Chapter 4

Mata Iri terbuka lebar-lebar. Beberapa saat gadis itu terdiam untuk mengumpulkan seluruh kesadarannya, lalu mengerjap. Kepalanya langsung menengok ke kanan dan ke kiri, serta menunduk untuk melihat bahwa ia tengah duduk di atas bangku panjang.

“Ini … di teras rumah ….”

PRAANG!!

Suara benda pecah terdengar sangat keras hingga ke tempat Iri berada. Terkejut, sang gadis berdiri dan menengok kea rah sumber suara—di dalam rumah.

“PERGI!” Teriakan wanita yang terdengar familiar menyentak Iri. Rasa takut langsung menjalar ke seluruh tubuhnya, terutama saat suara berat pria berseru kemudian.

“AKU MEMANG MAU PERGI DARI RUMAH INI DAN TIDAK AKAN KEMBALI! UNTUK APA AKU TINGGAL DENGAN ORANG MACAM KAU YANG TIDAK PERNAH BECUS!?”

Ayah? Ibu?

Seseorang mendekati Iri yang berdiri gamang di ambang pintu. Reflek, ia langsung menyingkir dan memberi jalan bagi pria berjaket hitam. Iri terus memandang punggung lelaki itu sampai ke motornya yang lalu melesat cepat tanpa lagi berkata apa-apa.

Iri mengalihkan pandangan ke dalam rumah. Terlihat wanita yang berumur sekitar 25 tahunan duduk bersimpuh sambil terisak. Berusaha keras menahan jeritan dan air mata yang sudah membasahi kedua pipinya. Hanya demi membuat gadis yang mengintip di balik salah satu bilik tidak semakin ketakutan.

“I … Ibu ….” Suara Iri bergetar. Ia ingat betul saat-saat ini. Iri juga tahu kalau gadis yang mengintip itu adalah dirinya sewaktu kecil. Yang sama-sama menahan tangis agar ibunya tidak semakin khawatir. Sampai-sampai membuat dada dan tenggorokan Iri kecil menjadi sakit.

Iri sudah benar-benar kembali ke masa lalunya.

Jantung Iri berdegup kencang. Matanya berkaca-kaca, dan napasnya mulai tersenggal. Ingatan ini terlalu menyakitkan untuk dilihatnya kembali. Iri tidak kuat jika harus melihat penderitaan ibunya saat ditinggal Ayah berengsek yang lebih memilih wanita lain setelah bosan dengan istrinya untuk kedua kali.

“Ibu … tolong jangan menangis ….” Iri melangkah pelan. Mendekat kepada sang Ibu yang mulai kehilangan tenaganya. Gadis it uterus mencoba memanggil orang yang disayaninya dengan suara yang sangat pelan. Tenggorokannya kering, sampai ia merasakan sakit setiap berucap sepatah kata.

Satu lagi kaki Iri melangkah, dan tepat saat itu ibu Iri kehilangan kesadaran. Sontak, Iri kecil dan Iri remaja berlari menuju wanita yang tergelepar di atas lantai tak berdaya. Namun, tidak seperti gadis enam tahun berkucir dua yang langsung merengkuh ibunya, kening Iri membentur sesuatu yang keras di hadapannya.

“A—Apa!?” Iri memukul-mukul penghalang transparan yang memblok dirinya dengan dua orang di depannya.

Ibu dan Iri kecil nampak mulai memudar dan menguar menjadi serpihan kilau cahaya. Dinding rumah beserta perabotan di sekitarnya juga mulai menghilang. Iri panik, “Tidak! Ibu!! Jangan pergi! Kumohon jangan pergi!” Ia berseru sambil memukul penghalang dengan keras. Berharap semakin kuat ia menhajarnya, ia bisa menembusnya dan segera mendekap wanita lemah itu.

Percuma. Semuanya tetap menghilang hinnga hanya ruang kosong putih yang terlihat.

Iri berteriak. Tubuhnya jatuh berlutut dengan telapak tangan yang masih menempel pada penghalangnya. Pundak sang gadis bergetar ketika menahan air mata yang tetap saja membasahi pipinya. Ia mengigit mulut bagian bawah sampai perih, tapi pundaknya yang bergetar tetap menandakan bahwa dirinya tengah terisak.

“Bertahanlah, Iri,” ucapnya pelan kepada dirinya sendiri. “Ini takkan lama …. Kau harus kuat. Karena ini semua hanya masa lalu yang sudah berlalu.”

“Begitukah pikirmu, wahai Gadis Waktu? Apa jiwa dan pikiranmu memang bisa semudah itu melupakan masa lalu yang membekas di dalam hatimu…selamanya?”

Suara yang menggema di kepalanya membuat gadis yang merasa terpanggil kembali membuka mata. Kini, terik matahari menyengat kulitnya dan suara orang-orang yang berkativitas terdengar di telinganya. Namun, satu hal yang kembali menyadarkannya dari lamunan adalah kenyataan bahwa ia kembali berdiri di halaman rumput depan rumahnya.

Lengkingan tawa perempuan mengalihkan perhatiannya pada gadis kecil yang melintas di samping Iri. Memakai rok merah pendek dan jaket merah muda, serta tas gedong merah yang dipanggulnya, anak itu dengan bangga menggenggam kuat secarik kertas di tangan kanan.

Sekilas, Iri melirik kertas itu. Mata bermaik Hazel seketika terbelalak. Rasa takut lansung menyergap setelah membaca goretan pensil dari bocah sekolah dasar yang tidak terlalu jelas.

Rabu, 28 Mei 2010.

“Oh tidak!” Mengingat tanggal itu, Iri langsung berlari mengejar dirinya di masa lalu. Ia harus segera mencegah Iri kecil sebelum sampai ke kamar ibunya dan melihat apa yang ada di dalamnya.

Sambil berlari, Iri terus berharap agar dirinya yang dulu tersandung atau apapun yang bisa membuatnya melambat. Karena saat ini ia kesusahan mengejar kecepatan bocah sepuluh tahun yang bergerak lincah melewati barang-barang yang berserakan di dalam rumah.

Sial! Kenapa dulu dia bisa tidak menyadari kekacauan rumah ini dan bisa melewainya dengan mudah? Nilai 100 di kertas itu terlalu membutakan mata. Saat itu adalah pertama kalinya ia bisa mendapat nilai sempurna dengan belajar tanpa bimbingan ibunya. Benar-benar pencapaian terbaik sepanjang hidup bersama sang ibunda.

“Tidak!” Iri kecil dengan ajaib sudah berdiri di depan pintu coklat. Tangan kecil yang mulai meraih gagang pintu membuat Iri remaja semakin panik.

Ada apa ini? Kenapa langkahnya berat dan sangat lambat? Jarak dengan dirinya di masa lalu juga seakan makin jauh. Iri benar-benar mengerahkan semua tenaganya hingga keringat mengucur membasahi pelipisnya.

Terus melangkah! Hanya tinggal beberapa langkah lagi ia bisa menangkap anak itu sebelum masuk ke dalam kamar.

Namun, saat Iri sudah sangat dekat, waktu berjalan jadi lebih cepat. Gadis kecil yang berseri-seri di depannya tiba-tiba mendorong pintu sambil menyerukan kata Ibu.

“TIDAAK!!” Iri melompat untuk memeluk dirinya agar tidak melangkah masuk. Tapi, yang terjadi selanjutnya membuatnya terkesiap. Iri tidak bisa menyentuh Iri kecil. Tangannya menembus tubuh si anak begitu saja.

“Ibuu! Lihat apa yang kuda—“ Bocah sepuluh tahun itu menghentikan perkataannya. Raut wajahnya langsung menyiratkan ketakutan yang sangat. Begitu juga Iri yang takut-takut mengangkat kepala dan melihat apa yang ada di dalam sana.

Irisnya mengecil dengan mata yang terbuka lebar. Napasnya tercekat serta mulutnya bergetar kala melihat perempuan yang kini menggantung di langit-langit dengan seutas tali yang terikat di leher.

Rabu, 28 Mei 2010. Iri yang berumur sepuluh tahun, menemukan ibunya gantung diri di dalam kamar selepas pulang sekolah.

Iri merasakan perih di tenggorokannya. Matanya kembali terasa basah, bahkan kini sudah sampai ke pipinya. Dadanya sesak, dan telinganya kesakitan oleh jeritan yang dikeluarkannya sendiri.

“Ya. Inilah masa lalumu. Traumamu. Selama ini kau berusaha terlihat tegar seakan ini semua hanya mimpi. Tapi, kenangan ini akan selamanya tertanam dalam alam bawah sadarmu, Gadis Waktu.”

“Kumohon…keluarkan aku dari sini….Aku mohon ….” Iri berjongkok sambil mencengkram kepalanya. Suara wanita yang didengarnya ini bisa-bisa membuat kepalanya pecah.

“Kalian para makhluk yang dengan sombongnya berlagak bisa menjelajah waktu dan kembali ke masa lalu—hanya demi mencari kebenaran atau memperbaiki kesalahan. Tapi, hanya sebatas ini jiwa dan mental kalian sangup menghadapinya?,” ujar suara itu.

Ruang di sekeliling Iri menghilang kembali. Dua sosok di hadapannya kini menguap seperti debu dan berganti sosok wanita berpakaian serba putih.

“Sekali kau kembali kepada masa lalu, kau harus bisa menaklukkannya atau kau akan terjebak selamanya. Begitulah cara kerja dunia di bawah kekuasaanku, Iri.”

++++

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top