36. Bulan Madu Kedua

Part 36 Bulan Madu Kedua

Keterkejutan Elea akan pertanyaan Chris, kini semakin memucat oleh kemunculan Zhafran yang berjalan mendekat ke arahnya. Napasnya tercekat di tenggorokan dan seluruh tubuh yang menegang ketika  Zhafran menangkap pinggangnya. Menempelkan tubuh mereka dengan mesra. 

“Kau pergi terlalu lama,” bisik Zhafran tak cukup lirih ketika mendaratkan bibirnya di sisi kepala sang istri. Kemudian melirik ke arah Chris dan tersenyum singkat pada pria itu sebagai basa-basi.

“Maaf, aku baru saja akan naik.” Elea lega suaranya keluar dengan tanpa getaran sedikit pun. 

Chris yang merasa canggung, mengangguk sekali untuk berpamit. Membalikkan badan dan berjalan ke arah kamar tamu. Ujung matanya melirik ke samping karena telinganya masih sempat mendengarkan perbincangan Zhafran dan Elea. Yang mulai intim.

“Ayo. Aku tak sabar.”

“Zhafran, bukankah kemarin malam kita sudah melaku …” Kalimat Elea terbungkam oleh lumatan Zhafran.

Zhafran terkekeh, tanpa melepaskan pagutan bibir mereka. “Itulah masalahnya, istriku. Aku tak pernah berhenti tidak tergoda denganmu.”

Elea menahan dada Zhafran yang semakin merapat di tubuhnya. Karena kedua lengan pria itu menahan pinggangnya, membuatnya lebih mudah menjauhkan wajahnya dari bibir sang suami. “Jangan di sini, Zhafran.”

Senyum Zhafran melebar dengan kedua mata yang mulai dibinari hasrat. “Ya, ada dua pria yang masih berkeliaran di rumah ini. Aku tak mungkin memamerkan tubuhmu. Kita ke atas,” bisiknya dengan suara yang mulai memberat. Menyelipkan jemarinya di sela jari Elea dan membawa wanita itu naik ke kamar mereka.

*** 

Esok siangnya, Zhafran mengantar Elea ke rumah sakit dan menemani sang istri seperti yang dijanjikan. Dan Elea mau tak mau mengakui keberadaan Zhafran yang berdampak cukup banyak untuk menenangkan gejolak emosinya setiap kali kelebatan ingatan tersebut muncul di benaknya.

Zhafran satu-satunya orang yang menemukannya di atas gedung malam itu. Membuatnya tak perlu menyembunyikan rasa malu di hadapan pria itu. Dokter Setya sama sekali tak mendesaknya untuk bercerita tentang kegelisahan yang sering ia bawa ke dalam mimpi. Namun pertanyaan pria itu membuatnya mau tak mau perlahan membuka diri dengan perlahan.

“Semua barang-barang kita sudah dalam perjalanan, kita langsung ke kantorku,” ucap Zhafran ketika keduanya baru saja keluar dari ruangan dokter.

“Ke kantormu?”

Zhafran mengangguk. “Naik kapal akan memakan waktu lebih banyak. Jadi kita naik helikopter saja. Landasan hanya ada di atap gedungku.”

Dua tahu menikah dengan Zhafran, ia bahkan baru sadar pria itu memiliki helikopter. Ya, meski keluarganya pun lebih dari berkecukupan, tetap saja kekayaan keluargan Zhafran berada jauh di atas levelnya.

Perjalanan rumah sakit ke gedung kantor Zhafran hanya memakan waktu lima belas menit, keduanya langsung masuk ke dalam lift yang membawanya ke lantai teratas. Saat keluar dari dalam lift, mereka masih perlu menaiki anak tangga. Yang sempat menghentikan langkah Elea.

“Aku di sini.” Genggaman tangan Zhafran di tangan Elea semakin menguat. Ya, kejadian malam itu memang bukan di atap gedungnya. Tapi … kebanyakan atap gedung memiliki model dan tipe yang sama. 

Elea mengangguk, membiarkan Zhafran membawanya menaiki anak tangga. Begitu keduanya melewati pintu atap, angin kencang menerpa wajahnya dengan keras. Dua bodyguard Zhafran mengawal keduanya berjalan menuju helipad. Zhafran mengangkat pinggangnya untuk naik ke dalam helikopter. Mendudukkannya di salah satu kursi yang empuk. Juga memasang semua perlengkapan di telinga dan sabuk pengaman yang lebih rumit hingga berbunyi klik ringan. Menguji kekuatannya yang nyaris membuat tubuhnya tak bisa bergerak. Lalu mulai memasang peralatan pria itu sendiri.

“Berapa lama perjalanan?”

“Hanya satu jam.” Zhafran mengambil tangannya, menyelipkan jemarinya di sela jari Elea sebelum meletakan genggaman mereka di pangkuannya. Memberikan satu anggukan pada pilot sudah siap. 

Diiringi suara berderu yang cukup kencang,  helikopter mulai bergerak naik dan ke samping, pandangan Elea langsung menatap jendela kaca yang menampilkan pemandangan kota jauh di bawah sana. 

Menunggu satu jam perjalanan yang Elea habiskan lebih banyak untuk terlelap, akhirnya helikopter itu mendarat di halaman berumput yang luas. 

“Bangun, Elea.” Suara dan sentuhan lembut di pipi membangunkan Elea dari ketidaksadarannya. Kedua mata wanita itu bergerak-gerak pelan, sementara Zhafran melepaskan sabuk pengamannya, ia sibuk mengedarkan pandangan ke sekeliling helikopter yang sudah mendarat. Di sebuah halaman berumput yang luas. Hanya ada pepohonan dan langit yang biru cerah sejauh matanya memandang.

“Ayo.” Zhafran merangkul pundaknya, melindungi kepala Elea dengan lengannya dan tangan yang lain memegang lengan atas sang istri. Kemudian membawa wanita itu turun dari helikopter.

Angin kencang dari baling-baling menerpa tubuh keduanya, tetapi lilitan lengan Zhafran di tubuh Elea yang kecil menahan wanita itu untuk tidak terbang. Keduanya berjalan menjauh, menuju dua pria dan seorang wanita paruh baya yang berpakaian hitam dan putih. Menyambut kedatangan sang tuan dan nyonya.

Zhafran melepaskan lengannya dari kepala Elea begitu tubuh keduanya berada cukup jauh dari helikopter yang kini baling-balingnya sudah berputar lebih pelan. 

Elea mendongakkan kepalanya, barulah ia melihat sebuah rumah kayu bertingkat tiga yang berada tak jauh di depan mereka. Halaman berumput dan taman berbunga, juga kolam renang yang menghadap pemandangan laut yang terhampar luas di sisi kanan mereka. Saat itulah ia baru menyadari keduanya mendarat di halaman belakang yang dikeliling tembok tinggi, jauh di sana.

Begitu keduanya melangkah ke teras belakang rumah, ada lebih banyak pelayan yang menyambut mereka. Zhafran mengangguk singkat dengan sambutan semua orang, membawa Elea berjalan lebih ke dalam. Menaiki anak tangga yang lebar menuju lantai dua. Menyeberangi ruangan luas lainnya dan kembali menaiki anak tangga yang sama lebarnya ke lantai tiga.

Lantai tiga adalah satu ruangan tanpa sekat, yang dilengkapi berbagai macam perabot. Tempat tidur yang menghadap ke arah kolam renang dan laut lepas. Dengan empat tiang dan tirai berwarna putih yang bergerak-gerak diterbangkan oleh angin.

“Berapa lama kita akan di sini?” tanya Elea, melihat Zhafran yang langsung duduk di sofa. Melepaskan jam tangan dan mengeluarkan ponsel dari dalam saku lalu meletakkannya di meja.

Kepala pria itu bergerak terdongak, menatap sang istri yang berdiri di tengah ruangan.

“Belum ada lima menit kita sampai dan kau sudah bertanya kapan kita akan pulang?” Salah satu alis Zhafran terangkat dengan kecurigaan yang tak ditutup-tutupinya. 

Elea melangkah lebih dekat. “Aku hanya bertanya.”

Zhafran sedikit mengangkat pantat dan mengulurkan lengan panjangnya untuk menyambar lengan Elea yang hendak duduk di seberang meja. Menarik tubuh wanita itu ke arahnya dan mendaratkan sang istri di pangkuannya. “Sampai kau merasa lebih baik dan lebih nyaman dengan hubungan kita seperti sebelumnya.” Zhafran menjeda sejenak. Seolah ada yang kurang memuaskan dari kalimatnya. “Ah, kita butuh lebih dalam dan lebih kuat dari sebelumnya.”

Keraguan mulai menyelimuti raut Elea.

“Kau masih meragukannya?”

“Ada banyak hal yang sudah berubah, Zhafran. Kau tahu itu.”

“Tidak.” Suara Zhafran penuh ketegasan. “Keraguan itu karena dirimu sendiri. Atau …” Zhafran mengulur suaranya. Menurunkan setengah kelopak matanya dan melanjutkan. “Ada hal lain yang mendadak memperngaruhi dan meragukanmu?”

Elea merasakan ketidak nyaman di tubuhnya dengan pernyataan tersebut. Tahu benar apa yang sedang coba diungkit pria itu, yang hanya akan membuatnya tak berkutik dan semakin tersudut mengikuti aliran dalam hubungan mereka yang dipimpin oleh pria itu. Chris.

“Tidak ada hubungannya dengan Chris, Zhafran.” Elea mencoba turun dari pangkuan Zhafran, tetapi pria itu malah semakin memperdalam lilitan lengan di pinggangnya.

“Aku tak mengatakan itu adalah Chris,” seringai Zhafran tersungging lebih tinggi,  membuat tubuh Elea semakin menegang. “Tapi aku senang kau sudah menegaskan hal itu.”

Sedetik Zhafran membuat napasnya tertahan dengan keras, detik berikutnya pria itu seolah memberinya kelegaan. Yang ia tahu tak akan benar-benar menjadi sebuah kelegaan. Pria itu semakin pandai mempermainkan –bermain-main dengan- emosinya.

Tangan kanan Zhafran bergerak ke wajah Elea, merangkum sisi wajah dan mengusap bibir sang istri dengan ibu jarinya. Lalu turun ke leher, menyingkat kerah baju Elea hingga menampilkan pundak mulut wanita itu yang jenjang.

“Sepertinya kau sudah cukup tidur siang,” bisik Zhafran yang semakin mendekatkan wajahnya ke telinga Elea. Menyingkap helaian rambut wanita itu yang terurai dan ciumannya bermain-main di sana.

Wajah Elea yang tegang, kini mulai meleleh ke dalam pelukan pria itu. Sejak Zhafran menjatuhkan tubuhnya di pangkuan pria itu, ia tahu ke mana keduanya akan berakhir. 

Tangan Zhafran mulai melepaskan kancing dressnya. Melucuti pakaiannya sebelum membawanya ke tempat tidur dan telanjang bersama di sana. Membiarkan hasrat pria itu yang tak pernah berhenti menginginkan tubuhnya. Yang tak pernah ada habisnya membuat ranjang mereka selalu panas. 

*** 

Zhafran benar-benar menjadikan bulan madu kedua mereka tepat seperti yang pria itu inginkan. Keduanya berada terpencil di sebuah pulau, di dalam rumah yang hanya ada dirinya dan pria itu. Pelayan hanya datang untuk membawakan mereka makanan tiga kali sehari, membersihkan rumah di pagi hari, dan sesekali membawakan apa pun yang mereka berdua butuhkan.

Pria itu mengatur semua itu hanya karena ingin bebas menginginkan dirinya di mana pun dan kapan pun pria itu ingin. Bahkan tak jarang keduanya melakukannya di tempat yang terbuka.

“T-tunggu, Zhafran.” Elea menahan dada Zhafran yang setengah menindihnya. Tubuhnya sudah berhasil setengah ditelanjangi ketika ia berusaha menepi dari pusaran gairah pria itu karena teringat jadwal rutinnya. “Aku belum minum pilku.”

Kekesalan muncul di tengah kabut hasrat yang menyelimuti kedua mata Zhafran. Tetapi pria itu tetap menarik tubuhnya menjauh, meraih laci teratas di meja kecil dan mengambil botol pil dari dalam sana. mengeluarkan satu butir sebelum melemparnya kembali.

Elea membuka mulutnya, tangannya yang lain hendak meraih gelas di tangan pria itu. Namun Zhafran malah mengambil satu tegukan penuh, meletakkan gelas kembali ke meja sembari mendekatkan wajah ke arahnya. Ia tak sempat terkejut, ketika Zhafran memaksanya membuka mulut. Mencium sekaligus memindahkan air putih itu ke mulutnya.

Dan selanjutnya, hasrat pria itu yang terbendung lagi berhasil di lepaskan di tubuh sang istri. Untuk kesekian kalinya hari ini.

*** 

“Kau berjanji akan memberikan ponselku setelah empat hari, Zhafran. Dan ini hari keenam. Besok kita pulang.” Pagi itu Elea mencecar sang suami saat keduanya makan pagi bersama di samping kolam renang.

Sejak kemarin, pria itu terus menundanya. Setiap kali Elea mengingatkan, Zhafran akan langsung menciumnya. Dan ciuman pria itu tak pernah berakhir singkat. Dan setelah tubuh keduanya berkeringat, kalau bukan dirinya yang tertidur, Zhafranlah yang terlelap. Jadi kali ini Elea memastikan Zhafran tak akan membodohinya lagi. Ada banyak pelayan yang sedang membersikan setiap sudut rumah, jadi pria itu tak akan menidurinya di meja ini.

“Ck, memangnya siapa yang begitu kau rindukan? Suamimu ada di hadapanmu, Elea.” Zhafran menyuapkan sepotong waffle ke mulutnya setelah melirik ke samping kanan dan kiri. Tahu benar Elea menggunakan kesempatan makan pagi ini untuk menghindari aktifitas panas yang sudah dua hari ini berhasil ia gunakan untuk mengalihkan keinginan sang istri.

“Aku harus menghubungi papaku. Kau sengaja tidak mengabari papaku, kan?”

Zhafran sama sekali tak menyangkal tuduhan itu. Memang itulah tujuannya. Ia juga sudah memastikan pada El Noah untuk tak mengatakan apa pun jika saya Banyu Dirgantara begitu cemas dan datang ke rumah mereka.

“Berikan.” Tangan Elea terulur. “Kau sudah berjanji, kan?”

Zhafran menatap telapak tangan Elea. “Setelah kita selesai makan.”

“Tidak.” Elea menggelengkan kepala dengan mantap. “Katakan di mana, aku akan mengambilnya sekarang.”

Zhafran menghela napas rendah, menatap kekeras kepalaan sang istri dan menyerah. “Di laci nakas. Paling bawah.”

Elea pun gegas beranjak. Masuk ke dalam rumah dan langsung naik ke lantai tiga. Memeriksa laci paling bawah di sisi kanan dan menemukannya di sisi lain. Ia baru saja menyalakan ponselnya, sempat melihat deretan panggilan tak terjawab dari papanya ketika kedua lengan yang memeluknya dari belakang menjatuhkannya di tempat tidur yang empuk.

“Kau sudah mendapatkannya. Sekarang giliranku,” bisik Zhafran di bibir Elea. Yang kemudian melumat bibirnya dengan penuh gairah. Membuat Elea lagi-lagi tak berdaya dengan keinginan Zhafran ketika pria itu melepaskan ponsel di tangannya menjauh dari keduanya.

**** 

Hufffttttt …

Butuh kipas

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top