52. Bertatap Muka

Part 52 Bertatap Muka

Tak ada pelayan maupun pengawal yang menjaga mereka di dalam rumah. Elea turun lebih dulu dan pergi ke dapur untuk membuatkan minum Zhafran. Sembari menunggu pria itu berpakaian di kamar.

Gerakan tangannya terhenti ketika hendak menaburkan serbuk obat di tangannya ke minuman Zhafran.

‘Tenanglah, Elea. Aku tak mungkin membuatmu menjadi seorang pembunuh. Pembunuh suami sendiri.’

‘Itu hanya obat tidur. Percaya padaku.’

Elea mengangguk, menyakinkan dirinya dan memasukkan serbuk tersebut, mengaduknya dengan sendok. Zhafran baru saja muncul ketika ia keluar dari dapur. Keduanya saling melemparkan senyum dan duduk di kursi masing-masing.

“Jadi, apa yang kau bicarakan dengan Chris?”

Elea tak menatap wajah pria itu, mendekatkan gelas minumannya kea rah Zhafran ketika menjawab, “Masih sama seperti pembicaraan terakhir kami.”

Zhafran tak bertanya lagi. Menatap gelas yang diberikan Elea.

Elea memegang tangan pria itu yang ada di atas meja. “Kenapa? Kau pikir kami …”

“Tidak.” Zhafran mengangkat wajahnya, membalik telapak tangannya dna menggenggam tangan sang istri dengan senyuman yang hangat.

“Kau percaya padaku, kan?”

“Tentu saja.”

“Minumlah.”

Zhafran mengambil satu tegukan sebelum membalik piring dan mulai mengambil nasi dan lauk yang ditawarkan oleh Elea. Keduanya tak saling bicara, sengaja mempertahankan keheningan tersebut. Lebih banyak kedua mata dan gerakan tubuh mereka yang berbicara.

Beberapa menit kemudian …

Elea bergeming di tempat duduknya. Makanan di piringnya sudah habis, juga di piring Zhafran dan gelas minuman yang ia buat. Kedua tangan mereka saling berpegangan. Hanya saja kepala Zhafran sekarang sudah terkulai di samping meja. Dengan mata yang tertutup rapat.

Elea menguatkan hati, menatap dengan kedua mata yang mulai dibasahi tangisan. Perlahan, tangannya melepaskan diri dan beranjak dari duduknya. Berjalan menuju pintu belakang. Lewat halaman samping rumah yang langsung mengarah ke carport. Ia naik salah satu mobil miliknya, yang dihentikan oleh salah satu sopirnya di depan gerbang.

“Nyonya, sayang akan mengantar Anda …”

“Suamiku memanggilmu. Aku harus ke rumah papaku sekarang juga.”

“Tapi Tuan berpesan …”

“Dia sudah mengijinkanku pergi sendiri,” penggal Elea lagi. “Buka pintunya. Sekarang! Aku harus segera pergi!” perintahnya.

“Tuan …”

“Sekarang atau aku akan menabrakkan diri di gerbang?”

Sopir itu tampak kebingungan. Tetapi kemudian memberikan isyarat pada temannya untuk membuka pintu gerbang.

Mobil melesat pergi, dengan kecepatan tinggi yang bisa ia kendalikan. Memastikan tidak ada yang mengikutinya. Setidaknya tidak sekarang.

*** 

Lokasi yang ditentukak Chris bukanlah tempat yang tidak pernah Elea kunjungi. Itu adalah unit apartemen yang ada di gedung yang sama. Gedung apartemen Chris.

Akses yang ditinggalkan Chris di meja resepsionis membawanya naik ke lantai tertinggi. Entah ini pemilihan tempat yang tepat atau memang Chris memiliki kekuasaan dan kepercayaan diri yang begitu besar sehingga membawa El Noah ke tempat ini.

Ia masuk ke dalam lift khusus, yang hanya bisa digunakan dengan kartu di tangannya. Ia punya waktu cukup untuk kembali menenangkan perasaan dan mempersiapkan dri sampai di atas.

Lift akhirnya berhenti di lantai 18. Bergeser terbuka. Elea melangkah keluar, pandangannya bergerak ke sekitarnya. Hanya ada meja foyer dengan bunga tulip yang memenuhi vas besar di tengahnya. Juga ada beberapa lukisan bunga tulip dengan warna lain yang dipanjang di dinding.

Ia berjalan melewati meja tersebut, menuju ruangan selanjutnya. Hanya ada kesunyian yang menyambutnya.

“Kau datang lebih cepat.” Suara feminism dari arah samping membuat kepala Elea berputar. Tercengang menemukan Feralah yang ada di sana.

“Fera?” Mata Elea melebar, melihat wanita itu duduk di tengah sofa yang panjang, mengenakan lingerie berwarna ungu tua dengan jubah tidur yang tidak diikat. Sehingga menampilkan tubuh seksi yang membayang di balik kain tipis tersebut.

Keberadaan wanita itu membuatnya berpikir bahwa ia salah tempat. Tapi … apa hubungan Fera dengan Chris? Pertanyaan itu lebih mengganggunya. Bagaimana mungkin keduanya saling mengenal? Ah, mereka tinggal di apartemen yang sama.

“Apa yang kau lakukan di sini?”

Fera mendecakkan lidahnya. “Apakah hanya pertanyaan itu yang muncul di kepalamu?” Wanita itu bangkit berdiri. “Chris memberimu dua jam dan kau datang dalam satu jam? Apa kau memarkir mobilmu di tempat yang tepat?”

Elea kembali terkejut dengan pertanyaan tersebut. Chris mengarahkannya untuk meninggalkan mobil terparkir di basement gedung kantor papanya. Untuk naik taksi yang sudah disiapkan pria itu di depan teras gedung. Berjalan melewati jalur yang tidak dipasangi CCTV. Yang entah bagaimana diketahui oleh pria itu.

“Ya. Seperti yang dikatakannya.” Jawaban Elea keluar dengan penuh ketenangan meski ada nada dingin yang terselip. Benaknya mulai mencerna, menghubungkan benang merah di antara semuanya. Bagaimana Fera mengenal Chris? Bagaimana Fera mengetahui malam kejadian itu? Ya, semuanya terasa masuk akal. Fera dan Chris, bekerjasama untuk menyerangnya. 

Fera berhenti tepat di hadapan Elea. Senyum mengembang dengan kedua tangan bersilang di depan dada. “Rupanya kau cukup tanggap.”

“Di mana Chris?”

“Sedang sedikit sibuk.” Salah satu pundak Fera berkedik. “Kita bisa menunggu sambil berbincang. Kau tak ingin mengajukan beberapa pertanyaan yang membuatmu kebingungan?”

Elea bergeming, menatap lurus mata Fera dan hanya menemukan kelicikan wanita itu. “Apa yang kau inginkan?”

“Kau tahu apa yang kami berdua inginkan, Elea.”

“Zhafran?”

Fera mengangguk. “Meski perasaannya sulit untuk ditaklukkan, ketiadaanmu akan mempermudah semuanya.”

“Zhafran tak pernah mencintaimu. Kaulah yang salah paham atas perhatian yang diberikan padamu, Fera.” Elea mengucapkannya dengan penuh keyakinan dan kemantapan.

Pupil mata Fera melebar, dengan kekesalan yang mulai menggaris di wajah wanita itu. “Apa kau bilang?”

“Sejak awal, kamilah yang saling memiliki.”

“Sialan kau, Elea.” Tangan Fera melayang di udara, berhasil mendaratkan tamparan di wajah Elea.

Elea sudah memperkirakan kemarahan Fera meski tak sempat menghindar. Wajahnya terasa memanas dengan wajah tertunduk dan miring ke samping. Ia lekas mengangkat kepalanya, bermaksus melakukan pembalasan ketika Fera tiba-tiba meraih rambut dan menjambaknya.

Tak menyerah, Elea berusaha meraih kepala Fera. Menggunakan kedua tangannya dan menarik sekuat tenaga yang dimilikinya. Suara pekikan Fera bergema di ruangan. Keduanya saling mendorong, saling menarik, berusaha memberikan rasa sakit yang lebih kepada lawannya.

Di tengah pergumulan tersebut, Chris yang baru saja muncul tercengang menyaksikan pertengkaran tersebut. Tubuh Elea didorong ke arah meja, membuat vas bunga di atasnya pecah.

Chris gegas menghampiri. Memegang pegangan tangan Fera di tubuh Elea dan melepaskannya. Lalu menangkap pinggang Elea dan menariknya mundur, berusaha memisahkan keduanya.

“Apa kau sudah gila? Apa yang kau lakukan, hah?” maki Chris pada Fera yang sudah berhasil berdiri tegak dengan kedua kaki meski napasnya masih terengah. Begitu pun dengan Elea.

Fera tentu saja tersinggung dengan pertanyaan tersebut. Mendelik dongkol, dia balas berteriak. “Dia yang memulai. Kau benar-benar dibutakan olehnya, Chris. Aku hanya memberinya sedikit pelajaran.”

“Kita sudah sepakat, Elea hanya akan menjadi urusanku. Jangan menyentuhnya, meski hanya seujung kuku pun!” Chris melemparkan tatapan yang tak kalah tajamnya. Kemudian menoleh ke arah Elea. Rambut wanita itu tampak berantakan dan napas yang sudah kembali normal. Tetapi wajah Elea tampak tercengang dengan apa yang baru saja disaksikan.

Elea melangkah mundur ketika Chris berusaha mendekat. Kata-kata kemarahan yang baru saja Chris lontarkan kepada Fera, kini sepenuhnya meyakinkan dirinya bahwa Chris memanglah penguntit tersebut. Yang menculik dan memperk*sanya pada malam itu. Suara dan tatapan Chris yang menyalang murka, benar-benar bukan Chris yang pernah dikenalnya. Pria di hadapannya bukan seseorang yang dikenalnya. Dan memang bukan.

Pria yang dikenalnya, sudah menghilang di masa lalunya. Sudah terkubur dalam bersama waktu yang sudah berlalu.

“Jangan mendekat!” Sekali lagi Elea berteriak karena Chris masih berusaha mendekat.

“Maafkan aku sudah membuatmu terluka, Elea.” Suara Chris sedikit melunak, meski tidak dengan tatapan tajam pria itu pada Elea.

“Apa hubunganmu dengan Galena? Apakah sejak awal kau mendekatiku karena tahu aku adalah anak dari Banyu Dirgantara? Anak dari pria yang membuat Galena mendekam di rumah sakit jiwa?”

Chris menggeleng. “Tidak, Elea. Aku benar-benar mencintaimu dengan tulus. Hanya aku yang mencintaimu setulus apa yang kurasakan untukmu.”

Elea menggeleng. Emosi yang mulai memekati wajah Chris terlihat berlebihan. Ketakutan mulai merayapi dadanya ketika mengingat pria itulah yang menculiknya di malam itu. Menyentuhnya dengan cara yang menjijikkan dan menyakitinya.

Dengusan terdengar dari arah belakang. Galena maju, berdiri di samping Chris. Melirik sinis pada Chris. “Kau benar-benar sudah gila oleh cinta, Chris. Tapi … aku tak akan peduli. Itu urusanmu sekarang …”

“Jadi kau memang anak dari wanita itu?”

Kalimat Fera terhenti di tengah jalan dengan pertanyaan Elea. Wajah sinisnya membeku. Kepalanya berputar dengan tatapan yang lebih dingin pada Elea. “Wanita itu?”

Elea sempat terkejut dengan seloroh Fera yang cukup keras dan dipenuhi emosi. Ia beralih menatap Fera.

“Beraninya kau menyebutnya dengan kata wanita itu, Elea. Seolah dia hanyalah orang yang tak berarti.” Fera bergerak maju, lebih dekat pada Elea yang terdorong menjauh hingga punggungnya membentur dinding karena saking terkejutnya. 

“Aku sama sekali tak ada hubungannya dengan Galena dan papamu, Elea. Semua yang kumiliki dan lakukan padamu hanya ketulusan cintaku.” Chris masih berusaha sibuk menjelaskan keterangan perasaannya pada Elea, menahan Fera medekati Elea, tapi Fera menyentakkan tangannya lebih kuat. Kembali memberikan perhatianya pada Elea dengan amarah yang semakin pekat. 

“Papamulah yang membuatnya berakhir menyedihkan di rumah sakit jiwa. Semuanya karena papamu. Apa yang kau dapatkan, sama sekali tak bisa dibandingkan dengan perbuatan papamu padanya. Semua kebahagiaan yang kau dapatkan, adalah pengorbanan untuk hari-harinya yang menyedihkan di tempat menjijikkan itu.”

“Semua ketenangan dan keluargamu yang tampak sempurna itu, berdiri di atas derita mamaku.”

Kepucatan membekukan wajah Elea yang tercengang dengan keras. Membuat kepalanya terasa pening secara tiba-tiba. ”M-mama?”

“Ya, akulah anak dari Galena Rawless. Yang menuntut balas untuk setiap derita dan tetes air mata yang dikarenakan kekejian papamu.”

***

Beberapa part menuju ending, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top