Chapter 2

++++

Iri tidak tahu sudah berapa lama ia berjalan kaki sendirian di tempat ini. Ren sepertinya sudah terbangun dari tidurnya, tapi anak itu masih harus mengumpulkan energi untuk mewujudkan wujud manusianya.

Karena penasaran, Iri bertanya, “Ren?”

Beberapa detik taka da jawaban. Baru gadis itu akan memanggilnya kembali, Ren menyahut, “Ya, Iri. Apa ada masalah?”

Respon lambat saat dalam mode pengisian tenaga.

“Tidak,” balas Iri. “Aku hanya penasaran. Kenapa selama aku berjalan, aku tidak merasakan lelah sedikitpun? Kupikir kita sudah berjalan cukup lama. Mungkin satu jam?”

Gadis itu akhirnya sampai di ujung jalan, setapak ini. Gapura setengah lingkaran setinggi tiga meter yang tersusun dari bebatuan berdiri dengan kokoh di hadapannya. Terlihat agak suram, namun beberapa lumut hijau dan bunga putih kecil-kecil yang tumbuh di sana membuatnya sedikit lebih enak untuk dipandang.

Ren—yang masih berwujud jam saku—bercahaya dalam genggaman Iri. Sang gadis membuka kepalannya, dan membiarkan jam perak tersebut melayang di udara. Sedetik kemudian, kaki kecil bersepatu boot coklat itu menapaki tanah, berdiri menghadap gadis yang sedari tadi bersamanya.
Dia berbalik. Memandangi gapura di depannya sambil berkata, “Kita sudah sampai, di Gerbang Masa Lalu.”

“Siapa kalian?”

Iri memutar bola mata ke sisi kanan gerbang. Sebuah siluet muncul ketika cahaya putih bersinar di ujung sana. Siluet tersebut semakin jelas dan membentuk sosok tubuh kecil transparan yang memakai jubah panjang dan bertudung hingga menutupi sebagian wajahnya.
“Apa yang membuat kalian datang ke tempat suci ini?”

Suci?

“Wahai Sang Penjaga Gerbang Waktu.” Ren membungkukkan badannya. Iri mengikuti. “Kami datang ke mari untuk menemui Yang Mulia Kako, atas perintah Yang Mulia Era.”

Iri dapat melihat sang pejaga gerbang sedikit mengangkat wajahnya. Walau tidak terlalu jelas, gadis itu dapat melihat iris kelabu yang menatap kosong kea rah mereka. Wajahnya mungil, dan terlihat manis. Tapi ia tidak yakin apakah anak itu lelaki atau perempuan. Suaranya terlalu meragukan.

“Apa kalian yakin akan melewati gerbang masa lalu ini?”

“Hah?” Iri tak mengerti.

“Apa diri kalian, serta jiwa kalian telah siap untuk kembali ke masa lalu dan memutar kembali memori yang telah usai?”

Kening Iri berkerut. Sebenarmya apa yang dibicarakan anak ini? Ia menoleh pada Ren yang masih setia dengan simpul kecil di bibirnya.
“Gerbang waktu ini adalah jalan pintas kita kepada sang Penjaga Waktu, seperti yang kubilang tadi,” tutur Ren. “Tapi, selalu ada rintangan dalam sebuah kemudahan, bukan?” Lelaki itu menoleh dan mendongak pada Iri yang lebih tinggi darinya, lalu melanjutkan, “Di dalam gerbang waktu kita akan dipertunjukkan masa-masa yang sudah kita lewati. Dan sesuai namanya, Gerbang Masa Lalu akan membukakan memori masa lalu kita kembali di dalam sana.”

“Apa?!” tanya Iri terkejut.
Masa lalu? Melihat masa lalu miliknya? Tidak! Ia tidak mau. Lebih baik dirinya berbalik dan kembali ke dunianya, daripada harus melihat hal yang paling ingin ia lupakan.
Iri tidak peduli dengan konsekuensi menjadi patung hidup seperti teman-temannya, atau lenyap karena termakan waktu yang menghilang. Itu lebih baik daripada melihat si sialan itu dalam memorinya!

“Iri—“

“Apa jawaban kalian?”

Pertanyaan keluar bersamaan dari mulut Ren dan si Penjaga Gerbang. Tanpa sadar, Iri mundur selangkah. Menggeleng pelan dan berkata pelan, “Tidak ….”

Ren memanggil gadis itu sekali lagi dengan pelan. Namun, Iri malah berteriak. “Aku tidak mau! Aku tidak mau melihat lagi masa lalu itu! Aku tidak mau!!!”

Ren yang awalnya hendak menyentuh kulit putih itu membatalkan niatnya. Terlalu terkejut dengan reaksi yang diberikan Iri. Lelaki itu bisa melihat tangan Iri yang mengepal kuat, sampai buku-buku jarinya terlihat memutih.

Garis wajah Iri menegang. Rahangnya mengeras, seakan berusaha untuk menahan luapan amarahnya. Mendengar kata ”kembali ke masa lalu” membuat sekilas kenangan di memori terdalamnya mencuat keluar. Menghadirkan sosok seseorang yang paling ingin ia lenyapkan. Yang membuatnya muak hanya dengan kembali teringat namanya.
Sang gadis memejamkan mata rapat-rapat. Berharap semua ingatan yang tiba-tiba muncul itu menghilang secepatnya.

Nihil. Bayangan itu semakin jelas. Semakin memperlihatkan detail yang terlupakan. Membuat Iri semakin tersiksa.

Ren sepertinya menyadari perubahan sikap pada Iri. Selama dirinya menjadi anak waktu—anak yang mengatur dan memelihara waktu Iri—ia tidak pernah melihat sang gadis yang biasanya selalu bersikap santai dan tenang itu, kini terlihat sangat ketakutan. Dihantui oleh masa lalu yang paling dibencinya.

Tempat ini semakin membuat semua kenangan masa lalu itu mudah terbuka. Energi yang sangat kuat di Memori Masa Lalu, akan memberi kekuatan pada jiwa seseorang untuk mengenang peristiwa yang telah lampau. Tidak peduli itu kenangan baik atau buruk, orang tersebut pasti akan merasakannya.

“Tolong Iri, tenanglah! Semua akan baik-baik saja. Aku janji!” seru Ren kemudian.

“Baik-baik saja, katamu?” Iri menjambak rambutnya frustasi. “Kau tidak mengerti apa yang kurasakan, Bocah Waktu! Kau tidak tahu apa yang telah dilakukan si Brengsek itu! Kau tidak mengerti … perasaanku—“

Mata Iri melebar. Ia merasakan sesuatu yang hangat menjalar di tangan kirinnya. Ia menoleh, dan mendapati tangan Ren yang menggenggam miliknya. Iri tidak mengerti kenapa sentuhan ini terasa begitu menenangkan. Begitu juga dengan wajah manis dari anak berusia tiga belas belas tahun yang menampakkan senyum kecil khasnya. Menarik kesadaran Iri yang tenggelam dalam pikirannya.
“Kumohon. Percayalah padaku, Iri. Aku pasti akan melindungimu dari hal buruk,” ucapnya. Senyumnya lantas melebar lalu berkata, “karena aku adalah Anak Waktu milik Iri.”
Bagaikan malaikat kecil yang turun dari surga. Bocah dihadapannya berhasil membuat pipi Iri bersemu merah. Entah kenapa, tapi wajah Ren terlihat lebih imut dan manis dari biasanya. Apa ini efek dari pikirannya yang kacau? Atau memang Ren yang memiliki kemampuan untuk menenangkan orang lain dengan wajah polos mungilnya?

“Aku akan menjagamu Iri. Seperti aku yang menjagamu dan waktumu di dimensi ini saat kau ada di Bumi.” Ren berusaha meyakinkan Iri kembali. “Jadi, kau mau percaya padaku, kan?”

Tanpa pikir panjang lagi, Iri mengangguk pelan. Satu tangan yang terangkat, kini sudah kembali turun ke samping tubuhnya. Sedangkan, Ren semakin menggenggam erat tangan si gadis waktu.
Ia lalu berkata, “Penjaga gerbang, kami siap melintasi gerbang masa lalu.”

++++

Iri membuka matanya perlahan. Seketika cahaya yang ada di tempat ini menusuk retina matanya yang masih belum beradaptasi.
Tunggu. Apa tempat ini memang bercahaya? Karena walaupun pandangannya masih buram, warna yang bisa ditangkap hanyalah warna gelap.

Ungu? Hitam? Sepertinya ada warna biru juga.

“Di mana … ini?”

Tempat ini rasanya tidak memiliki gravitasi. Kakinya tidak menapak tanah. Tubuhnya juga sepertinya melayang-layang di udara. Terasa ringan, dan tak bertenaga. Gadis itu merasa tubuhnya tengah terombang-ambing pelan oleh ombak laut yang tenang. Ia hampir merasakan kenyamanan di dalam gerbang menuju Menara Waktu Sang Masa Lalu.

“Iri ….”

Sang gadis mendengar namanya terpanggil. Ia mengedarkan manik violet-nya untuk mencari sumber suara.

“Iri ….”

“Di mana …? Siapa yang memanggilku?” Surai pendek hitam berombre merah itu bergoyang-goyang seiring pergerakan kepala yang tak mau diam. Celingak-celinguk mencari suara yang terkesan familiar di tempat seperti ruang angkasa ini.
Semakin jelas. Suara itu terdengar mendekat dan semakin terdengar nyata—bukan suara yang ada di kepalanya.

“Iri.”

Bagai tersengat aliran listrik, tubuh Iri tiba-tiba menjadi sekaku patung hidup. Napas Iri tercekal di leher saat ia mengatupkan mulutnya rapat-rapat.

Suara itu begitu dekat, tepat di belakangnya. Iri ingin berbalik dan memastikan apakah itu nyata atau hanya khayalannya saja. Tapi, ia terlalu takut. Ia tak sanggup melihat wajah orang itu jika dia benar ada di balik punggungnya.

Keringat dingin mengucur di pelipis sang gadis. Jantung yang memompa darah, bak sebuah piston yang bekerja dengan sangat-sangat cepat. Ia bisa mendengar degupan dalam dadanya. Membuat pikirannya semakin kalut oleh ketegangan dan ketakutan.

“Iri, ini aku. Apa kau tidak ingin bertemu denganku?”
Tidak! Tidak! Kumohon, apapun selain suara itu! Aku tidak kuat mendengarnya!! Aku tidak mau mendengarnya!

“Iri … kumohon, tengoklah aku untuk sesaat—“

“Tidak ….” Iri menutup telinganya.
“Apa kau tidak mau—“

“Tidak … kumohon, berhenti!” Iri memajamkan matanya rapat-rapat. Berusaha mematikan seluruh inderanya agar tidak bisa mendengar dan melihat seseorang di balik sana. “Berhenti berbicara!”

“Oh. Jadi, kau benar-benar tidak mau—“

Iri terbeliak. Ia bisa merasakan sesuatu melintasi tubuhnya, lalu berhenti tepat di depannya. Bayangan itu begitu jelas. Tangan dingin itu terasa menyengat kulit saat menyentuh pipi Iri. Memaksanya agar mendongak dan mentap kedua mata hitam kelamnya.

“—bertemu dengan kekasihmu dan kawan-kawan lamamu?”
Mata san gadis semakin terbuka lebar. Terlihat sebulir air mata siap menetes di sudut matanya. Tatapan sekelam malam, dan seringai yang terlihat sangat buas, membuat Iri semakin gemetar ketakutan. Pemuda di depannya ini, seperti serigala bertaring super tajam yang siap menerkam kelinci kecil—yakni dirinya.

Usapan halus dari kulit pemuda itu bagai kuku-kuku tajam sang pemangsa yang menggores kulit lembut nan sensitifnya. Membuat bulu kuduk Iri meremang. Ia merasa pemuda itu akan mencabik-cabik dirinya dan jiwanya untuk yang kesekian kalinya.

Tubuh Iri lemas. Pandangannya memburam saat beberapa sosok lain muncul di belakang sang pemuda.  Mengatakan sesuatu yang memenuhi pikiran Iri, sebelum akhirnya penadangan Iri benar-benar dipenuhi oleh warna hitam.

++++

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top