40. Keterkaitan Sang Papa
Part 40 Keterkaitan Sang Papa
Ketika Elea melangkah keluar, keberadaan mobil Zhafran yang terparkir di depan teras gedung membuatnya terkejut. Pria itu berdiri bersandar pada pintu mobil dengan kedua tangan bersilang di depan dada. Melengkungkan senyum yang terlalu lebar hingga membuat seluruh tubuh Elea menegang waspada.
“Hai, istriku.” Zhafran menurunkan kaca mata hitamnya dan membuka kedua lengannya ketika menghampiri Elea yang masih berdiri membeku di tengah teras. Menjadi pemandangan menakjubkan para wanita muda yang kebetulan melintasi dan Zhafran jelas menyukai semua perhatian tersebut. Di mana pun, Zhafran memang selalu menjadi pusat perhatian.
“A-apa yang kau lakukan di sini?” Suara Elea terbata ketika Zhafran memeluk tubuhnya yang kaku, menunduk dan mendaratkan satu lumatan di bibir.
“Kebetulan aku sedang makan siang di sini ketika sopirmu mengatakan kau di kantor papamu.”
Elea melirik sopirnya yang masih bersiaga di tempat yang sama saat ia datang dua jam yang lalu. Setengah tak mempercayai kalimat Zhafran dan setengah lagi ia cemas Zhafran tahu apa yang dilakukannya bersama sang papa.
Kening Zhafran berkerut terheran dengan reaksi pucat Elea. Dan bukannya ia tak menyadari ketegangan di tubuh sang istri begitu melihatnya tiba-tiba muncul di sini. “Apakah aku begitu mengejutkanmu?”
Elea mengurai kedua lengan Zhafran yang masih melingkari pinggangnya. Kesal dengan sandiwara yang masih saja ditampilkan Zhafran dengan begitu sempurna di hadapannya, bahkan setelah pria itu tahu apa yang dilakukannya di rumah sakit. “Aku tahu kau marah padaku, Zhafran. Jangan membuatku semakin kesal.” Elea mundur satu langkah, mengubah ketegangan di wajahnya menjadi lebih dingin. Menyamarkan kecemasan sesungguhnya yang mulai menyelinap ke dalam dadanya.
Salah satu alis Zhafran terangkat meski masih dengan senyum yang menghiasi wajah pria itu. “Karena mencoba kontrasepsi lainnya secara diam-diam di belakangku?”
Elea tak menjawab, sejenak hanya menatap ekspresi Zhafran yang dipenuhi ketenangan. Sebelum kemudian berjalan melewati pria itu dan menuruni undakan. Dan langkah Zhafran lebih lebar untuk mendahuluinya lalu membuka pintu depan mobil untuknya.
“Kenapa aku harus merasa kesal dengan usahamu yang bahkan tak bisa berhasil kau lakukan, Elea? Apalagi marah,” jawab Zhafran ketika sudah duduk di balik kemudi dan mulai melajukan mobil.
Elea melirik sang suami dengan ujung matanya. Satu tangan pria itu memegang kendali mobil dan tangan yang lain bergerak meraih tangannya. Menggenggamnya dengan kuat sebelum diletakkan di pangkuan pria itu. Berusaha menarik hanya akan membuat genggaman pria itu semakin mengetat.
“Tidak bisakah kau memberiku waktu lebih banyak lagi?” desah Elea kemudian. Kali ini melunakkan raut wajahnya.
“Apakah waktu yang kuberikan masih belum cukup?”
“Kau benar-benar mendesakku, Zhafran.”
Zhafran terdiam. Mengurangi kecepatan ketika lampu menyala merah. Kepalanya berputar ke samping, menatap keputus asaan sang istri selama beberapa detik. Ketidak siapan Elea pun akan berdampak buruk jika mereka menjalani program kehamilan. Ya, ini memang bukan pertama kalinya mereka melakukan program kehamilan. Sebelum malam naas itu, keduanya memang sedang menjalani program kehamilan sejak tahun lalu. Dan ketika usaha mereka berhasil, semua tragedi itu tiba-tiba menghancurkan semuanya.
“Oke. Kali ini, berapa lama waktu yang kau inginkan?”
Mata Elea membelalak. Terkejut sekaligus tak percaya dengan Zhafran yang langsung mengabulkan keinginannya. “A-apa?”
“Dan tentu saja kemurahan hatiku yang ini tidak gratis, kan?”
Elea menelan ludahnya. “Apa yang kau inginkan?”
Zhafran memberikan seulas senyum tipis dan menggeleng. “Aku tak akan mengatakannya sekarang,” jawabnya sembari kembali menatap ke depan. Melihat lampu yang sudah berganti hijau dan kembali melajukan mobil.
***
Siang itu, kaki Elea rasanya sudah nyaris patah setelah berkeliling mengikuti intruksi El Noah dari ponsel yang menempel di telinga. “Aku sudah mengambil yang ukuran M, Noah. Warna putih seperti yang kau katakan tadi.” Bibir Elea menipis tajam sembari membanting kaos putih di tangannya ke dalam keranjang yang tergeletak di lantai depannya.
”Aku hanya memastikan kau tak melewatkannya, Elea. Kau ambil berapa?”
“Kau bilang dua, kan?”
El Noah terkekeh kecil. “Sepertinya kau memang mendengarkan dengan baik.”
“Jadi apalagi?”
“Apa saja yang sudah kau ambil?”
“Semua yang sudah kau katakan tadi. Janga menguji kesabaranku, Noah. Aku akan kembali sekarang juga.”
“Oke-oke. Hanya itu. Aku percaya kau tak melewatkan semua yang kubutuhkan.”
“Aku akan menutupnya.”
“Tunggu. Tunggu dulu!”
Mata Elea terpejam. Menekan amarah yang benar-benar akan membeludak didadanya sebelum mengangkat kembali tangannya dan menempelkan benda pipih itu di telinga.
“Aku lupa satu hal.”
“Apa?”
“Celana dalam.”
Cukup sudah. “Apa kau sudah gila!” jeritnya kemudian sehingga membuat orang-orang yang berdiri di sekelilingnya menoleh ke arahnya seolah ia sudah kehilangan kewarasan.
Beberapa menit kemudian setelah memastikan ponselnya mati dan mendapatkan semua barang-barang kebutuhan sang adik. Tak peduli jika pun ada yang tertinggal, akhirnya Elea berhasil membayar dua keranjang besar dan dua sopirnya segera mengambil alih kantong-kantong belanjaan tersebut.
“Aku ingin ke toilet sebentar. Kalian tunggu saja di mobil,” perintah Elea sembari memasukkan dompetnya ke dalam tas. Mencari penunjuk arah di sekitarnya dan langsung menemukan toilet terdekat yang berada tepat di samping supermarket.
Setelah buang air kecil dan mencuci kedua tangannya, Elea berjalan keluar toilet. Tepat di depan pintu, seseorang menabrak pundaknya dengan keras sehingga tubuhnya terhuyung satu langkah ke belakang. Wajahnya bergerak ke samping dan terkejut menatap seseorang yang baru saja menabraknya dengan kasar.
“Elea?” Seringai segera mengembang di wajah Fera begitu melihat sang musuh ada di hadapannya. Kedua matanya berbinar licik saat kedua tangannya bersilang di depan dada penuh keangkuhan. “Kita bertemu.”
Elea mendesah dengan jengah, memperbaiki tali tasnya yang melorot ke siku dan berjalan melewati wanita itu.
Fera gegas menyusul dan menangkap lengan Elea sebelum wanita itu benar-benar berlalu. “Bukankah ini suatu kebetulan. Zhafran melarangku menemuimu dan kita tiba-tiba bertemu di sini. Sungguh tak terduga.”
Elea menyentakkan tangannya dengan kasar. “Apakah kau begitu bahagia bertemu denganku? Sebegitu rindunyakah kau padaku?” ejeknya dengan tawa kecil.
“Sepertinya hubungan kita tak sedekat itu untuk saling merindukan. Tapi … aku senang secara kebetulan bertemu seorang teman dengan cara yang terduga seperti ini.”
Elea mendengus. “Teman?”
“Ya, istri teman baikku juga adalah teman, kan?”
Desahan Elea kali ini lebih keras. Perasaannya saja atau memang Fera terlihat lebih tidak waras dari terakhir mereka bertemu. Juga lebih licik dan menjengkelkan dari sebelumnya. “Ya, katakan apa saja yang kau inginkan. Aku pergi,” pungkasnya kemudian membalikkan badan dan berjalan pergi.
“Apakah hidupmu masih baik-baik saja?” Suara Fera semakin keras. “Bahkan setelah malam sialan itu, apakah kau masih bisa hidup dengan baik-baik saja?”
Langkah Elea terhenti. Suara Fera yang sebelumnya dibuat riang, kini berubah serius hanya dalam hitungan detik.
“Merampas kebahagiaan milikku dan berpura seolah semuanya baik-baik saja?” Fera berhenti tepat di depan Elea. “Kau puas telah merebut Zhafran dariku?”
“Apa kau masih berpikir aku yang melakukan semua itu padamu? Merampas? Merebut? Apakah kau masih tak menyadari posisimu? Aku sudah mengatakan padamu, kan? Jika kau begitu menginginkan Zhafran, kau bisa mengambilnya sesuka hatimu. Bukan salahku jika Zhafran membuang pertemanan kalian dengan …”
Plaakkkk …
Kepala Elea berputar ke samping tanpa menyelesaikan makiannya ketika tamparan Fera mendarat di pipinya. Untuk beberapa saat ia terpaku, menahan rasa panas yang menjalar di pipinya.
Kepalanya bergerak naik dengan perlahan, menahan perih di ujung bibirnya dan tentu saja ia tak akan membiarkan kelicikan Fera menginjak-injaknya. Tangannya melayang ke wajah wanita itu, mendaratkan tamparan yang lebih keras hingga tubuh Fera terhuyung ke belakang.
“K-kau menamparku?” Fera membelalak melihat ujung jarinya yang baru saja mengusap bibirnya ditempeli noda darah. “K-kau membuatku berdarah?” pekiknya dengan histeris.
Elea menyeringai puas.
“Kau benar-benar keterlaluan, Elea.” Kali ini tubuh Fera melompat ke arah Elea dengan kedua tangan melayang menuju kepala wanita itu. Dan pergulatan pun tak terhindarkan.
***
Dengan bukti CCTV, Fera dan sang pengacara tak bisa berdalih bahwa wanita itulah yang memulai penyerangan. Dan Elealah yang lebih berhak menuntut Fera atas tindak kekerasan.
"Aku sudah memperingatkanmu untuk tidak menyentuh istriku, Fera," desis Zhafran tajam ketika ketiganya baru saja keluar dari kantor polisi dengan didampingi pengacara masing-masing dari kedua belah pihak. "Kedua kalinya, tak ada penyelesaian dengan cara kekeluargaan."
"Kau mengancamku?" Meski ketakutan merambati dadanya akan ketajaman manik Zhafran yang begitu menusuk, Fera tetap tak akan menunjukkan itu di hadapan pria itu.
"Anggap saja ini sebuah peringatan," pungkas Zhafran berpaling. Berjalan ke arah Elea yang menunggu tak jauh dari posisi keduanya. Lalu keduanya berjalan ke arah tempat mobil mereka diparkir.
"Kau yakin tak akan menyesali peringatan ini, Zhafran?" Pertanyaan Fera yang berhasil mengejar pasangan suami istri tersebut menghentikan Elea yang sudah akan naik ke dalam mobil.
Tatapan Fera beralih dari Zhafran yang sudah membalik tubuh menghadapnya pada Elea. "Kau pikir pertemuan kita adalah sebuah kebetulan?"
Wajah Elea dan Zhafran serempak membeku.
"Ya, meski aku harus merelakan beberapa kukuku yang patah dan rambutku yang rontok. Juga cakaran di wajah dan tangan, kalian sunguh berpikir aku tak sengaja memancing pertengkaran ini?"
"Katakan saja apa yang ingin kau katakan, Fera. Jangan berbelit," desis Zhafran bercampur geraman.
"Sebelumnya, aku harus mengucapkan terima kasih karena kalian tidak menuntutku. Aku tak bisa mendapatkan kerugian lebih banyak dari semua ini dengan mendekam di dalam sana, kan."
Geraman Zhafran semakin keras, tak sabar dengan kalimat Fera yang bertele-tele atas semua rencana sialan, yang berhasil menjebaknya dan Elea kali ini.
"Galena." Fera kembali menatap Elea. "Bukankah itu nama mantan tunangan papa kesayanganmu?"
Elea membeliak terkejut sekaligus tak mengerti. Sementara wajah Zhafran menggelap oleh amarah yang memuncak.
"Pria yang menculikmu malam itu adalah putra dari Galena, yang sudah mendekam di rumah sakit jiwa berpuluh-puluh tahun karena perbuatan papamu," tambah Fera. Tak peduli bahkan ketika Zhafran melompat ke arahnya dengan kedua mata dipenuhi kemurkaan.
***
Cerita ini tidak diebookin ya. Sudah tersedia paketan dengan harga murmer hingga end di Karyakarsa. Yang ga sabaran nunggu updatennya bisa langsung ke sana. Cari dengan judul yang sama.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top