16. Bukan Salah Kita Berdua
Di Karyakarsa sudah tamat, ya. Bisa beli fullpaket biar lebih murmer dan bisa akses semua part. Cerita yang ini tidak diebookin, ya. Yang nunggu tamat, silahkan ke Karyakarsa.
Nb : da potongan voucher 5k untuk 5 pembeli pertama, ya
Kode vouchernya ZHAFRANELEA
****
Part 16 Bukan Salah Kita Berdua
"Fera mencintaimu." Elea yang tengah duduk di meja rias menatap pantulan Zhafran yang baru saja melepaskan jas dan dasi di samping ranjang. Gerakan Zhafran sempat membeku, tetapi tak berkomentar apa pun. Elea pun memutar tubuhnya dan beranjak mendekati pria itu. Agar kali ini mendapatkan perhatian penuh sang suami.
"Bukankah ini yang kau inginkan? Lalu kenapa kau masih mempertahankan pernikahan ini?"
"Apa pun yang dikatakannya, sama sekali tak ada sangkut pautnya denganku, Elea. Jika kau begitu membutuhkan konfirmasi dariku, hanya itu yang bisa kupastikan dariku."
"Bukankah kau juga mencintainya? Jadi sekarang apalagi alasan yang kau butuhkan untuk hidup berbahagia dengannya? Kalian berdua tampak tak bisa hidup tanpa satu sama lain."
"Itukah yang terlihat di matamu?"
"Jangan mempertanyakan hal yang sudah jelas, Zhafran."
Zhafran mendesah kasar, mulai frustrasi dengan pembahasan tentang Fera sepanjang hari ini. Ia baru saja lega pembicaraan tentang wanita itu dengan mamanya akhirnya terhentikan dengan kemunculan sang papa. Dan sekarang Elea malah menyambutnya dengan omong kosong ini lagi. Ia menarik napas dalam, berusaha menambah stok kesabarannya setiap kali harus berhadapan dengan sang istri yang penuh sensitif ini. Yang entah kenapa stoknya pun tak pernah habis.
"Aku tak mungkin menikah denganmu jika aku tidak bisa hidup tanpanya, Elea," koreksi Zhafran dengan penuh penekanan. "Dan kalau pun yang kami miliki dalam hubungan pertemanan ini adalah cinta, maka cinta adalah omong kosong yang sangat mengecewakan rupanya. Karena rasanya tak sebesar tanggung jawabku pada pernikahan kita. Pada janji pernikahan kita."
Elea bergeming. Kedua matanya masih menyorotkan kemarahan dan kebencian pada Zhafran.
"Jika memang cinta lebih kuat dari yang kubayangkan, aku lebih sanggup tidak merasakan cinta dibandingkan harus melepaskanmu."
Untuk sejenak, tatapan Elea melunak. Namuj wanita itu segera mengeraskan hati dan mempertajam tatapannya. "Kenapa kau tidak mengatakannya pada dirimu sendiri pada malam itu?" desisnya dengan sengit. "Kau tetap meninggalkanku meski aku merengek dan mengancamku!" jeritnya. Kemudian berbalik dan naik ke tempat tidur. Berbaring dengan posisi memunggungi Zhafran dan mulai menangis tersedu.
"Jangan menyentuhku," ancam Elea saat Zhafran bergerak mendekat dan menjulurkan tangan berusaha menyentuhnya. "Jangan menyentuhku atau aku akan berteriak dan membuat keributan seperti yang dilakukan wanita itu?"
Tangan Zhafran pun membeku, melayang di atas lengan sang istri. "Aku benar-benar menyesal, Elea. Seharusnya …"
"Semua omong kosongmu tak akan mengubah apa pun, Zhafran. Simpan saja untuk dirimu sendiri." Elea memejamkan mata dalam-dalam. Tetapi bisa merasakan desah kefrustrasian Zhafran di belakang punggungnya. Sejenak kemudian pria itu tampaknya berhasil mengendalikan diri dengan baik, kemudian melangkah pergi entah ke ruang ganti atau kamar mandi. Setelahnya ia benar-benar tertidur.
***
Elea bangun lebih dulu ketika merasakan lengan Zhafran yang melilit di pinggangnya. Suara napas pria itu yang berhembus teratur bisa ia rasakan di balik kepalanya. Tangannya pun bergerak menjauhkan lengan pria itu dan menyelipkan tubuh keluar dari pelukan Zhafran untuk turun dari tempat tidur.
Memastikan setiap langkahnya menuju kamar mandi tak sampai membuat pria itu terbangun. Selesai mencuci muka, pintu kamar diketuk dari luar. Elea gegas membukanya dan menemukan mama mertuanya yang membawa nampan berisi sarapan pagi.
"Kalian melewatkan makan pagi, jadi mama membawakan makanan kalian ke kamar."
Elea mengedipkan mata, kepalanya berputar dan menatap jam di dinding yang rupanya sudah menunjukkan jam sembilan. "Terima kasih, Ma. Maaf merepotkan."
Anne tersenyum lembut, melangkah masuk dan membawa nampan di tangannya untuk diletakkan di meja. "Apa keadaanmu sudah lebih baik?" Pandangannya sejenak menatap sang putra yang masih terlelap.
Elea mengangguk. "Jauh lebih baik, Ma. Maaf membuat mama khawatir."
Anne mengusap pipi Elea dengan lembut. "Mama tahu Zhafran memiliki banyak kekurangan. Tapi … mama akan pastikan dia tidak akan mengecewakanmu."
Elea kembali memberikan satu anggukan untuk sang mertua. Memastikan raut wajahnya terpasang apik untuk memberikan wanita paruh baya yang lembut tersebut ketenangan. “Kami akan berusaha untuk baik-baik saja.”
“Ya. Kami tak akan berhenti mendoakan pernikahan kalian selalu diliputi kebahagiaan.” Anne pun memeluk Elea dan berbalik pergi. “Tadi ada sekretarisnya datang untuk membawakan berkas-berkasnya. Mama sudah letakkan di ruang kerjanya.”
“Ya, Elea akan memberitahunya saat Zhafran bangun.”
Elea mengembuskan napas panjangnya setelah Anne menghilang di balik pintu. Menatap ke arah tempat tidur dan melihat Zhafran yang masih tenang dalam tidur pria itu. Sangat tenang, seolah tak ada permasalahan apa pun yang tengah menggantung di antara mereka.
‘Jika memang cinta lebih kuat dari yang kubayangkan, aku lebih sanggup tidak merasakan cinta dibandingkan harus melepaskan.’
Kata-kata Zhafran yang sempat menyentuh kedalaman remahan hatinya kembali terngiang di benak Elea. Sekali lagi wanita itu menghela napas panjang dan ringan. Berjalan ke tempat tidur dan sempat meragu ketika tangannya terulur kea rah pria yang masih berstatus sebagai suaminya tersebut.
Mendesah keras sekali dan berusaha memantapkan hati, akhirnya tangannya pun berhasil terulur.
“Bangun, Zhafran.” Elea menggoyang lengan Zhafran. Sedikit lebih kuat karena lengan pria itu yang kekar dan berat. “Bangun.”
Zhafran mengerang pelan, kelopak mata pria itu mulai bergerak-gerak perlahan. Berkedip beberapa kali hingga pandangannya semakin jelas. Ujung bibirnya tersenyum menemukan wajah sang istrilah yang pertama muncul dalam pemandangan paginya. “Hai, kau sudah bangun?”
Ekspresi Elea masih begitu dingin meski sejenak hatinya sempat meleleh dengan cara pria itu memandangnya. Cara yang sama setiap pria itu bangun pagi sebelum tragedi malam itu terjadi. “Kita harus bicara, Zhafran,” ucapnya dengan suara datar sebisa yang bisa dikeluarkan oleh bibirnya.
Senyum Zhafran membeku, tampak tercengang dengan kata-kata Elea. Selama hampir sebulan terakhir, Elea selalu menghindari topik pembicaraan apa pun di antara mereka. Setiap keduanya saling bicara, satu-satunya yang muncul adalah perdebatan penuh emosi.
Mata Zhafran berkedip dua kali, masih tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Apa kau tidak mendengarku?” Suara Elea terdengar mulai kesal dengan ujung bibir yang menipis.
Zhafran seolah tersadar. Bangun terduduk dan bersandar di punggung ranjang. “Ya, katakan.”
Elea terdiam, tubuhnya yang duduk di tepi ranjang bergerak tak nyaman. Menatap sekilas wajah bangun tidur Zhafran sembari mempertimbangkan sesuatu untuk beberapa saat. “Ehm, apa kau sudah bicara dengan mama dan papamu?”
Zhafran tahu Elea tak perlu bertanya tentang hal itu. Sepulang dari rumah sakit kemarin, wanita itu tahu kalau mamanya memanggil dengan dalih sedikit bantuan untuk membawakan air minum untuk Elea. Ia pun memberikan satu anggukan singkat.
“Seberapa banyak yang mereka ketahui?” Napas Elea tertahan sejenak. Ada penyesalan ia tak mampu mengendalikan emosinya pada Fera ketika di restoran. Membuatnya nyaris tak mampu bertatapan secara langsung dengan sang mertuanya, yang masih saja bersikap seolah tak terjadi apa pun di restoran. “A-apakah mereka bertanya-tanya tentang malam itu?”
Zhafran mengangguk sekali. Menangkap kecemasan di wajah Elea yang sempat naik ke permukaan. Tubuh pria itu berputar mengarah pada sang istri, yang tampak menggigit bibir bagian dalam. “Tak ada yang perlu kau cemaskan, Elea.” Suaranya keluar dengan lembut. “Tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi malam itu.”
Kedua mata Elea berkedip penuh kelegaan. Namun seketika tersadar dan rautnya kembali berubah dingin. “Tak ada yang tahu bukan berarti tak pernah terjadi, kan?”
Mulut Zhafran membuka, tetapi kembali tertutup tanpa sepatah kata pun untuk menjawab fakta yang menamparnya dengan keras tersebut. Ia sudah berusaha sangat keras untuk menutup rapat-rapat kejadian malam itu. Menghapus semua CCTV yang dilalui Elea dan penguntit tersebut. Tak menyisakan satu jejak pun kejadian malam itu. Meskipun semua usahanya itu tak mampu menghapus kejadian yang sesungguhnya.
Elea bangun berdiri. “Kuharap kali ini kau memegang janjimu, Zhafran,” ucapnya kemudian berjalan keluar dari kamar setelah menyempatkan menyampaikan pesan sang mertua pada pria itu.
***
Setelah menghabiskan sarapan yang dibawa oleh mamanya, Zhafran pergi ke ruang kerjanya untuk mengurus beberapa laporan yang dibutuhkannya untuk pertemuan siangnya dengan CEO FrodesFull, salah satu perusahaan perbankan yang akan bekerja sama dengannya. Beberapa pencocokan sudah direvisi dan keputusan kerjasama ini sudah nyaris 100 persen. Setelah pertemuan ini, semua hanya butuh pelaksanaan.
Jam satu siang, ia sudah bersiap berangkat ke pertemuan. Berpamit pada mama dan istrinya yang sedang sibuk di meja pantry dengan bahan-bahan kue dan pipi yang dicorengi tepung.
“Kau sudah akan berangkat?” Anne yang pertama kali menyadari kemunculan sang putra.
Elea ikut menoleh, menatap Zhafran yang mendekat ke arahnya.
“Papamu juga baru saja keluar. Entah urusan apa lagi kali ini.” Anne terdiam sejenak. Ketika kekhawatiran mulai muncul di kedua matanya, ia pun tak sungkan untuk mempertanyakan langsung pada sang putra. “Apakah menurutmu …”
“Tidak, Ma.” Seolah Zhafran dengan mudah menangkap kecurigaan sang mamanya. Menyentuh punggung bawah Elea yang duduk di kursi pantry. “Hanya mama yang papa cintai. Tak ada yang perlu dicemaskan dengan hal itu.”
Anne mengangguk, menghembuskan napas penuh kelegaan. Tanpa sadar menggumamkan sesuatu tentang celana dalam sang suami yang tetap sama saat pergi dan pulang. Yang membuat Zhafran dan Elea berpura tak mendengar.
“Aku berangkat.” Kepala Zhafran tertunduk, mendaratkan satu kecupan di bibir Elea yang membuat wanita itu tersentak pelan. Namun segera menguasai diri dengan keberadaan Anne yang masih sibuk dengan pikiran wanita paruh baya itu sendiri.
Zhafran tentu saja menangkap ketegangan di tubuh Elea dan segera menjauhkan wajahnya. Membalikkan tubuhnya dan masih sempat mendengar mamanya yang bertanya pada Elea tentang tanda-tanda suami yang berselingkuh.
“Ma?” panggil Zhafran sebelum benar-benar keluar dari area dapur.
“Kenapa? Memangnya apa yang perlu kau takutkan kalau kau tak benar-benar menyelingkuhi istrimu.”
Zhafran hanya membuka mulut dan kembali menutupnya sebelum kemudian mendesah dan memutuskan lebih baik menghindari topik ini. Berjalan keluar dan naik mobilnya yang sudah disiapkan sopir.
Ia sedikit terlambat dengan pertemuannya karena lalu lintas yang tiba-tiba melambat. Meski begitu, pertemuan berakhir dengan sangat lancar dan bahkan berakhir setengah jam lebih cepat.
Dan karena ada beberapa hal yang harus ia kerjakan di kantor, pria itu singgah ke kantor. Memberikan berkasnya pada salah satu dewan direksinya.
“Tuan Freddy sudah menunggu Anda di dalam,” beritahu salah satu sekretarisnya. Yang kemudian membukakan pintu untuknya dan ikut masih ke dalam.
Freddy Juardy. Pria muda yang akan bertanggung jawab dengan kerjasama mereka dengan FrodesFull Bank.
“Tuan Enzio,” sapa Freddy bangun berdiri. Menyambut sang presdir dengan penuh hormat. Setelah Zhafran duduk dan selama sepuluh menit keduanya membahas beberapa hal, Freddy pun akhirnya berpamit.
Menatap beberapa berkas yang masih menumpuk di mejanya, Zhafran memutuskan melihat-lihat beberapa dan akan membawa pulang sisanya karena tak ingin melewatkan makan malam dengan sang istri.
Namun, baru saja ia melihat-lihat setengah berkasnya ketika suara ribut-ribut dari arah luar berhasil mengalihkan perhatiannya. Zhafran mengangkat wajahnya tepat ketika pintu didorong terbuka dan Fera muncul. Mendorong keluar sekretarisnya sebelum kemudian menutup pintu dan memutar kunci.
Wajah Zhafran seketika mengeras. “Apa yang sedang coba kau lakukan, Fera?” desisnya dengan amarah yang langsung tersulut, seolah belum cukup dengan keributan yang wanita itu buat di restoran dan rumah sakit. Sekarang bahkan wanita itu berani membuat masalah di kantornya.
Raut Fera tampak dipenuhi dengan emosi yang menggebu-gebu dengan napas yang terengah ketika berhenti tepat di depan meja Zhafran. “Malam itu, aku tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Elea.”
Kemarahan di wajah Zhafran seketika berubah menjadi keterkejutan yang keras. Dengan kedua mata yang membelalak tak percaya. Bagaimana mungkin Fera mengetahuinya?
“Kau tak perlu bertanggung jawab untuk hidupnya yang sudah hancur, Zhafran. Dia sendiri yang tak mampu menjadi diri sehingga dirinya harus ternodai seperti itu. Semua itu bukan salahmu atau salahku. Bukan salah kita berdua.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top