1. Sang Penguntit

Part 1 Sang Penguntit

‘Zhaf, bisakah kau datang ke apartemenku? Sepertinya maagku kambuh dan aku harus ke rumah sakit. Aku tak bisa menyetir.’

Elea membaca pesan singkat di ponsel yang dipegang Zhafran, yang baru saja bergabung dengannya di tempat tidur. Setelah menghabiskan berjam-jam di ruang kerja. 

“Aku harus …”

“Jangan pergi,” ucap Elea sebelum Zhafran menyelesaikan kalimatnya. Ia tahu bahwa pria itu akan pergi. Tubuhnya maju ke depan dan menahan pergelangan tangan Zhafran yang sudah menyingkap selimut. “Aku tidak mau kau pergi.”

“Fera sedang sakit, Elea. Aku harus segera membawanya ke rumah sakit.”

“Aku ikut.”

“Ini sudah malam. Tidurlah.”

“Aku tidak mau.” Suara Elea semakin kuat, mulai diselimuti emosi. “Aku tidak mau sendirian di rumah.”

“Ada pelayan dan pengawal …”

“Aku tidak mau kau pergi.” Kali ini suara Elea berupa menjadi rengekan. “Apakah dia lebih penting ketimbang diriku? Aku istrimu!”

Zhafran mendesah pelan. Melepaskan pegangan tangan Elea dan turun dari tempat tidur. Berjalan ke ruang ganti untuk mengambil jaketnya.

“A-aku takut.” Elea berdiri menghadang Zhafran yang baru saja keluar dari ruang ganti. Tetapi pria itu berjalan melewati sang istri begitu saja, menuju nakas dan berbalik menatap Elea. “Di mana kunci mobilku?”

Elea terdiam. Genggamannya semakin menguat memegang kunci mobil Zhafran. Saat pria itu melangkah mendekat, Elea gegas berlari ke balkon dan melempar kunci tersebut ke dalam kolam renang.

Saat Zhafran berhasil menyusul sang istri, kunci itu sudah hilang ditelan kegelapan malam. “Kenapa kau masih saja bersikap kekanakan seperti ini, Elea?” desisnya tajam, mempertahankan kesabarannya yang semakin menipis dengan sikap sang istri yang semakin tak terkendali.

“Kau pikir aku juga menginginkan pernikahan ini? Jika kau memang mencintainya, kenapa kau tidak menikah dengannya saja?!”

Zhafran mendesah panjang. “Kita sudah berkali-kali membahasnya, Elea. Pembicaraan ini tak akan pernah berhasil, terutama ketika kau masih berada dalam keadaan emosi seperti ini.”

“Ya, istri mana yang tidak terbawa emosi? Melihat suaminya selalu meninggalkannya demi wanita lain …”

“Dia temanku.”

“Aku istrimu!” Emosi Elea meluap-luap tak terkendali. “Itu pun kalau kau masih menganggapku sebagai istrimu,” pungkasnya kemudian kembali masuk ke dalam kamar.

Zhafran bergeming di balkon kamar. Matanya terpejam dan beberapa kali menghela napas demi menenangkan emosi yang menggeliat di dadanya. Ia memahami sikap kekanakan sang istri. Selalu. Tetapi semakin hari malah semakin menjadi yang mulai membuatnya frustrasi. Setelah beberapa saat dan merasa suasana hatinya sedikit lebih baik, ia kembali ke dalam. Melihat Elea yang duduk di ujung tempat tidur dengan emosi yang juga mulai melunak.

“Aku akan kembali dalam dua jam.”

“Ada yang ingin kubicarakan denganmu.”

“Kita bisa membicarakannya besok.” Zhafran berjalan mendekat. Suaranya melembut dan berhenti tepat di depan sang istri. Hendak membungkuk untuk mengecup kening Elea, tetapi wanita itu menghindar. Dan ketika Zhafran kembali menegakkan punggung, wajah Elea terdongak. Matanya berkaca dan penuh permohonan ketika berucap lirih. “Aku takut sendirian di rumah. Penguntit itu masih mengirimiku pesan.”

Zhafran kembali mendesah lebih keras. “Aku sudah mengatakan padamu untuk mengabaikannya, Elea.”

“Kau pikir dia tidak serius? Kau pikir ancamannya hanya karena dia jahil? Dia bahkan tahu pakaian apa yang kukenakan saat ini?”

“Aku sudah melacak nomornya, tapi itu hanya …”

“Kau pikir aku berbohong?” Elea melompat berdiri, dengan air mata yang mulai mengalir jatuh ke pipinya. “Lalu kenapa jika aku berbohong? Apakah menurutmu Fera juga tidak membodohimu? Kau pikir dia tidak bisa meminta tolong orang lain? Kau pikir temannya hanya kau? Dia bisa menghubungimu, tetapi kenapa tidak menghubungi rumah sakit untuk mengirim ambulance ke apartemennya?”

“Cukup, Elea!” bentak Zhafran kehilangan kendali dengan semburan kata-kata Elea yang membuatnya kesal. “Berhentilah bersikap kekanakan seperti ini.”

Elea tersentak kaget hingga kembali terduduk. Kekecewaan dan ketakutan merebak memenuhi seluruh permukaan wajahnya. Air matanya jatuh semakin deras.

Zhafran menatap ketakutan di mata Elea. Dengan suara yang lebih luna ia berkata, “Kita akan bicara setelah suasana hatimu lebih baik.” Kemudian Zhafran beranjak menuju pintu.

“Kalau kau pergi, aku akan pergi ke rumah papaku,” ucap Elea pelan, tetapi Zhafran mendengarnya dengan jelas. Dan tetap memutar gagang pintu lalu berjalan keluar.

Elea menangis tersedu, membekap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Dengan perasaan yang hancur berkeping-keping. Hingga akhirnya tangisannya mulai mereda karena terlalu lama. Saat itulah ponselnya bergetar pelan. Membekukan seluruh tubuhnya.

Isakannya segera terhenti, menatap benda pipih tersebut di nakas. Ia turun dari ranjang, berjalan perlahan dengan ketakutan yang mulai memenuhi dadanya. Meraih ponselnya dengan tangan yang bergetar hebat melihat nomor tak dikenal yang muncul di layar.

Napasnya tercekat dengan keras begitu membuka pesan-pesan singkat yang masuk.

‘Merindukanku, manis?’

‘Kau terlihat sangat cantik dengan gaun tidur putih itu. Apakah suamimu yang membelikannya?’

‘Suami? Dia jelas bukan suami yang baik. Meninggalkanmu sendirian demi wanita lain.’

‘Aku sudah bilang, hanya aku yang peduli denganmu. Hanya aku yang mencintaimu lebih besar dari siapa pun. Termasuk dirimu sendiri.’

Seluruh tubuh Elea bergetar hebat, ponsel di tangannya jatuh ke lantai. Kepalanya berputar, mengedarkan pandangan ke seluruh ruang tidurnya dengan kecemasan yang semakin meningkat. Setengah jam yang lalu ia mengganti pakaian tidurnya karena penguntit itu mengatakan tubuhnya terlihat seksi mengenakan piyama berwarna merah. Itulah sebabnya ia gegas mengganti pakaiannya.

‘Dia ada di rumah ini?’

Pertanyaan tersebut menggantung menggerikan di atas kepala Elea. Dengan kepanikan yang meremas dadanya, ia gegas megambil kembali ponselnya. Menghubungi nomor Zhafran dan berlari menuju pintu. Panggilannya tak dijawab, hingga tiga kali percobaan. Menuruni anak tangga dua dua sekaligus, menyeberangi ruang tengah yang luas, ruang tamu dan …

Lampu tiba-tiba mati ketika Elea sampai di tengah ruang tamu. Langkahnya seketika membeku, dengan ponsel masih menempel di telinga, menunggu jawaban dari Zhafran. Yang tak kunjung diangkat dan panggilan akhirnya terputus.

Ketakutan semakin mencekik Elea, ketika sebuah langkah terdengar dari arah belakangnya. Ponsel di tangannya meluncur jatuh ke lantai dan ia berlari ke arah pintu. Membuka pintu, melewati teras, menuruni undakan dan berlari secepat kakinya bisa membawanya pergi dari tempat ini.

Ia sampai di carport, menyambar kunci manapun yang ada di dinding dan menyalakannya untuk mencari tahu mobil yang tepat. Mobil yang berada di paling ujung menyala, dan Elea sudah mendapatkan langkah pertamanya ketika pinggangnya ditangkap dari belakang.

Elea menjerit sekuatnya. Tubuhnya meronta dan bergerak ke segala arah demi membebaskan diri dari lengan kekar yang melilit perut dan dadanya dari belakang. Menempelkan punggungnya di dada pria itu yang keras.

“Kau merindukanku, manis?” Suara serak tersebut berhasil membuat Elea semakin histeris. Tubuhnya semakin dililit, mengurangi setengah dari rontaannya.

“Lepaskan!” jerit Elea hingga tenggorokannya terasa sakit dan terbatuk-batuk dengan keras. “Tolongg!”

Berbanding terbalik dengan Elea, suara pria itu terdengar begitu tenang dan lembut ketika berbisik di telinga sang tawanan. “Kau akan menyakiti dirimu sendiri. Aku tak suka itu.”

Pria itu mengakhiri bisikannya, mengeluarkan sapu tangan dari saku jaketnya dan membekap mulut Elea dengan benda itu.

Aroma asing menyergap hidung Elea, membuat gerakan tubuh wanita itu semakin melemah dan mata yang mulai terpejam. Hingga seluruh tubuhnya jatuh ke dalam pelukan si pria. 

Seringai tersungging di balik sarung kepala berwarna hitam sang penguntit, mengambil kunci mobil yang jatuh di dekat kakinya lalu membawa tubuh mungil Elea ke dalam gendongannya dan berjalan menuju mobil yang ada di paling ujung carport.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top