32. Kebahagiaan Dan Cinta

Part 32 Kebahagiaan Dan Cinta

Tangan Elea gegas terulur, memegang gagang pintu dan mendorong pintu ruang kerja papanya setelah mengetuk dua kali. Mencoba tak menggubris apa yang baru saja singgah di hatinya.

Di dalam, Dirga sempat terkejut dengan kemunculan sang putri yang tiba-tiba tanpa janji temu. “Elea?”

Elea menyeberangi ruangan, memasang senyum semanis mungkin mendekati sang papa yang beranjak dari kursi untuk menghampirinya.

“Kenapa tidak memberitahu papa akan datang?” Dirga membawa tubuh mungil Elea ke dalam pelukannya, mendaratkan kecupan singkat di ujung kening. “Bisa saja papa memiliki janji temu. Akhir-akhir ini papa memiliki jadwal yang cukup padat.”

“Maaf. Apakah sekarang Elea mengganggu …”

“Tidak, sayang. Kau tak pernah mengganggu papa.” Dirga membawa sang putri duduk ke sofa panjang. “Kau ingin minum?”

“Air putih saja.”

Dirga mendekati mejanya, menekan tombol di intercom dan meminta sekretarisnya untuk membawakan minuman dan beberapa camilan. “Kau bertemu Chris di depan?” tanyanya begitu duduk di sofa tunggal.

Elea mengangguk. Meletakkan tasnya di meja dan menghadapkan tubuh pada sang papa. “Elea tak tahu papa akan memiliki urusan dengannya. Bukankah pesta El Noah sudah selesai?”

Dirga hanya mengangguk. Mengiyakan pertanyaan Elea tanpa benar-benar menjawab pertanyaan tersebut. “Kalian sering bertemu. Apakah hubungan kalian baik-baik saja?”

Kerutan tersamar di antara kedua alis Elea dengan pertanyaan sang papa yang setengah frontal sekaligus mengejutkannya. “M-maksud papa? Hubungan seperti apa yang papa tanyakan?”

Dirga tak langsung menjawab. Matanya sedikit menyipit, membaca lebih dalam ekspresi sang putri. “Hubungan pertemanan kalian tentu saja. Apakah ada hubungan lain selain itu?”

Elea bernapas, lalu menggeleng. “Ya, pertemanan kami baik-baik saja.”

Ujung bibir Dirga tersenyum. Tangannya bergerak naik, bertopang dagu dengan perhatian sepenuhnya berpusat pada sang putri. “Apakah hubungan kalian benar-benar sudah selesai?”

Elea mulai merasa tak nyaman dengan pertanyaan sang papa yang lebih dalam. Seketika menyesali keputusan untuk datang ke tempat ini demi meluruskan kesalah pahaman Zhafran. Rupanya semua ini memang bukan kesalah pahaman. Papanya jelas memiliki niat terselubung terhadap Chris di tengah pernikahannya dan Zhafran yang memang sedang tidak baik-baik saja. “Ya, Pa. Tentu saja. Lagipula semua itu sudah lama berlalu.”

“Dan hubungan kalian tetap baik-baik saja?”

“Kami memang sepakat menyelesaikan semuanya dengan baik-baik saja.”

“Meski dia tahu kau berselingkuh dengannya?”

Elea menjilat bibirnya yang mendadak kering, memaksa kepalanya mengangguk. 

“Sepertinya dia memang sangat mencintaimu, ya?” Senyum Dirga naik lebih tinggi. “Bagaimana denganmu?”

Napas Elea kembali tertahan, tubuhnya bergerak tak nyaman dan tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan sang papa. Beruntung di tengah keheningan yang sempat tercipta, dipecahkan oleh suara ketukan pintu. Sekretaris papanya melangkah masuk dengan nampan berisi gelas minuman dan piring kue. Elea menggunakan kesempatan tersebut memikirkan jawaban untuk sang papa. “Elea sudah menikah, Pa.”

Dirga mengangguk, menyandarkan punggung di sandaran sofa tanpa melepaskan pandangan dari kedua mata sang putri. “Ya, tentu saja papa tahu. Papa hanya penasaran dengan perasaanmu pada Chris. Saat ini. Kau tahu, papa pernah muda. Terkadang ada beberapa perasaan yang sulit dilepaskan di dalam sini.” Telapak tangannya menyentuh dada. “Apalagi kau memutuskan hubungan dengan pria yang kau cintai karena papa.”

Elea terkejut sejenak.

Dirga mendecakkan lidahnya. “Insting seorang papa, Elea. Kau pikir papa tidak tahu kau melakukan semua itu karena papa.”

“Elea sama sekali tak bermaksud apa pun. Papa tak perlu menyesali apa pun. Semua ini keputusan Elea seorang diri. Tanpa ada tekanan.”

Senyum Dirga melengkung lebih lebar. “Hm, papa tahu. Kau hanya sangat menyayangi papa. Hingga rela melepaskan cintamu.”

Elea tak bisa menyangkal fakta tersebut. Ia mencoba melepaskan Chris dari hatinya demi papanya. Melanjutkan pertunangannya dan menikah dengan Zhafran pun demi kebahagiaan papanya. 

“Papa pikir Zhafran adalah kandidat terbaik yang akan menjadi pasanganmu. Tapi … rupanya papa hanya tak ingin melihat lebih banyak pilihan untuk memberikanmu yang terbaik.”

“T-tidak, Pa.” Elea menggelengkan kepalanya dengan cepat. Sebelum kesalahan pahaman ini semakin melenceng. Zhafran tak pernah seserius ini ketika mengatakan sebuah ancaman. “Mungkin Elea pernah mencintainya. Namun, pernikahanku dan Zhafran, itu bukan sebuah kesalahan.”

Senyum Dirga membeku, mempertajam penglihatannya. Menelisik lebih jauh emosi di kedua mata sang putri. Yang belum pernah seserius dan sedalam ini.

“Ya, pernikahan kami dimulai dengan sebuah perjodohan. Sempat ada keterpaksaan ketika Elea harus melanjutkan pernikahan kami. Juga keraguan karena hubungan Elea dan Chris yang menjadi lebih serius seiring kedekatan dan interaksi kami berdua. Saat Elea memutuskan untuk kembali melanjutkan pertunangan kami.” Elea menatap lurus kedua mata sang papa. Meyakinkan seorang Banyu Dirgantara dengan instingnya ayahnya yang begitu kuat terhadapnya. “Ya, Elea mendengar saat itu ada masalah dengan perusahaan dan Elea memutuskan hubungan kami secara sepihak. Karena papa. Akan tetapi, seiring dengan hubungan Elea yang juga semakin dekat dengan Zhafran. Keterikatan kami yang semakin menguat dengan berjalannya waktu dalam pernikahan kami. Elea sama sekali tak pernah memikirkan ataupun membayangkan bahwa pernikahan kami akan berakhir.”

Lama Dirga bergeming, mendengarkan setiap patah kata sang putri yang diucapkan dengan penuh ketenangan. Begitu lancar dan keluar begitu saja layaknya sebuah kejujuran. “Kau tak menolak ketika papa mengatakan akan mengurus perceraianmu. Beberapa hari yang lalu.”

“Ada kesalah pahaman …”

“Atau Zhafran mengancammu? Menggunakan perusahaan papa? Atau  ….” Mata Dirga menyipit lebih tajam. “El Noah mungknin?”

Elea mengerjap sekali. Menguasai ekspresi wajahnya dengan apik meski kegelisahan kebohongannya akan tertangkap basah oleh sang papa. Beruntung tak ada riak emosi apa pun di permukaan wajahnya. Ia menggeleng dengan pelan. “Tidak, Pa. Elea … hanya ingin memberi kesempatan bagi kami berdua untuk memperbaiki pernikahan ini.”

“Apa yang dilakukannya padamu malam itu tidak termaafkan, Elea. Jika saja malam itu dia tidak meninggalkanmu demi wanita …”

“Bukankah papa bilang penguntit itu tidak ada hubungannya dengan Zhafran?”

Mulut Dirga yang tak sempat menyelesaikan kalimatnya seketika merapat. Menjilat bibirnya dengan kegusaran yang mulai merambati hatinya.

“Papa bilang dia tidak mengkhianati kesepakatan keluarga kita, kan? Bukankah seharusnya papa juga melakukan hal yang sama?”

Dirga memajukan tubuhnya. “Tapi ini hal yang berbeda, Elea. Papa hanya menginginkan kebahagiaanmu.”

Elea mengangguk. “Terima kasih. Elea tak akan berhenti berterima kasih untuk semua hal yang sudah papa berikan pada Elea sepanjang hidup ini. Elea sudah lebih dari cukup berbahagia dengan semua hal yang telah papa berikan. Termasuk pernikahan ini.”

Mulut Dirga membuka, hendak mengoreksi –membantah- kata-kata sang putri. Namun keseriusan Elea membuatnya kembali menelan apa pun yang sudah sampai di ujung tenggorokannya.

“Papa juga bilang kalau pernikahan kami bukan hanya tentang kesepakatan bisnis, kan? Mama dan papa Zhafran menyayangi Elea seperti putri kandungnya sendiri. Begitu pun sebaliknya. Jadi, Elea minta. Jangan ada kesalah pahaman apa pun lagi tentang masa laly Elea yang sudah jauh tertinggal di belakang pernikahan kami saat ini.”

Dirga kembali menyandarkan punggungnya di sandaran sofa, dengan desahan kasar yang lolos dari mulutnya. “Kau yakin dengan apa pun yang kau katakan?”

Elea memastikan sang papa menatap kedua matanya. Meyakinkan papanya mendengarkan jawabannya dengan baik. Bersamaan dengan ancaman Zhafran yang kembali terputar di benaknya. ‘Aku hanya mengantisipasi pengkhianatan yang sedang papamu rencanakan. Demi kebaikan kedua keluarga. Demi kebaikan kita bersama.’

“Ya, Pa. Kami sedang berusaha memperbaiki pernikahan kami.”

Sekali lagi Dirga menghela napas dengan gusar. Menatap kedua mata Elea yang sama mantapnya ketika ia sudah memutuskan sesuatu. Yeah, buah jelas jatuh tak jauh dari pohonnya, kan?

“Oke. Papa juga akan memberinya kesempatan. Jika Zhafran tidak menggunakan kesempatan ini sebaik mungkin, maka papa akan melakukan apa yang menurut papa terbaik untukmu. Meski kau terlihat begitu meyakinkan seperti ini, di kesempatan lain hal ini tak akan berlaku lagi.”

Elea tak yakin untuk mengangguk, tetapi kepalanya bergerak turun naik demi meyakinkan sang papa secara sepenuhnya. Tak yakin apa yang terbaik yang akan dilakukan papanya untuknya.

*** 

Tepat ketika Elea baru saja memasuki lift ketika ponselnya berdering. Menampilkan nama Zhafran di layarnya. Sempat ada keraguan pria itu mengetahui kunjungannya ke sini, yang ternyata memang benar.

“Jadi apa yang dikatakan papamu?” Zhafran sama sekali tak membuang sedetik pun untuk berbasa-basi seperti yang biasa pria itu lakukan dengan menanyakan kabarnya. “Apakah memang hanya kesalahpahaman seperti yang kau katakan?”

Setidaknya Elea merasa beruntung Zhafran menghubunginya lewat ponsel. Sehingga pria itu tidak langsung berhadapan dengannya. Tidak bisa melihat wajahnya secara langsung. Ia hanya perlu memastikan suaranya terdengar meyakinkan, tanpa getaran sedikit pun. “Ya, Zhafran. Tentu saja. Seperti yang harapkan, semua ini hanya kesalah pahaman. El Noah tak benar-benar tahu apa yang dibicarakan.”

Elea menunggu respon dari sang suami. Ia bahkan bisa membayangkan dengan jelas seringai yang tersungging di ujung bibir pria itu ketika mendengar jawabannya. Sembari menilai jawaban yang sudah diberikannya.

“Hmm, oke. Aku akan mempercayaimu,” jawab Zhafran setelah beberapa detik.  Ada senyum yang terselip di antara suara pria itu. “Dan ... kuharap apa yang kulihat ketika kau akan masuk ke ruangan papamu juga kesalah pahaman, Elea.”

Mata Elea membeliak terkejut, telapak tangannya membekap kesiap yang nyaris terdengar ke seberang. Tak mengejutkan jika Zhafran mengetahui kunjungannya di gedung ini, tetapi … bagaimana mungkin pria itu mengetahui sedetail ini? Hingga tahu pertemuannya dan Chris yang tak sengaja. “A-apa maksudmu?”

“Kau tahu apa yang kubicarakan.”

Elea menelan ludahnya. “Ya, Zhafran. Semua itu hanya kesalah pahaman.”

“Oke. Aku akan percaya padamu.”

Elea tak yakin apakah kali ini Zhafran mengatakan yang sejujurnya. Pintu lift bergeser terbuka dan ia melangkah keluar. Napasnya seolah kembali, seolah dadanya baru saha terhimpit karena berada di ruangan yang sempit, tetapi ruangan itu sama sekali tak ada hubungan dengan perasaannya.

“Aku ingin makan siang denganmu. Katakan pada sopirmu untuk membawamu ke sini.”

“M-makan siang?”

“Ya, kau keberatan?”

“T-tidak. Tentu saja tidak. T-tapi …” Elea berhenti sejenak. “Kenapa kau tiba-tiba ingin makan siang denganku?”

“Kenapa? Kau tak suka aku tiba-tiba ingin makan siang denganmu?”

Elea menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak seperti itu, Zhafran.”

“Hmm, ita sedang mencoba memperbaiki hubungan pernikahan kita, kan? Kupikir kita harus sering meluangkan waktu untuk bersama. Aku percaya, kebahagiaan dan cinta tak mungkin bisa kita dapatkan tanpa melakukan apa pun, kan?”

Langkah Elea mendadak terhenti. Di tengah lalu lalang lobi yang luas. Benaknya mengulang kalimat terakhir Zhafran yang berhasil mengena di dadanya. “A-apa?”

“Sejak semalam aku banyak berpikir. Tentangmu, tentangku. Tentang kita berdua dan pernikahan ini. Apa yang kuinginkan darimu, dari pernikahan kita. Dan berapa kali aku memikirkannya, hanya satu hal yang kita butuhkan dalam pernikahan kita. Kebahagiaan dan cinta.”

Elea bertegun di tempatnya berdiri. Ia sudah terbiasa dengan semua perhatian, sikap lembut dan kasih sayang Zhafran padanya sebagai seorang suami. Namun, apa yang diinginkan pria itu kali ini lebih serius dari keinginan pria itu mempertahankan dirinya dalam pernikahan mereka.

“A-apakah kebahagiaan yang kau maksud itu adalah … anak?”

“Hmm, salah satunya.”

Jawaban ringan dan tenang Zhafran membuat Elea sekali lagi terkesiap terkejut. “B-bukankah tadi pagi kau bilang …”

“Ya, aku akan mempertimbangkannya.”

Elea terdiam. Melanjutkan langkahnya menuju pintu utama dan melihat sopirnya sudah membukakan pintu mobil untuknya.

“Cepatlah kemari. Aku merindukanmu.”

Sekali lagi kata-kata Zhafran membuatnya terkejut, membuatnya langkahnya tersendat. Sepanjang hubungan mereka, ini pertama kalinya Zhafran mengatakan kalimat tersebut. “A-aku harus menutup panggilanmu, Zhafran. Sopir sudah menungguku,” ucapnya dalam sekali tarikan napas. Lalu menurunkan ponsel dari telinga. Menghela napas keras seolah paru-parunya baru saja diremas dengan keras.

‘Aku merindukanmu.’

Ya, tidak mungkin Zhafran mengucapkan kalimat itu secara tiba-tiba. Karena mendadak muncul dari dalam hati pria itu. Zhafran mengucapkannya pasti dengan suatu alasan.

Kebahagiaan dan cinta?

Merindukanku?

Apakah ada rencana terselubung yang sedang coba dirancang oleh Zhafran?

Dan rupanya, tak hanya semua kata-kata Zhafran yang mengejutkannya. Ketika ia sampai di restoran yang dipesan Zhafran untuk makan siang mereka, pria itu menyambutnya dengan lengan terbuka dan senyum yang begitu lebar. Memeluk tubuh dan langsung menyambar satu lumatan lembut di bibirnya. Sambutan mesra tersebut tentu saja membuat Elea merasa waspada, oleh sesuatu yang tak diketahuinya.

Tak hanya buket besar bunga mawar merah yang dihadiahkan oleh pria itu. Sepanjang makan siang pun, Zhafran seolah mencurahkan seluruh perhatian dan kasih sayang pria itu secara habis-habisan. Sebanyak-banyaknya. Membuat Elea kewalahan menghadapi sang suami.

Semua menu makanan yang disiapkan, adalah makanan yang Zhafran tahu kesukaannya. Dan karena tempat duduk pria itu yang digeser berada di sampingnya, memudahkan Zhafran untuk menyuapinya. Mengusap sisa makanan di ujung bibirnya, dan mendekatkan apa yang ingin diambilnya.

Puncak dari semua kejutan yang diberikan oleh pria itu adalah ….

"Ada sesuatu yang belum kuberitahu padamu," ucap Zhafran tiba-tiba ketika Elea menyesap minumannya. "Aku sudah memikirkan sejak lama, tapi aku baru selesai mengatur semuanya tadi. Sebelum kemari."

Elea menurunkan gelas dari bibirnya. Memasang telinganya baik-baik sambil menunggu Zhafran melanjutkan kalimatnya. "A-apa itu?"

"Setelah janji temu kita dengan psikiatermu besok siang, kita akan langsung ke bandara."

Kedua alis Elea bertaut, dengan kecurigaan yang semakin memadat di dadanya. "B-bandara?"

"Hmm," gumam Zhafran dengan satu anggukan mantapnya. Meraih tangan Elea dan menggenggamnya kuat. "Kita akan berbulan madu."

Uhuukkk…

Elea tersedak keterkejutannya sendiri. Tetapi segera memperbaiki pernapasannya sesingkat mungkin. "B-bulan madu?" deliknya tak percaya.

"Well, bulan madu kedua, maksudku. Kita butuh memperbaiki suasana dalam pernikahan kita, kan? Kupikir ini ide yang sangat cemerlang, di tengah hubungan kita yang mendadak canggung. Jadi, kita akan pergi ke pulau pribadi milik papaku. Berdua."

Sekali lagi Elea mendelik, tersedak liurnya. "Hanya berdua?" ulangnya tak percaya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top