5. Pertanyaan Papa Mertua

Part 5 Pertanyaan Papa Mertua

Zhafran menahan kegeramannya sembari menyelesaikan mengemas semua barang-barang Elea ke dalam tas. Kedua mertuanya sudah ada di dalam ruang perawatan Elea, memastikan sang putri dalam keadaan baik-baik saja. Beruntung lebam-lebam di seluruh tubuh Elea juga sudah memudar dan wanita itu cukup cerdik untuk mengenakan pakaian lengan panjang. Papa Elea, Banyu Dirgantara sibuk mengamati gerak-geriknya dengan penuh kewaspadaan. Sementara mama Elea, Davina Dirgantara sibuk memeluk Elea dengan isakan yang berusaha ditahan. Tak berhenti mengelus punggung tangan sang putri.

Ya, Elea punya alasan yang bagus membawa mereka ke sini. Mengatakan wanita itu mengalami keguguran karena terpeleset di kamar mandi. Cerita yang tidak sepenuhnya benar dan memang hanya itu yang dibutuhkan sang istri untuk memaksanya keluar dari tempat sialan ini.

Zhafran terpaksa mengurus kepulangan Elea dan keberadaan kedua mertuanya membuatnya tak punya pilihan. Terutama dengan fisik Elea yang terlihat sangat baik-baik saja.

Dan rupanya tak cukup sampai di situ kejutan yang diberikan sang istri kepadanya. Rupanya Elea sudah mengatakan pada kedua mertuanya bahwa wanita itu akan bermalam di rumah mereka selama beberapa hari untuk menenangkan diri. Lagi-lagi Zhafran dibuat tak berkutik pernyataan tersebut.

Kedua mata Dirga menyipit kepada Zhafran, mengamati ekspresi sang menantu yang membeku. “Ya, Elea sudah membicarakannya dengan saya. Tetapi … saya khawatir …”

“Dia berada dalam pengawasanku dan mamanya. Tak ada yang perlu kau khawatirkan.” Ucapan Dirga tidak lembut, tetapi juga tidak kasar. Ada penegasan akan keraguan sang menantu.

Zhafran mengangguk sekali. Mengangkat tas Elea dan meletakkannya di bagasi. Elea dan Davina duduk di jok belakang, Dirga naik ke jok depan dan Zhafran duduk di balik kemudi. 

Jarak rumah sakit dan kediaman mertuanya lebih jauh dari rumahnya. Butuh satu jam perjalanan dengan kecepatan sedang. Sesekali Zhafran melirik sang istri yang bersandar menghadap jendela mobil dengan mata terpejam, sementara Davina sesekali memperbaiki selimut Elea yang jatuh. Tak berhenti menyelipkan helaian rambut Elea yang sudah terselip di balik telinga. Seolah tak bisa berhenti cemas jika tidak melihat sang putri setiap beberapa menit sekali.

Sedangkan Banyu Dirgantara, pria paruh baya itu melakukan hal yang sama seperti Zhafran. Pun lebih sering menatap tajam ke arah sang menantu. Seolah menahan sesuatu yang ingin dibicarakan tetapi terhalang oleh keberadaan Davina dan Elea.

Zhafran sendiri menyadari kecurigaan sang mertua, tetapi berpura bersikap dengan tenang. Sangat sadar diri telah menghancurkan kepercayaan sang mertua dan ia tahu semua konsekuensi dari perbuatannya. Namun, ia lebih takut kehilangan Elea ketimbang menghadapi kemurkaan seorang Banyu Dirgantara.

Satu jam kemudian, Zhafran memarkirkan mobil di depan kediaman megah Banyu Dirgantara. Suasana di tempat ini tak kalah asri dan sejuknya dengan kediamannya. Namun, ia menyukai air mancur dengan ikan-ikan yang ada di depan teras. Salah satu kebanggaan Elea ketika ia datang untuk menjemput wanita itu di kencan pertama mereka secara resmi.

Senyum manis dan ceria wanita itu kini berubah menjadi kemuraman dan kesedihan yang begitu kental menggelayuti ekspresi Elea saat Zhafran membantu sang istri turun dari dalam mobil.

Elea tak menolak bantuannya, lebih karena sedang disaksikan kedua mertuanya. Begitu keduanya masuk ke kamar Elea, wanita itu menepis tangan Zhafran dengan kasar. Langsung berjalan ke kamar mandi dengan membanting pintu.

***

“Kenapa ada kopermu di sini?” Elea terkejut melihat koper yang baru saja diletakkan sopir Zhafran di samping tempat tidur. Menatap Zhafran yang duduk bersandar di kepala ranjang. “Kau tidak bermalam di sini, kan?”

“Istriku baru saja mengalami keguguran, bagaimana mungkin aku membiarkannya bermalam sendirian …”

“Aku tak butuh bantuanmu, Zhafran. Aku bisa melakukan semuanya sendiri. Dan alasanku bermalam di sini, karena aku tak ingin melihatmu lebih banyak lagi.”

Senyum Zhafran tampak miris dengan alasan Elea. “Sayang sekali, kau harus terbiasa, istriku.”

“Aku sudah terbiasa dengan wanitamu yang selalu menjadi perhatianmu pertamamu. Dan sekarang kau masih ingin menuntutku untuk terbiasa melihat wajah berengsekmu?” Suara Elea diselimuti emosi dan kekecewaan yang bercampur aduk. 

Zhafran terdiam sejenak, bangun dari duduknya dan berdiri di hadapan Elea. “Aku sudah mengatakan padamu, kan. Aku akan menerima semua penolakan, kebencian, dan kemarahanmu padaku tanpa mengeluhkannya sedikit pun. Dan aku serius dengan semua ini.”

“Kau pikir aku akan luluh dengan semua sikapmu ini?” sengit Elea, mendorong dada Zhafran menjauh. Menyemburkan kebenciannya tepat di depan wajah Zhafran. “Kenapa baru sekarang, Zhafran? Kenapa baru sekarang setelah kau menghancurkanku dengan cara sekejam ini?!” pungkasnya diikuti dengan isak tangis.

Zhafran bergeming. Kedua sudut matanya memanas meski ia berusaha keras agar air matanya tak sampai terjatuh. Setiap tetes air mata yang dijatuhkan Elea, layaknya sebilah belati yang menancap di hatinya. Suara nyaris bergetar ketika berucap lirih. “Aku tahu aku tak berhak mendapatkan maaf darimu, Elea. Tapi aku akan tetap melakukan segala cara untuk memperbaiki semua ini.”

Elea tak pernah dibuat kehilangan kata-kata jika Zhafran sudah bersikap seperti ini. Seperti hatinya yang sudah mati rasa akan pria itu, Zhafran pun seolah tebal muka atas penolakan, kebencian, dan kemarahan yang ia luapkan pada pria itu. Membuatnya lelah sendiri dan pada akhirnya pilihan yang dimilikinya hanya membiarkan Zhafran melakukan apa pun sesukanya.

Makan malam sudah siap ketika Zhafran dan Elea keluar dari kamar. Dirga, Davina, El Noah dan El Nora, kedua adik laki-laki dan perempuan Elea sudah duduk mengelilingi meja makan. Zhafran mengambil tempat di sisi papa mertuanya dan Elea di sisinya. Tak ada percakapan berarti di meja makan selain Davina yang berusaha membujuk Elea untuk makan lebih banyak atau melerai perdebatan antara El Noah dan El Nora

Dirga selesai makan lebih awal. Sebelum beranjak, dia berucap, “Temui papa di ruang kerja.”

Zhafran mengangguk sekali. Elea meletakkan sendok lebih dulu dan berdiri meski isi piringnya masih tersisa setengah. Berjalan keluar ruang makan tanpa menggubris panggilan Davina yang menawarkan camilan ke kamar.

“Dia butuh waktu untuk dirinya sendiri, Ma?” El Noah menahan sang mama yang hendak menyusul Elea. “Mama tahu dia sangat mengharapkan kehamilan itu untuk menyenangkan papa. Dia pasti kecewa pada dirinya sendiri.”

Kening Zhafran berkerut mendengarkan kata-kata El Noah. ‘Sangat mengharapkan?’ Ia tak pernah tahu kalau Elea begitu menginginkan ada anak di antara mereka. Meski ia pun juga tak akan menolak keinginan tersebut.

Setelah menghabiskan gelas air putihnya, Zhafran berpamit pergi lebih dulu dan langsung ke ruang kerja mertuanya yang ada di lantai dua. Yang sudah duduk di sofa tunggal menunggu kedatangannya.

“Kau tahu Elea adalah putri kesayanganku, yang kupercayakan padamu secara pribadi meski semua perjodohan ini atas dasar bisnis, kan?”

Zhafran mengangguk, dengan napas tertahan dan tubuh yang mulai menegang.

“Lalu di mana kau saat Elea jatuh terpeleset di kamar mandi?”

Mata Zhafran tak berkedip, menatap raut sang mertua yang menatapnya dalam-dalam, menelisik lebih dalam ke dalam dirinya.

“Aku mendengar dia hampir kehabisan darah saat kau membawanya ke rumah sakit," lanjut Dirga. “Kau jelas tidak ada di rumah, kan?”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top