduli, sepenuhnya mendukung sikap putrinya. Sementara Davina, tak berhenti merasa resah dengan hubungan putri dan menantunya.

“Jangan ikut campur, Davina. Elea butuh waktu untuk memulihkan kehilangannya.” Dirga menahan Davina yang hendak masuk ke kamar tidur Elea. Setelah menghabiskan sarapan, Elea langsung ke kamar dan Zhafran langsung berangkat ke kantor. 

“Tidakkah kau merasa ada yang janggal dengan mereka? Sepertinya mereka sedang perang dingin.”

“Kau yang menyikapinya berlebihan. Elea masih berduka dengan kehilangannya dan Zhafran hanya memberi waktu bagi Elea agar tidak semakin tertekan.” Dirga bahkan tak percaya kebohongan itu keluar dari mulutnya dengan sangat lancar. Suduh hatinya tentu saja merasa terpuaskan.

“Tidak, Dirga,” tegas Davina. Melepaskan tangannya dari sang suami. “Semalam … aku mendengar mereka bertengkar.”

“Apa?”

“Sebelum tidur, aku turun untuk mengisi gelas air putih. Zhafran sepertinya baru pulang dari kantor. Mereka … aku tak sengaja menengarnya. Tapi Elea berteriak menyalahkan Zhafran. Bahkan dia mengatakan membenci Zhafran. Sepertinya masalah mereka cukup serius, Dirga.”

Dirga terdiam, memikirkan penjelasan Davina dengan kerutan yang menyatukan kedua alisnya. “Dan apa yang dikatakan oleh Zhafran?”

“Zhafran? Dia … dia tak mengatakan apa pun untuk membalas sikap kasar Elea. Bahkan pria itu dengan suaranya yang lembut menyuruh Elea tidur untuk menenangkan emosinya.”

Dirga berpikir lebih dalam. Ya, meski ia tak cukup menyukai sang menantu. Sikap Zhafran pada Elea memang sangat lembut. Zhafran juga orang yang bertanggung jawab hingga ia sendiri kesulitan untuk mencari celah kesalahan sang menantu yang membuatnya harus menggagalkan perjodohan antar keluarga.

“Kita harus melakukan sesuatu, Dirga. Sepertinya Elea harus kembali ke rumah mereka. Kita harus memberi mereka ruang untuk saling bicara.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top