28. Konspirasi Sang Mertua

Part 28 Konspirasi Sang Mertua

Elea terdiam, ia pun tak bisa menjawab pertanyaan sang adik.

“Kalian terlihat memiliki pernikahan yang sempurna, Elea. Tapi matamu, matamu mengatakan hal lainnya. Dan jangan bilang pernikahanmu hanya untuk memuaskan papa kalau pilihannya adalah yang terbaik dan tepat untukmu.”

“Kau mendengar papa akan menceraikan kami, karena berpikir Zhafran telah mengkhianati kesepakatan perjanjian. Dan kau tahu kesepakatan pernikahan kami bukan hanya tentang pekerjaan, Noah.”

El Noah membuka nutup mulutnya, tak bisa menyangkal pernyataan tersebut meski masih ada yang mengganjal. “Lalu tentang apa semua ini.”

“Pernikahanku dan Zhafran hanya akan menjadi urusan kami.”

“Jadi tentang apa semua ini?”

Elea tak menjawab, ia sendiri tak tahu harus menjawab apa. Satu-satunya hal yang ia tahu, saat ini Zhafran adalah suaminya. Apa yang ada dan apa yang akan terjadi dalam pernikahan mereka, ia sendiri masih belum menemukan jawaban apa yang diinginkan.

Keduanya terdiam selama beberapa saat.

“Setelah lima tahun dan sekarang kau kembali bertemu dengan Chris, apa kau masih mencintainya?”

Wajah Elea berputar, menatap sang adik dengan kedua alis yang menyatu. “Apa maksudmu, Noah?”

El Noah mengedikkan bahunya. “Tidakkah kau merasakannya, tatapannya padamu sama sekali tak berubah setiap kali melihatmu, Elea. Dia masih mencintaimu. Bukankah kau juga mencintainya?”

Mata Elea segera mendelik dan maju untuk membungkam mulut sang adik. “Apa yang kau katakan, Noah,” sergahnya dengan pelototan yang sempurna.

“Auwww …” El Noah mengerang, membuat Elea segera menarik tangannya mundur dengan penuh penyesalan.

“Kau baik-baik saja?”

Di balik gorden, langkah Zhafran yang hendak mencapai bilik El Noah segera terhenti. Wajahnya mengeras dengan apa yang tertangkap telinganya. Dan semakin ia mendengarkan lebih banyak, raut wajahnya semakin menggelap.

“Jaga kata-katamu. Apa kau sudah gila?”

“Apakah aku salah? Kau memang mencintainya, kan?”

“Pernah,” koreksi Elea dengan galak.

“Yakin hanya pernah? Kau tampak lebih sering tersenyum ketika bersamanya dibandingkan ketika bersama suamimu sendiri.”

Elea menelan ludahnya, keraguan mulai merayap di dadanya. Tapi ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa tak butuh masalah lainnya dalam pernikahannya dan Zhafran. “Aku tak tahu apa yang kau katakan, Noah. Sebaiknya kau diam sebelum Zhafran mendengarmu dan membuatku berada dalam masalah.”

“Ck, kau tahu, beberapa hari yang lalu papa bertemu Chris.”

“Apa? Papa apa?”

“Tidakkah kau memikirkan sesuatu tentang ini?”

Kerutan di kening Elea semakin dalam. “Itu pasti hanya tentang pesta ulang tahunmu, Noah. Kau tahu Chris memegang …”

“Setelah pestaku,” potong El Noah dengan mantap. “Lagipula mama yang sudah mengurus semua tentang acara pestaku.”

Elea terdiam, meski keheranan mulai memenuhi benaknya. Seingatnya, papanya tak pernah menentang hubungannya dan Chris. Bahkan ketika bertemu di pesta beberapa minggu yang lalu, papanya menyambut pria itu dengan hangat. Mungkinkah …

“Tak ada urusan apa pun antara Chris dan papa selain tentangmu, Elea. Mungkinkan ini ada hubungannya dengan rencana perceraianmu?”

Elea tampak berpikir sejenak. “Tidak mungkin, Noah. Zhaf…”

Zhafran tak tahan lagi mendengar konspirasi sialan untuk mengkhianatinya tersebut. Ia sengaja menyentakkan langkahnya, menghentikan kalimat penyangkalan Elea yang malah terdengar seperti keraguan di telinganya. Seolah ada harapan yang terselip di dalam hati wanita itu untuk berpisah darinya.

Tidak. Ia tak akan membuat wanita itu tergelincir sedikit pun dari genggamannya. Bahkan memikirkan 0,001 persen keberhasilan rencana itu pun, tidak! Ia akan memusnahkan sedikit pun harapan tersebut. Hangus tanpa sisa.

Tangannya bergerak membuka gorden, memasang raut wajahnya seapik mungkin menatap ketegangan di wajah kakak beradik tersebut. “Kenapa kalian tampak pucat? Apakah pembicaraan kalian belum selesai?”

El Noah hanya mengedikkan bahu singkat dan menghindari bertatapan lebih lama dengan sang kakak ipar, sementara Elea menggeleng dengan cepat. Bernapas keras dengan tanpa suara ketika menjawab, “K-kau sudah selesai mengurus semuanya?”

Zhafran mengangguk. “Setelah infusmu habis, perawat akan memindahkanmu,” ucapnya pada El Noah. “Apa kau memiliki keluhan? Pusing atau sakit di bagian tertentu? Dokter bilang sudah memberimu obat pereda rasa sakit. Mungkin tidak bekerja dengan baik?”

El Noah menggeleng. “Terima kasih sudah membantuku, Zhafran,” ucapnya setenang mungkin. Ujung matanya melirik wajah sang kakak yang semakin pucat.

“Bukan apa-apa, adik ipar.” Ada sirat di kedua mata Zhafran ketika mengucapkan nama panggilan adik ipar yang penuh tekanan tersebut. Yang membuat El Noah dan Elea menelan ludah dengan gugup.

***

Tak biasanya Elea merasa tak nyaman dengan keheningan yang membentang di antaranya dan Zhafran sepanjang perjalanan pulang kembali ke rumah. Ya, setelah El Noah dipindahkan ke ruang perawatan, ia dan Zhafran harus segera kembali pulang. Membiarkan Chris yang menjaga El Noah.

Bahkan ketika keduanya sampai di rumah, Zhafran langsung membersihkan diri dan berpakaian lebih dulu. Langsung ke ruang kerja sementara dirinya bersiap. Tepat ketika keluar kamar, ia berpapasan dengan pelayan yang memberitahukan kedatangan kedua orang tuanya.

“Apakah suamiku sudah turun?”

“Belum. Saya akan memanggilkan beliau …”

“Aku saja,” potong Elea. Membalikkan tubuhnya menuju ke ruang kerja Zhafran yang ada di ujung lorong. Langkahnya sempat terhenti ketika mendengar suara pria itu yang menggelegar marah, diikuti suara gebrakan meja.

Wajahnya memucat, dengan ketakutan yang mulai merambati dadanya. Benarkah itu suara Zhafran? Ia pernah mendengar dan melihat Zhafran marah ketika ada pekerjaan bawahannya yang tidak beres, tetapi tidak pernah dengan kemarahan sebesar ini. Hingga membuat bulu kuduknya meremang seperti ini.

‘Bagaimana mungkin kalian tak becus melakukan hal sepeleh seperti ini, hah?!’

Sekali lagi suara bentakan menyentakkan Elea. Langkah wanita itu sepenuhnya terhenti, yakin matanya melihat pintu ganda di depannya bergetar oleh suara hantaman, menyusul suara benda pecah. Yang ia yakin adalah meja kaca di ruang kerja pria itu.

Elea menelan ludahnya, mencoba melenyapkan ketakutan yang menyergap dadanya. Sebenarnya apa yang terjadi hingga Zhafran menjadi semarah ini? Setelah sepanjang perjalanan pulang pria itu sama sekali tak bicara dan memasang raut dingin yang tak biasa, pemikiran bahwa Zhafran mendengar pembicaraannya dan El Noah semakin memucatkan wajahnya.

‘Apakah Zhafran berpikir papa telah mengkhianati kesepakatan di antara keluarga kita?’

Elea menggeleng dengan cepat, memberanikan diri melangkah masuk meski keberaniannya semakin menipis dengan kecurigaan tersebut. Ia tahu kekuasaan sebesar apa yang dimiliki Zhafran terhadap papanya.

Ia menggenggam kuat-kuat gagang pintu, berusaha menelan ketakutannya meski tak terlalu berhasil. Mendorong pintu dengan seluruh kekuatannya dan seluruh tubuhnya bergetar hebat melihat dua orang pengawal yang babak belur tersungkur di lantai. Salah satunya berada di pecahan meja kaca yang sudah tak berbentuk lagi, sementara yang lain tengkurap dan tak bergerak di samping jendela kaca yang juga sudah hancur.

Zhafran berdiri di tengah ruangan, wajah pria itu menggelap dipenuhi amarah yang membuat seluruh tubuh Elea membeku. Ketika wajah pria bergerak ke arahnya, kemarahan tersebut sama sekali tak berkurang. Untuk sedetik, Elea berpikir akan membalikkan badannya dan berlari keluar. Namun kedua kakinya masih berpijak di tempatnya berdiri, sama sekali tak bisa digerakkan ketika Zhafran melangkah ke arahnya dengan langkah besar-besar.

Napas Elea tertahan keras dengan jarak di antara mereka yang semakin menipis. “A-apa yang …” Suaranya yang bergetar tak mampu menyelesaikan kalimat yang akan diucapkannya ketika Zhafran menangkap tubuhnya. Mendorong punggungnya hingga membentur dinding di samping pintu dan mendaratkan lumatan yang kuat di bibirnya.

Keterkejutan menyergapnya dengan serangan tiba-tiba tersebut. Tubuhnya ingin meronta, tapi himpitan Zhafran membuat seluruh kekuatannya lenyap dengan mudah. Lumatan pria itu seperti sebuah amarah yang dilampiaskan kepadanya. Begitu kuat meski tak cukup menyakitinya.

Ketika napasnya semakin habis oleh pagutan yang semakin dalam, Elea berusaha mendorong tubuh Zhafran menjauh. Pria itu melepaskan bibirnya, tetapi ciuman pria itu tetap menempel di tubuhnya. Bergerak turun ke rahang, belakang telinga, dan cekungan lehernya. Memberinya kesempatan untuk meraih udara memenuhi paru-parunya.

“Z-zhafran?” panggilnya setelah napasnya mulai kembali normal, tetapi Zhafran masih sibuk menggigit daging di cekungan lehernya. Yang ia yakin pasti akan meningalkan kissmark yang pekat di sana. Merasakan napas pria itu yang semakin memberat, yang hanya akan mengarah pada satu keinginan sang suami. Terhadap tubuhnya. Namun, ia belum siap. Ia tak akan pernah siap lagi memberikan tubuhnya pada pria itu. Dengan jejak kotor yang rasanya tak pernah hilang di dalam tubuhnya. “K-kumohon hentikan, Zhafran,” mohonnya dengan penuh keputus asaan.

“Z-zhafran, kau bilang kau tak akan memaksaku, kan?” Dorongan kedua tangan Elea di pundak Zhafran semakin kuat. Dan kali ini berhasil menghentikan pria itu.

Zhafran mengangkat wajahnya meski tak melepaskan tubuh Elea dari himpitannya. Napasnya terengah tepat di depan wajah sang istri.

“Kumohon, lepaskan aku.”

Kemarahan di wajah Zhafran sudah mulai surut, tetapi tidak dengan sorot kedua mata pria itu. Napas pria itu berhembus keras di atas permukaan wajahnya. “K-kau terlihat begitu marah. A-apa yang terjadi?”

Zhafran tak langsung menjawab, menatap dalam kedua mata sang istri dalam lima detik penuh hingga kegugupan Elea berada pada puncaknya. “Tidak ada.”

Napas Elea seketika kembali. Matanya berkedip sekali.

“Hanya masalah tugas yang tak becus dikerjakan.” Zhafran melonggarkan himpitannya, sedikit memberi jarak di antara mereka agar sang istri bisa bernapas dengan baik. Tangannya bergerak menyentuh wajah Elea, menyelipkan helaian rambut wanita itu ke balik telinga. “Dan sedikit pemanasan untuk memberi pelajaran pada seseorang.”

“S-seseorang?”

Zhafran mengangguk, ujung bibirnya menyeringai ketika mendesiskan satu kata dengan penuh cemooh. “Pengkhianat.”

Elea mengerjap dengan cepat, sekali lagi paru-parunya mengkerut. Seolah dicengkeram oleh tangan kasat tak kasat mata. “A-apa?”

Zhafran menggeleng. Wajahnya bergerak maju, mendaratkan satu kecupan singkat di bibir Elea. Kemudian ibu jarinya bergerak mengusap di sepanjang bibir bagian bawah sang istri.

“Kenapa kau sepucat ini, istriku?” ucapnya sambil tertawa kecil. “Aku tahu kau tak akan pernah mengkhianatiku meski kau begitu ingin bercerai denganku. Begitu pun dengan keluargamu. Kalian adalah orang kepercayaanku. Kepercayaan keluargaku. Keluarga kita sudah bekerja sama berpuluh-puluh tahun lamanya. Karena dan atas dasar sebuah kepercayaan. Tak ada yang perlu kau cemaskan tentang yang satu ini.”

Elea menggigit bibir bagian dalamnya. Entah kenapa, kalimat panjang penuh kata kepercayaan tersebut, malah terdengar seperti sebuah ancaman untuknya. Untuk keluarganya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top