3. Duka Yang Dalam

Part 3 Duka Yang Dalam

“Keguguran?” Suara Zhafran tercekik di tenggorokan. Di antara semua keterkejutan yang datang silih berganti, yang terburuk dari yang terburuk kini datang bersamaan. Karena kekerasan seksual yang dialami sang istri, Elea mengalami keguguran. Nyaris kehabisan darah jika tidak terlambat datang menemukan wanita itu dan membawanya ke rumah sakit.

Dadanya serasa dikoyak dengan keras, sebelum kemudian jantungnya dibetot dengan cara yang paling buruk yang tak pernah terbayangkan akan di hidupnya. Dadanya kesulitan bernapas, dan ia berharap udara di paru-parunya direnggut paksa.

Ia tak bisa menghadapi penyesalan terlalu besar ini seorang diri. Yang menggerogoti hidupnya dengan perlahan, hingga ia berharap lebih baik mati saja. Namun, bagaimana dengan Elea? Istrinya mengalami mimpi buruk ini karena dirinya. Ia tetap meninggalkan Elea meski wanita itu sudah memohon. Melakukan segala cara untuk mendapatkan seluruh perhatiannya. Tetapi ia dibutakan oleh perhatiannya terhadap wanita lain yang memuatnya mengabaikan semua sikap Elea tak lebih dari kemanjaan wanita itu.

Ya, memangnya apa salahnya kalau Elea bersikap manja padanya? Ia adalah suaminya. Bukankah ia yang lebih bertanggung jawab atas hidup sang istri dibandingkan siapa pun? Kata-kata itu menampar keras kesadaran Zhafran. 

“T-tuan? Anda baik-baik saja?” Dokter laki-laki tersebut maju ke depan, memegang lengan Zhafran yang hendak limbung ke belakang.

Zhafran mengangguk. Merasakan air mata jatuh meleleh kepipinya. Sang dokter membimbingnya duduk di kursi panjang. Mengisyaratkan pada perawat untuk membawakan minum.

“L-lalu bagaimana keadaan istri saya, Dok?” Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Zhafran berusaha mendengarkan. Dan semakin ia mendengarkan, jantungnya serasa diremas habis-habisan. Hancur sehancur-hancurnya dan membunuhnya secara perlahan.

Usia kandungan Elea sudah menginjak minggu ke sembilan. Bahkan ternyata Elea sudah memeriksakan kandungan tersebut pada ginekolog yang juga ikut menangani wanita itu di ruang operasi.

Ya, akhir-akhir ini selain mengeluhkan tentang pesan singkat dari penguntit tersebut, Elea juga sering mengeluhkan badannya yang tidak sehat. Tapi ia hanya menyuruhnya istirahat dan minum obat karena Elea menolak dipanggilkan dokter.

Setelah dokter berpamit pergi dan meninggalkan Zhafran dengan sebotol air mineral yang tak disentuhnya di sampingnya. Pria itu hanya duduk tercenung untuk waktu yang sangat lama. Elea sudah dipindahkan di ruang perawatan, masih belum sadar meski dokter mengatakan semuanya sudah ditangani dengan baik.

Kepalanya tertunduk dalam, dengan kesepuluh jemari yang tenggelam di rambut panjangnya yang kusut. Mencengkeramnya kuat-kuat tetapi tak ada rasa sakit yang bisa ia rasakan selain dadanya yang berdenyut nyeri di setiap detiknya.

Air matanya jatuh, membasahi kedua kelopak matanya dan tak berhenti menetes. Ia sendiri tak berusaha menghentikan laju emosi di dadanya. Membiarkan dirinya tenggelam menikmati setiap rasa sakit tersebut. Semua salahnya. Sebanyak dan sebesar apa pun penyesalan yang menyesakkan dadanya, tak dapat merubah apa pun yang sudah terjadi pada Elea.

Selama tiga hari, Elea masih berbaring di tempat tidur dengan mata yang terpejam. Bekas-bekas lebam yang ada di kulit wanita itu mulai menggelap dan semakin jelas. Zhafran kesulitan menahan bendungan air matanya setiap kali membersihkan dan mengganti pakaian wanita itu di pagi dan sore hari. Di hari ketujuh, wanita itu masih begitu tenang yang semakin menyesakkan Zhafran. Dokter pun tak bisa berbuat banyak karena Elea sendiri yang enggan bangun.

“Ya, marahlah sesukamu padaku. Aku akan menerimanya semuanya. Aku tak akan mengeluhkan bagaimana caramu menyiksaku untuk membalas semua keberengsekanku padamu. Hanya saja … bangunlah, Elea.” Wajah Zhafran tertunduk, mendaratkan bibirnya di punggung tangan Elea. Tepat di tempat cincin pernikahan tersemat di jari manis wanita itu yang pucat. “Kumohon, bangunlah.”

Hanya ada kesenyapan yang menjawab permohonannya. Seperti permohonannya sebelum-sebelumnya yang tak ingin didengar oleh sang istri.

Suara ketukan pintu memecah kesunyian tersebut. Zhafran mengangkat kepalanya, mengusap ujung mata yang basah sebelum beranjak menuju pintu.

“Kau mendapatkan sesuatu?”

Soni, kepala pengawalnya itu mengangguk. Zhafran melangkah keluar dan melihat seorang pria itu mengenakan jaket kulit berwarna coklat tua berdiri di ujung lorong.

“Siapa dia?”

“Jacob. Yang membantu penyelidikan saya. Ada sesuatu yang perlu Anda ketahui.” Soni memberi jeda sejenak. “Kami menemukan sesuatu di gedung perkantoran tuan Dirgantara.”

Kening Zhafran berkerut dalam ketika Soni mengungkit tempat Elea ditemukan. Siapa pun dalang di balik perbuatan keji ini terhadap istrinya, mengharapkan Elea mati karena kehabisan darah. Petunjuk yang dikirim penguntit itu mengarahkannya ke gedung perkantorannya, tetapi beruntung instingnya bekerja dengan baik dan tak langsung menerima informasi tersebut mentah-mentah. Sang penguntit tak secerdik itu ketika salah satu gedung di dekat gedung sang mertua tertangkap dalam hasil gambar tersebut, yang bukan di area gedung perkantorannya.

“Apa yang kau temukan?” tanya Zhafran ketika sudah berhenti tepat di depan pria bernama Jacob. Satu-satunya detektif bayaran yang memasang tarif paling tinggi karena kinerjanya yang tak perlu dipertanyakan lagi.

***

Pagi itu, Zhafran dibangunkan oleh gerakan tangan Elea yang berada dalam genggamannya. Kepalanya segera terangkat, kedua matanya berkedip beberapa kali menatap jemari tangan Elea yang bergerak-gerak. Ini bukan hanya mimpi, jemari itu bergerak-gerak di atas telapak tangannya.

Suara erangan pelan terdengar, pandangan Zhafran bergerak ke wajah Elea. Melihat kedua mata Elea yang juga bergerak-gerak pelan, berusaha membuka pandangan. Dan ketika kedua mata Elea terbuka sepenuhnya, untuk sejenak wanita itu masih terdiam. Tengah menatap langit-langit yang putih ketika keberadaan sosok lain di sisi ranjang berhasil mengalihkan perhatiannya.

“Kau sudah bangun?” Suara Zhafran terdengar begitu lirih. Tenggorokannya tercekat dengan keras, menahan air mata yang mulai mengumpul di ujung matanya.

Elea hanya terdiam, menatap wajah Zhafran lama, ketika ingatan itu menghantam kepalanya dengan keras. Membuatnya menyentakkan tangan Zhafran, kemudian melompat terduduk dan beringsut menjauh sambil menjerit histeris. “Pergi kau!”

Zhafran sudah memberikan reaksi Elea ketika bangun dan melihat dirinya. “Tenanglah, Elea.”

“Semua karena kau. Pergi kau. Aku tak ingin melihatmu.” Elea tersedak tangisannya. Menjerit sekuatnya dengan air mata yang semakin membanjir.

Zhafran bangun, sambil memencet tombol di sisi ranjang lalu menghampiri sang istri yang kini hendak melompat turun dari ranjang. Tetapi kaki terserimpet selimut, Zhafran segera menangkap pinggang Elea sebelum wanita itu jatuh dengan kepala lebih dulu ke lantai.

Elea memekik keras, dan ketika menyadari Zhafran yang memeluknya, tubuhnya kembali meronta dengan keras. Menendang dan bergerak ke segala arah demi lepas dari kedua lengan Zhafran.

“Tenanglah, Elea. Tanganmu terluka.” Zhafran menahan pergelangan tangan kanan Elea, tempat jarum infus dipasang dengan darah yang mulai mengisi selang infus karena terlalu banyak bergerak.

“Aku membencimu, Zhafran. Aku sangat membencimu! Aku ingin kau mati saja! Aku membencimu hingga rasanya aku ingin mati saja!” Jeritan Elea semakin tak terkendali. Memenuhi seluruh ruangan.

Pintu terbuka dan dokter melangkah masuk. Situasi segera terkendali begitu obat penenang berhasil disuntikkan pada Elea.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top