4. Ikatan Yang Merapuh
Part 4 Ikatan Yang Merapuh
“Kau pembunuh. Kau membunuhnya!” Suara Elea kembali memenuhi seluruh ruangan. Mata wanita itu menyorotkan kebencian yang begitu dalam dan pekat meski tak lagi meronta dan histeris, setelah tertidur selama beberapa jam oleh obat penenang.
Zhafran sama sekali tak menyangkal tuduhan tersebut. Ialah yang bertanggung jawab atas kematian anak mereka. Juga atas apa yang dialami sang istri.
“Jangan mendekat!” jerit Elea ketika kaki Zhafran bergerak, hendak mendekat. “Aku tak ingin melihatmu. Pergilah.” Elea menghapus air matanya, memeluk kedua kakinya yang terlipat dan menenggelamkan wajahnya di lutut.
“Aku akan kembali setelah …”
“Aku tak ingin melihatmu lagi.” Suara lemah Elea memenggal kalimat Zhafran. Diselimuti permohonan yang begitu kental.
Mata Zhafran terpejam, kakinya bergerak maju. Yang membuat kepala Elea terangkat dan menjerit padanya.
“Kubilang jangan mendekat.”
“Aku tahu kau begitu membenciku, Elea. Sejak awal kau memang membenciku karena perjodohan dan pernikahan ini. Tapi kau harus mengakui bahwa hanya aku yang kau miliki sekarang. Aku tahu kau tak akan membiarkan kedua orang tuamu tentang kejadian ini.”
Air mata Elea jatuh begitu kedua orang tuanya diungkit. Penolakannya seketika meluruh dengan fakta tersebut. Ia tak mungkin memberitahu kedua orang tuanya tentang kejadian ini. Itu akan menghancurkan dan membunuh mereka dengan perlahan. “Sekarang, bahkan aku membencimu seperti aku membenci udara yang masih membuatku hidup. Aku benar-benar membencimu, Zhafran. Aku membenci semua hidupku yang ada dirimu. Aku membenci kenapa papaku harus mengenal orang sepertimu!”
Kata-kata yang disemburkan Elea menghantam dadanya dengan keras. Meski begitu menyakitkan, ia berusaha memaklumi kebencian tersebut.
“Aku tahu sebanyak apa pun dan sebesar apa pun penyesalanku dan kata maafku, sedikit pun tak akan membuatmu merasa lebih baik, Elea. Tapi … aku akan tetap minta maaf dan tak akan ragu bersujud di kakimu untuk mendapatkan maaf darimu.”
“Maaf?” desis Elea. Kemudian kepalanya menggeleng. “Kau bahkan tak berhak mengatakan itu!”
“Aku tahu. Tapi itu tak akan menghentikanku untuk memperbaiki kesalahanku.”
“Kau tak akan bisa. Aku sudah hancur. Tak ada yang bisa diperbaiki dari semua ini. Apakah kau masih tak memahami semua ini? Apakah matamu masih buta? Sama seperti kau dibutakan oleh wanitamu itu.”
“Setidaknya biarkan aku bertanggung jawab untuk …”
“Aku tak butuh tanggung jawabmu. Aku bahkan tak membutuhkan tanggung jawabmu sebagai suamiku. Sejak awal pernikahan kita.”
Sekali lagi kata-kata Elea berhasil menghantam dada Zhafran dengan keras. Dan ia berusaha memendam rasa sakitnya dengan lebih keras. Jika Elea menolaknya sepuluh kali, maka ia akan berusaha lebih keras dua kali lipat dari penolakan wanita itu. Elea melemparkan bantal di punggungnya ke wajah Zhafran. Yang sama sekali tak menghindar. Juga nampan makanan, berikut semua barang-barang yang ada di meja kecil. Bahkan pisau buah yang tergeletak di sana tak luput dari sambaran emosi Elea, melayang ke arah wajah Zhafran dan menggores pipi pria itu, yang tetap bergeming.
Napas Elea terengah-engah dengan keras. Semakin terisak lebih keras.
Tangisan Elea terdengar begitu pilu. Seperti tusukan belati yang mengiris dada Zhafran. Luka perih di pipinya pun tak seberapa dibandingkan perih di dadanya. Yang juga tak akan sebanding dengan luka Elea.
Zhafran menghela napas tanpa suara. Telapak kakinya berputar, hendak berbalik dan memberi waktu bagi Elea, ketika tiba-tiba gerakannya terhenti oleh kalimat sang istri.
“Aku ingin bercerai.” Tangisan Elea berhenti sejenak. “Aku ingin kau menceraikanku sekarang juga.”
Zhafran terdiam. “Katakan aku egois, jahat, kejam, berengsek atau apa pun, Elea. Aku tak akan peduli. Tapi aku tak akan menceraikanmu. Sejak awal aku sudah menegaskan padamu, pernikahan ini berlaku untuk seumur hidup kita. Apa pun yang terjadi.”
Elea benar-benar kehilangan kata-kata untuk meluapkan kemarahannya terhadap Zhafran. Air matanya kembali mengalir deras, masih sederas sebelumnya, tak peduli sebanyak apa pun air matanya yang sudah tumpah.
***
Selama tiga hari, keadaan Elea semakin membaik meski tidak dengan keadaan jiwa wanita itu yang sesungguhnya. Kejadian malam itu meninggalkan trauma yang sangat mendalam dan Zhafran tak akan menjadi lengah meski fisik Elea terlihat baik-baik saja.
Dokter sudah mengijinkan Elea melakukan rawat jalan sejak kemarin, tetapi Zhafran menolak ijin tersebut karena yakin keadaan Elea belum sepenuhnya membaik.
Elea tak lagi mengusir keberadaan Zhafran di ruang perawatan, meski selalu menolak setipa perhatian pria itu. Memilih perawat yang menyuapinya, mengganti pakaiannya, bahkan hanya sekedar ke kamar mandi. Menganggap pria itu sebagai makhluk tak kasat mata adalah satu-satunya pilihan yang dimilikinya untuk melawan pria itu.
Pun ketika mimpi buruk membuatnya bangun di tengah malam, ia akan memanggil perawat untuk memberinya obat penenang. Dan Zhafran masih tampak begitu sabar menghadapi penolakannya tersebut. Tak sekali dua kali ia melemparkan mangkuk yang masih berisi sup panas ketika pria itu mencoba menyuapinya. Bahkan luka di pipi pria itu belum sembuh ketika ia menambahnya dengan luka bakar di punggung tangan dan kaki pria itu.
Tapi, semua luka itu jelas tak sebanding dengan apa yang sudah dilakukan pria itu padanya, kan?
“Sus Vina?” panggil Elea dari dalam kamar mandi. Mendorong pintu dan mengintip dari celah kecil di antaranya.
“Ya, Nyonya?”
“Ambilkan celana dalam satu lagi, aku menjatuhkannya.”
Sus Vina mengangguk dan berjalan ke lemari yang terletak di samping sofa, tetapi Zhafran sudah bergerak mengambil pakaian dalam Elea dan memberikan isyarat pada perawat tersebut untuk keluar dengan tatapan yang tegas.
Setelah memastikan sang perawat sudah menghilang dari balik pintu, Zhafran berjalan ke kamar mandi. Mendorong pintu kamar mandi dan melangkah masuk.
Mata Elea membelalak marah akan kelancangan Zhafran. “Apa yang kau lakukan di sini?”
Senyum tersamar di ujung bibir Zhafran. Akhirnya wanita itu bicara dengannya meski dengan nada yang tak bersahabat. “Kau butuh ini, kan?” tanyanya mengulurkan pakaian dalam Elea.
Elea hanya memandang benda itu sekilas, kemudian berjalan keluar dari kamar mandi. Mengambil celana dalamnya yang lain di tempat yang sama dan tak peduli harus mengenakannya tepat di depan Zhafran yang sudah berdiri di depan pintu kamar mandi.
Setelah berpakaian, ia mengambil tas bepergiannya atas meja dan mulai mengemasi barang-barangnya.
“Apa yang kau lakukan?” Zhafran menghentikan tangan Elea yang sudah setengah memindahkan barang-barang ke dalam tas.
“Aku sudah bicara dengan dokter. Hari ini aku akan pulang.”
“Aku tak mengatakan kau boleh pulang,” desis Zhafran tajam.
Elea menyentakkan tangan Zhafran. “Jika kau tidak ingin mengurus kepulanganku, papa dan mamaku yang akan mengurusnya untukku.” Dan tepat ketika Elea menyelesaikan kalimatnya, pintu ruangan diketuk.
“Sepertinya mereka sudah datang,” ucap Elea yang membuat wajah Zhafran pucat pasi dan tak berkutik ketika mendengar suara mama mertuanya dari balik pintu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top