38. Pil Yang Terselip

Part 38 Pil Yang Terselip

Setelah makan siang usai, Davina dan Elea membawa nampan makan siang untuk El Noah kamar tamu, yang tak mau bergabung di meja makan dengan Dirga.

“Mama sudah membujuk papamu untuk menghentikan perjodohan itu, Noah,” tambah Davina. Menggoyang lengan sang putra yang tetap bergeming menatap jendela kamar. “Papamu akan segera bicara dengan keluarga Jeremia. Sekarang kau bisa melakukan apa pun yang kau inginkan. Lagipula itu hanya sebuah perkenalan. Belum ada pembicaraan serius di antara kedua keluarga. Kenapa kau jadi sensitif seperti perempuan hamil saja?”

El Noah hanya menghela napas, menekan kesabaran terutama oleh perumpaan yang terasa dibuat-buat sang mama. Meski ia akan melakukan apa pun yang diinginkannya, tetap saja beban sebagai penerus keluarga tak bisa memberinya langkah lebih banyak. “Noah hanya butuh waktu, Ma. Lagipula di sini ada Elea. Noah juga selalu mengangkat panggilan mama setiap hari.”

“Berapa lama kau akan kembali?”

El Noah menatap Elea yang duduk di seberang meja kaca. Sang kakak hanya membuang pandangan, tak ingin ikut campur seperti biasa. Jadi ia pun hanya menggelengkan kepala.

“Kau tahu pernikahan Elea dan Zhafran juga sedang mengalami sedikit masalah, kan? Keberadaanmu …”

Elea segera menoleh ketika namanya dibawa-bawa oleh sang mama. Yang masih berusaha mencari dalih agar sang putra mau kembali pulang. “Kenapa mama harus menyangkut pautkannya dengan pernikahan Elea, Ma? Kami baik-baik saja. Keberadaan El Noah sama sekali tak menjadi masalah dengan pernikahan kami.”

Davina mendecakkan lidah dan melemparkan delikan kesalnya. “Zhafran membawamu pergi bulan yang kedua ini karena El Noah tinggal …”

“Tidak, Ma. Zhafran sudah merencanakannya bahkan jauh hari sebelum pesta ulang tahun El Noah. Dan rencana itu tak berubah. Zhafran hanya mengundurkanya karena Elea harus dirawat di rumah sakit saat ulang tahun El Noah.” Beruntung Elea mendapatkan alasan yang tepat untuk membantah sang mama.”

Mata Davina menyipit tak percaya. “Kau yakin?”

“Mama bisa menanyakan sendiri pada Zhafran.”

Davina pun hanya memanggut-manggutkan kepalanya, terpaksa menerima alasan tersebut karena kali ini sang putri mengatas namakan Zhafran. “Mama pikir dia membawa berlibur karena program kehamilan kalian,” gumamnya kemudian sambil lalu. Yang membuat Elea tersedak air liurnya sendiri.

“Ma??” panggil Elea setengah merengek.

“Kenapa? Kalia memang sedang menjalani program kehamilan, kan?”

Elea mendesah pendek. Menatap sang mama dan El Noah yang membuang muka, tak ingin ikut campur. “Elea harus pergi,” ucapnya kemudian sambil beranjak menuju pintu. Ia pikir ikut mengantar makan siang El Noah akan membuatnya terhindar terjebak di antara Zhafran dan papanya yang berbincang di ruang keluarga. Tetapi pembicaraan program kehamilan yang diungkit mamanya malah membuat suasana hatinya memburuk. Terutama dengan pil kontrasepsi yang masih rutin ia minum setiap malam setelah berhasil membujuk Zhafran untuk menunda keinginan pria itu dalam pernikahan mereka.

Anak?

Mata Elea terpejam, telapak tangannya memegang perutnya yang rata, bersamaan dengan rasa kehilangan yang seolah merobek dadanya. Menyisakan perih yang teramat.

“Kenapa?” Zhafran tiba-tiba muncul dari arah samping lorong. Mengejutkan Elea yang segera menurunkan tangan dan memutar kepala dengan cepat.

“K-kau di sini?”

Zhafran berjalan lebih dekat, memeluk pinggang Elea dan menempelkan telapak tangannya yang lain di perut sang istri. “Apa kau memikirkan sesuatu?”

Elea menurunkan pandangannya. Merasakan telapak tangan Zhafran yang bergerak mengelus dengan lembut.

“Kau memikirkan keguguranmu?”

Elea hanya menggigit bibirnya. Merasakan tumpahan kesedihan dan rasa bersalah yang mengguyur hatinya. 

“Apa yang kau pikirkan?” Elusan di perut Elea berhenti, tangannya berpindah menyentuh ujung dagu wanita itu dan mengangkatnya. “Kekecewaan terhadap kedua orang tua kami?”

Elea tak menjawab. Semua perasaan itu bercampur aduk memenuhi dadanya.

“Karena jika ya, kau tak lagi perlu memikirkannya, Elea. Cepat atau lambat, kita akan segera memberi kabar bahagia ini pada mereka.”

Mata Elea melebar. “K-kau bilang akan memberiku waktu, Zhafran.”

“Ya. Jadi apa yang baru saja membuatmu gelisah? Kecewa padaku? Marah dan benci karena malam itu meninggalkanmu?”

Elea tak mengangguk meski semua perasaan itu pernah memenuhi dadanya. Sebelum ia tahu penguntit itu ada hubungan dengan papanya, yang sekarang malah membuatnya kebingungan. 

“Aku berhak mendapatkan semua itu, Elea. Beribu kata seandainya yang memenuhi kepala dan dadaku, semua itu tidak mengubah apa pun. Tapi … kau tahu kita berdua sedang memperbaikinya.”

Elea tak mengatakan apa pun. Membiarkan Zhafran mengunci pandangannya dan menyapukan satu lumatan lembut di bibirnya. “Zhafran?”

“Hemm?”

“Bolehkah aku tahu sebanyak apa hubungan antara pria itu dan papaku?”

Kelembutan di wajah Zhafran sempat membeku. Menatap lebih dalam kesungguhan di mata Elea. Tampak mempertimbangkan sejenak. “Semuanya masih belum pasti, Elea.”

“Kalau begitu beritahu aku tentang semua yang berhasil kau dapatkan.” Ada nada mendesak dalam suara Elea yang mulai bergetar. Zhafran masih menatapnya dalam diam. Kali ini cukup lama, dan ketika bibir pria itu mulai bergerak, suara langkah dari dalam kamar tamu membuat keduanya melangkah mundur. 

“Kalian di sini?” Davina terkejut melihat Zhafran dan Elea yang masih berada di depan pintu.

Zhafran tersenyum sementara Elea hanya terdiam. 

“Kenapa? Kau baru saja mengeluh pada suamimu tentang mama?”

“Kenapa mama selalu berpikiran buruk tentangku?” kesal Elea. 

“Tidak, Ma. Kami baru saja …” Zhafran mengerlingkan mata pada sang mama mertua sambil mengusapkan ibu jari di bibirnya. 

Davina yang langsung menangkap isyarat tersebut seketika membeliakkan matanya dengan senyum semringah. “Oh ya?”

Elea seketika menoleh menyadari suara mamanya yang diselimuti keriangan. Menatap Zhafran dan sang mama yang saling tertawa kecil. 

“Kalian bisa lanjutkan di kamar. Mama harus menemui papamu.” Davina menepuk lengan atas Zhafra sembari memberikan kepalan semangat sebelum melangkah pergi. Yang membuat kerutan di kening Elea semakin dalam.

“Apa yang kalian bicarakan?”

Zhafran hanya menggeleng. “Ayo.”

“Ke mana?”

“Ke kamar.”

Elea seketika mendelik. Memangnya apalagi yang akan mereka lakukan di kamar kalau bukan saling telanjang. “A-apa?”

“Tadi mamamu bilang surung ke atas. Atau kau ingin bergabung dengan mereka di ruang keluarga? Mendengarkan desakannya yang …”

Jelas keduanya pilihan yang sulit. “Kau benar-benar, Zhafran,” sentaknya sembari menjauhkan lengan pria itu dari pinggangnya.

Hanya dua langkah Elea berhasil lolos dari lengannya, ketika detik selanjutnya ia berhasil membawa tubuh sang istri ke dalam gendongannya.

***

“Ke mana Elea?” Sejenak Dirga mengedarkan pandangannya melihat kemunculan sang istri tanpa putrinya.

Davina hanya menjawab dengan senyuman yang lebar ketika duduk di samping Dirga. “Sedang sibuk.”

Mata Dirga menyipit curiga dengan senyum terlalu lebar sang istri. Seolah menyimpan sesuatu yang begitu membahagiakan dan ia tahu tak akan menyukai apa pun itu kesibukan sang putri di tengah Zhafran yang juga tak ada di ruangan ini. “Bersama Zhafran?”

“Ck. Kau seperti tak pernah muda saja, Dirga.” Davina menusukkan sepotong apel di garpu dan mulai menggigitnya. Masih dengan senyum semringah yang melekat kuat. “Biarkan saja mereka mengurus urusan mereka dengan baik. Kita hanya perlu menyaksikan kebahagiaan pernikahan tumbuh menjadi sempurna.”

Bibir Dirga menipis keras, berusaha menyembunyikan kemarahan dari sang istri.

“Kau mau kukupaskan apel lagi?”

Dirga menggeleng dengan keras. “Kita pulang sekarang,” ucapnya sambil beranjak dari sofa.

Senyum Davina segera memudar. Berhenti mengunyah. “Sekarang?”

“Ya. Aku ada urusan mendadak.”

“Kenapa tiba-tiba begini? Kau bilang …”

“Sekarang, Davina,” tegas Dirga yang segera membungkam bantahan sang istri.

***

“Cukup, Zhafran.” Elea menggeliat lebih kuat di antara himpitan tubuh Zhafran yang semakin menekannya ke tembok. Keduanya bahkan masih berada di luar kamar dan lumatan pria itu sudah semakin panas. “Lepaskan.”

Zhafran menarik wajahnya menjauh dari cekungan leher Elea. Memudarkan gairahnya yang sudah mulai terkumpul dan menatap kegusaran sang istri. “Ada apa lagi?”

“A-aku lelah.” Kedua tangan Elea sedikit mendorong dada Zhafran yang tak lagi menekannya. “Sebelum pulang, kita sudah melakukannya dan itu tidak hanya satu kali. Lalu perjalanan pulang. Aku tak sempat istirahat dan rasanya tubuhku benar-benar lelah. Bisakah kau membiarkanku kali ini?”

Zhafran tampak mempertimbangkan. Menyadari keletihan yang menyelimuti wajah sang istri, yang memang sejak bangun tidur tidak pernah beristirahat. Bahkan ketika di helikopter, Elea juga tak bisa tidur karena merasa gelisah. “Baiklah. Masuklah ke kamar dan istirahat. Aku akan ke ruanganku.”

Elea tak berharap Zhafran akan mengabulkan keinginannya. Terutama di tengah-tengah panasnya cumbuan Zhafran. Namun ketika pria itu mundur satu langkah dan melepaskan pinggangnya, barulah ia tahu Zhafran akan berhenti. Pria itu melumat bibirnya sekali, membukakan pintu kamar untuknya sebelum berjalan pergi ke ruang kerja seperti yang dikatakan. Meninggalkannya untuk istirahat.

Elea mengempaskan tubuhnya di tempat tidur yang empuk. Menghela napas penuh kelegaan sembari menatap langit-langit kamar. Dan tiba-tiba saja pembicaraannya dan Chris sebelum pergi ke pulau muncul di benaknya.

‘Dan kau tak perlu lagi merasa bersalah, Elea. Sejak awal aku tahu kau sudah bertunangan dengan pria lain.’

‘Aku tahu kau sudah memiliki hubungan dengan pria lain dan aku masih tak mampu menghentikan laju perasaanku padamu.’

Beberapa kali pernyataan Chris berhasil memengaruhinya, di antara kesibukan panasnya dan Zhafran selama di pulau. 

‘Dari cincin pertunangan kalian.’

Elea mengangkat telapak tangannya di udara, menatap cincin pernikahan yang melingkari jari manisnya. Cincin tunangan dan pernikahan mereka tak jauh berbeda selain berliannya yang lebih besar. Lama ia hanya memandang benda berkilau, dan hanya sekilas. Ia sempat berpikir untuk melepaskan benda itu dari sana. Namun … bisakah? Ada terlalu banyak hal yang harus ia korbankan untuk benda berkilau yang sempurna indah itu. Mampukah dia?

‘Kebahagiaan dan cinta.’

Dua kata yang sedang Zhafran dambakan dalam hubungan mereka. Terasa begitu mustahil dan jauh dari angan-angannya terhadap Zhafran. 

Elea menjatuhkan tangannya ke samping tubuhnya. Bersama desahan keras dan berat yang keluar dari bibirnya. Kenapa sekarang semuanya menjadi lebih rumit? Kejujuran Chris lebih dari cukup untuk membimbangkan perasaannya yang sudah mulai mengalir pada Zhafran.

***

Elea menyadari ada yang aneh dengan pil yang baru saja ia keluarkan dari dalam botolnya. Seingatnya pil kotrasepsinya berwarna putih, tetapi … kenapa mendadak warnanya berubah merah muda. Dan lebih besar.

Elea mengintip ke dalam, matanya membelalak terkejut dan langsung menumpahkan butiran pil tersebut ke telapak tangannya. Ada beberapa butir berwarna merah muda meski lebih didominasi warna putih. Tubuhnya membeku, mencoba mengingat ketika membuka botol ini untuk pertama kali. Wajahnya seketika memucat mengingat isi pilnya yang berwarna putih.

Tak mungkin ada warna lain dalam satu botol, kan?

Kecurigaannya baru saja meruncing ketika pintu kamar didorong terbuka. Zhafran melangkah masuk dengan senyum sambutan yang hangat seperti biasa. Hari ini pria itu memang sudah mengatakan pada Elea akan pulang terlambat karena ada jamuan makan malam. 

“Hai, istriku. Kau ...”

Elea melompat berdiri dan berjalan mendekat ke arah Zhafran. Menunjukkan butiran pil di telapak tangannya dengan wajah masam yang membuat kening pria itu sedikit berkerut.

Pandangan Zhafran turun, tetapi keheranannya seketika berubah menjadi ketenangan kembali. “Kau sudah tahu.”

“Kau bilang akan mempertimbangkannya, Zhafran.” Elea melempar semua butiran itu ke arah Zahfran sehingga berhamburan di lantai. “Kau menipuku.”

“Aku tidak hanya mempertimbangkan, istriku,” koreksi Zhafran masih dengan penuh ketenangan. Bahkan dengan santainya melepaskan jas dan melemparnya ke ujung ranjang, lalu mengurai dasinya. “Aku sudah memberimu waktu.”

“Lalu apa semua ini?!” jerit Elea penuh emosi yang mendadak meluap memenuhi dadanya.

“Aku berniat menundanya selama 25 hari. Jadi … aku menukar lima butirnya dengan vitamin biasa," jawab Zhafran masih dengan penuh ketenangan. Berbanding terbalik dengan amarah berapi-api di wajah Elea.







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top