Chapter 6
Sepi.
Hal terakhir yang bisa Iri ingat adalah tubuhnya ditarik degan sangat keras ke dalam pusaran portal yang dibuka Ratu Kako. Selebihnya, ia hanya merasa terjun bebas dan melayang-layang dengan laju yang cukup kencang.
Iri kehilangan kesadarannya untuk beberapa saat. Sampai suara berat dari seseorang menyerukan namanya berulang-ulang.
Gadis yang terganggu dari tidurnya pun memilih untuk membuka mata. Sosok buram bersurai hitam pendek membungkuk tepat di atasnya. Sinar matahari di balik tubuh orang itu semakin membuat retina Iri yang belum beradaptasi kesulitan untuk melihat siapa orang di hadapannya.
Satu menit kemudian, barulah iri bisa tahu bahwa orang ini adalah pemuda yang sangat dikenalinya. Dan hal itu membuat Iri sontak melonjak hingga membentur pohon di belakangnya.
“Apa aku mengejutkanmu, Iri? Aku hanya mau membangunkanmu karena sebentar lagi jam istirahat habis.” Pemuda itu tersenyum.
Ba-Bagaimana bisa? Bagaimana bisa Iri ada di posisi berbaring di atas pangkuan pemuda yang dulu adalah kekasihnya!?
Portal itu! Ia pasti sudah kembali ke masa lalunya lagi!
Iri cemas. Kesehariannya di sekolah ini membuat gadis itu waspada saat berhadapan lagi dengan mantan kekasihnya. Ia tidak ingin ada sesuatu yang buruk kembali menimpanya, walaupun ini hanyalah sebuah dunia ilusi buatan Kako. Itu pun kalau memang ini adalah sebuah ilusi.
Atau … ini nyata? Dia benar-benar kembali ke masa lalunya!?
“Kau tidak mengejutkanku sama sekali, kok!” Suara kekehan yang mirip dengan Iri terdengar di telinga. “Terima kasih, ya. Sudah mau menemaniku, David.”
Siapa yang bicara? Iri celingak-celinguk mencari sumber suara. Namun, tak bsia menemukan seorang pun di sekelilingnya kecuali David dan dirinya. Apa yang tadi bicara itu dirinya? Tapi, Iri bahkan tidak membuka mulutnya sedikitpun dari tadi.
Sentuhan pada pipi Iri membuat sang gadis menahan napas. Ia memandang wajah David yang semakin dekat. Pemuda itu berkata, “Apapun untuk gadis tercintaku.”
Iri tersentak. Tepat saat bibir si pemuda hampir menyentuh miliknya, jiwa Iri terpisah dari raganya. Dadanya naik turun dengan napas yang memburu karena dorongan magis tadi. Kini, ia terduduk di samping sepasang kekasih yang masih saling beradu pandang satu sama lain sebagai makhluk tak kasat mata.
Menyakitkan.
Senyum kedua orang itu membuat hatinya perih. Perasaan saling mencintai yang mereka pancarkan seperti membuka kembali luka sayatan di dadanya. Iri semakin tidak percaya kalau dia memang pernah mengalami hal seperti ini di masa SMA-nya.
Karena yang selama ini tertanam di memorinya adalah dirinya yang selalu menjadi bahan tertawaan. Di mana tak ada yang menganggapnya berharga. Semua temannya hanya menganggapnya sebagai bahan hiburan, target penindasan, untuk bersenang-senang.
Termasuk kekasihnya sendiri.
Kedua anak muda tadi pergi meninggalkan tempatnya. Sedangkan, Iri masih bergeming dengan wajah yang tertungkuk dalam. Tatapannya kosong melihat tanah berumput yang didudukinya. Tempat di bawah pohon rindang di taman sekolah, di mana ia habiskan waktunya bersama David berdua.
Iri mendengus dan tersenyum getir. Ia benar-benar tidak menyangka kalau dulu dia pernah punya kenangan indah seperti ini. Kenangan yang terasa bagaikan sebuah mimpi, lalu kau terbangun darinya. Dan, merasakan sakit dan kepedihan yang dalam setelah tahu kenyataan yang sebenarnya.
Bahwa, semua ini hanyalah kebohongan belaka.
“Sesuatu yang indah tak pernah luput dari hal menyakitkan.”
Lagi-lagi suara Kako menggema di dalam kepalanya. Iri meringkuk sambil memeluk kakinya. Gadis itu tak mau mendengar kata-kata Kako lagi. Sudah cukup! Ini semua menyebalkan! Iri membenamkan wajahnya di antara kedua lututnya. Berharap suara itu tak lagi mengganggu dirinya. Namun, semua itu percuma. Kako malah hadir di hadapannya.
“Apa kau bersyukur memiliki kenangan ini, Gadis Waktu? Atau kau ingin kenangan ini menghilang saja dari ingatanmu, sehingga kau tak akan merasakan sakit lagi saat teringat olehnya?”
“Aku….” Iri tak tahu harus menjawab apa.
Tanpa disadari, Kako membawa mereka ke tempat yang berbeda. Kini, sang Ratu dengan si Gadis Waktu berada dalam sebuah kelas. Sepi, tak ada satupun orang di sana. Hanya ada mereka berdua dan sebuah meja satu orang dengan amplop putih di atasnya.
Iri berdiri dan menatap benda sebesar telapak tangannya itu. Ah, dia ingat. Ini adalah surat yang memulai seluruh kesengsaraannya di tempat ini. Surat dari David, yang memintanya untuk menemui pemuda itu di kelas yang hanya berjarak dua kelas dari tempatnya.
Lucu rasanya. Kalau mengingat dulu dia sangat senang menerima surat ini. Berpikir bahwa David akan memberikan sesuatu—sebuah kejutan padanya. Atau, akan mengajaknya ke suatu tempat. Pokoknya, pikiran-pikiran yang tak jauh dari sesuatu yang membahagiakan.
Tapi, fakta menghempaskannya ke dalam jurang kesedihan.
Iri berpindah lagi tempat. Kako menghilang lagi dari pandangannya. Kini, ia melihat sosok lain dirinya yang berdiri di depan pintu sebuah kelas. Dengan tangan yang masih menggenggam erat surat beramplop putih. Ia berjalan mendekat, kala Iri masa lalu memasuki ruangan.
Tawa-tiwi teman-teman David mengisi keramaian tempat itu. Ragu-ragu, Iri melangkah masuk dan menuju David yang duduk di atas meja dekat jendela—dikelilingi oleh teman lelaki dan perempuannya.
Iri dari masa depan memperhatikan kedua makhluk itu saling berbincang. Tersenyum, tertawa, berbasa-basi, sambil akhirnya Iri bertanya mengapa David memanggilnya ke sini. Dan, jawaban yang di dapat Iri selanjutnya, membuat tubuh sang gadis seakan tersambar petir di siang bolong.
“Ada apa?” David tertawa. “Tidak ada apa-apa, sayangku. Kita hanya ingin sedikit bersenang-senang denganmu.”
Iri yang hendak bertanya apa maksud dari perkataan David terbungkam oleh guyuran seember air dari belakang. Sontak, gelak tawa memenuhi seluruh ruangan. Sedangkan, Iri sangat terkejut dengan serangan tiba-tiba tersebut.
“Apa kau jadi sedikit lebih segar, Iri?” tanya David di sela tawanya. “Akhir-akhir ini kau terlihat sangat suram. Jadi, aku meminta teman-temanku untuk membantuku menyegarkan dirimu.” David kembali tertawa.
“Ke … kenapa?” tanya Iri getir.
“Kau masih bertanya lagi kenapa?” Salah satu teman lelaki Iri menyahut. “Orang rendahan sepertimu bukannya pantas mendapat sedikit bantuan dari kami seperti ini?”
“Kau kan sudah tak punya orang tua. Tak punya siapa-siapa! Hidup sebatang kara dalam kemiskinan! Kau pikir kami menerima begitu saja kau mendekati teman baik kami, David!?” Seorang wanita berteriak.
“Apa maksud semua ini … David?” Raysa berusaha menahan tangisnya buncah saat menatap pemuda yang terlihat acuh padanya.
“Kau dengar kata mereka tadi, kan, Iri?” David memandangnya tajam. “Kau tak pantas ada di tempat ini. Kau tidak pantas sekolah bersama kami yang jelas berbeda kelas denganmu!”
“Kenapa … kenapa kau begini …?” Iri mulai terisak. “Bukankah kau kekasihku? Kau mencintaiku kan? Kenapa kau—kau—“
David menyeringai sambil mendengus. “Kekasih, ya?” Ia tertawa sinis. “Ya. Aku kekasihmu. Tapi, itu dulu sebelum aku tahu kau menipuku!”
“Aku tidak menipumu—“
“Kau menipuku dengan tampangmu yang cantik itu! Kau menipuku sampai aku mengira kau memang pantas berada di sampingku!” David erlihat kesal. Pemuda itu mendekati Iri yang basah kuyup dan mencengkram pipinya kuat-kuat. Memaksanya melihat kedua mata milik si pemuda. “Dengar, ya! Aku—seorang anak dari Presiden Perusahaan Mainan terbesar se-London—tidak akan pernah mau berteman, apalagi berpacaran denganmu yang tidak punya apa-apa dan hanya mengandalkan beasiswa!”
Bak dihujam sebilah tombak tepat di dadanya, Iri tak dapat bernapas. Bendungan di matanya tak dapat lagi menahan air mata yang tumpah membasahi pipi. David mendorongnya hingga jatuh membentur lantai. Samar-samar, gadis itu mendengar tawa yang semakin menggelegar dan langkah kaki yang menjauhinya.
Matanya yang buram melihat punggung David menjauh. Kenapa … kenapa harus dirinya?
Gadis it juga melihat beberapa wanita seumurannya yang berjalan mendekat. Kaki-kaki jenjang nan mulus itu berdiri tepat di depan wajahnya, menghalangi pandangan untuk melihat pemuda yang baru saja mencampakkannya.
Sesuatu lagi-lagi membasahi kepalanya. Jus buah. Ia juga merasakan tubuhnya diinjak oleh sepatu ber-highheels milik teman-teman David ini. Tapi, Iri tak bisa merasakan sakitnya, atau merasakan dingin dari pakaiannya yang basah. Ia hanya merasakan sakit dan perih yang seakan membakar hatinya. Penghinaan pada orang tuanya, juga pada dirinya yang sudah berjuang mati-matian untuk mendapat beasiswa, hanya dihargai begini oleh orang lain—juga kekasihnya yang mempunyai segalanya.
“Apa yang ingin kau lakukan, Iri? Lihatlah dirimu yang menyedihkan itu. Apa kau tidak ingin menghapus saja ingatan menyakitkan ini? Dan, membuat hari-harimu lebih bahagia?” Kako berucap entah dari mana.
Iri yang menatap dirinya sendiri yang terpuruk tidak menjawab. Gadis itu menggigit bibir bawahnya untuk menahan sakit yang kembali menghujam dada.
Waktu kembali berputar. Iri terus dibawa berkeliling masa lalunya sendiri oleh Kako. Melihat berbagai macam pembullyan terhadap dirinya hingga membuat perempuan itu pening dan ingin muntah. Hingga sampailah puncak di mana gadis di masa lalu itu lelah. Iri berdiri di pinggir sebuah jembatan, di mana sungai mengalir deras di bawahnya. Angin musim dingin sedang berhembus kencang-kencangnya. Ia bisa merasakan kedinginannya yang membelai kulit wajah yang tidak tertutupi kain penghangat.
Rambut seleher itu bergoyang-goyang seiring udara yang bergerak. Ini … inilah saat di mana Iri dengan bodohnya berpikir untuk menyusul sang ibunda. Terjun dari ketinggian yang Iri pun tak tahu jelas berapa meter tingginya. Yang ia pikirkan hanyalah ia ingin segera melepas semua beban ini. Ia ingin pergi dari dunia yang terus menertawainy tanpa sedikitpun peduli padanya.
Untuk alasan apalagi ia harus bertahan di tempat ini?
“Kau benar-benar tidak mensyukuri hidupmu, Gadis Waktu.” Kako menyahut. Iri yang memandang dirinya yang lain dari jauh menengok sedikit pada sosok Ratu yang muncul di sampingnya. “Apa yang kau pikirkan sampai ingin mengakhiri hidupmu sendiri?”
Iri terdiam. Ia terlalu fokus pada dirinya yang mematung di depan sana. “Bukankah, kau tahu alasannya, Yang Mulia?” jawab Iri pelan.
“Lalu? Apa kau pikir alasan itu cukup untuk membuatmu membuang hidupmu yang berharga, Gadis Waktu? Apa kau tidak tahu, banyak orang yang sangat-sangat berharap kehidupa dari sesorang kembali lagi?”
Iri menghadap sang ratu. Ia terus memperhatikannya tanpa semangat yang kentara di wajahnya. Kako melanjutkan, “Iri, apa kau tidak berkaca pada hal bodoh apa yang sudah dilakukan Ibumu? Sampai membuatmu jadi seperti ini—hidup sebatang kara tanpa kasih sayang orang tua karena keegoisannya yang memilih untuk mencabut nyawanya sendiri?”
Iri tercekat. Ia menunduk dalam karena perkataan Kako yang menohok dadanya. Jujur saja, saat itu Iri terlalu depresi sampai tidak bisa berpikir apapun selain terbebas dari penderitaan kala itu. Ia menyesal. Ia tidak tahu bagaimana jadinya kalau dia benar-benar mengakhiri hidupnya.
“Sekarang kau masih hidup. Jujur saja, aku masih tidak menyangka takdir masih memberimu kesempatan untuk bertahan di dunia ini. Mengapa begitu? Kenapa tidak kau lepaskan saja jiwa dari ragamu dan terbebas dari semua masa lalu ini?”
Iri berpikir. Kalau diingat lagi, sesaat sebelum ia melayang terjun ke sungai di bawah sana, seseorang datang. Ya, persis seperti yang Iri lihat sekarang. Seorang pemuda dan beberapa orang dibelakangnya tiba-tiba berlari menghampiri tubuh Iri yang sebentar lagi melompat. Pemuda bersurai pirang dan berponi samping sampai menutupi sebelah matanya itu menarik pinggangnya hingga keduanya jatuh membentur jalan.
Iri masih ingat. Pemuda itu menanyakan keadaannya dengan panik. Seroang laki-laki dan perempuan yang menyusul mereka juga menanyakan hal yang sama.
Merekalah … yang memberi pondasi baru pada kehidupan Iri yang hampir hancur. Dan, sejak saat itu, merekalah yang selalu berada di samping Iri—saat ia bahagia maupun terluka.
“Yang Mulia ….” Iri mulai angkat bicara. “Andai … andaikan saja aku benar-benar melepas hidupku, kau benar, mungkin aku bisa bebas dari dunia ini,” ucapnya, lalu melanjutkan, “tapi, Yang Mulia Kako, aku ingat. Tidak semua hidupku dipenuhi oleh kepedihan. Aku tidak sendirian, dan aku bersyukur karena rasa sakit di masa laluku itulah, aku bisa bertemu sahabat-sahabatku.
“Aku tidak ingin masa laluku hilang atau dihapus. Karena masa lalu itu jugalah, cerita hidupku terbentuk. Kenanganku bersama sahabat baikku semakin banyak. Dan, semakin menyenangkan saat aku melupakan saat-saat aku terluka.”
Kini, Iri menatap Kako dengan lebih yakin. Kedua tangannya mengepal. Ia menguatkan diri untuk mengucapkan kalimat terkahirnya. “Yang Mulia Kako, melupakan masa lalu bukanlah sebuah kesalahan. Terkadang, kami melakukannya untuk kebahagiaan kami di masa sekarang, ataupun di masa depan,” jelas si gadis. “Kami menjadikannya cermin diri, tapi kami juga menjadikannya sebagai teguran agar tidak mengulangi hal yang sama.”
Kako tersenyum tipis dengan wajah dan tatapan yang masih tak berubah. Ia hanya berkata, “Menakjubkan, Gadis Waktu. Kau memang layak mendapat sanjunganku.”
“Tapi sebelum kau menerima bantuan dariku. Ada satu hal lagi yang harus kau lakukan.”
Seketika, tempat itu menjadi ruang kosong berwarna putih kembali. Pandangan Iri dipenuhi oleh cahaya putih dan serbuk-serbuk perak yang kemudian menghilangkan kesadarannya.
++++
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top