Episode 6

REVERT 2

|15/12/27|

"Terkadang kita terlalu fokus terhadap hal yang ada di depan mata, padahal belum tentu kejadian yang sebenarnya, bisa jadi kau melewatkan detail kecil yang sebenarnya sangat penting dan menjadi sumber dari masalah besar."

Aku melewati gerbang sekolah, satu menit sebelum akhirnya benar-benar ditutup. Menoleh ke belakang, memandang beberapa murid yang tengah memohon. Meskipun aku rasa itu percuma saja dan membuang-buang waktu. Pak satpam tak akan mau mengambil resiko untuk membiarkan mereka yang telat, masuk begitu saja. Ia tak akan mau mempertaruhkan pekerjaanya hanya untuk itu.

Aku yakin mereka semua pasti akan berakhir di BK, mendapatkan point, yang akan diakumulasi hingga akhir semester. Di sekolah ini sistem poin benar-benar menentukan apakah siswa itu naik kelas atau tidak. Karena di sini, kedisiplinan sangatlah dijunjung tinggi. Termasuk cara berpakaian, berbicara pada guru, perilaku selama di sekolah, absensi dan lain-lain.

Aku berjalan ke arah gedung A, membiarkan siswa-siswi itu berurusan dengan satpam. Kelasku berada di lantai tiga, dan aku harus berjalan kaki untuk sampai di sana.

Jam di tanganku menunjukan pukul 7.20. Dan guru akan masuk di jam 7.30 tepat. Kedisiplinan waktu juga diterapkan di sini. Sehingga tidak ada guru yang boleh terlambat masuk kelas kecuali ada keterangan sebelumnya. Begitupun muridnya. Jika tidak, tentu saja akan ada hukuman.

Setidaknya aku masih punya waktu 10 menit untuk sampai di lantai tiga. Cukup lama, dan aku bisa berjalan santai. Aku bukanlah siswa yang populer, jenius atau siswa yang selalu menjadi incaran BK karena kenakalannya. Aku hanya siswa biasa yang tak mau terlalu menonjol di sekolah, karena aku suka kehidupan normal.

Hanya butuh waktu tujuh menit untukku sampai di depan kelas, suara berisik terdengar dari luar ruangan. Aku membuka  pintu lalu memasukinya, membuat seluruh suara yang tadinya berisik menjadi senyap. Semua orang memperhatikanku.

Ada apa?

Aku berjalan menuju bangku nomor tiga, tepatnya di sebelah Haidar lalu duduk. Berusaha mengabaikan tatapan aneh mereka yang sedikit membuatku risih.

Keadaan akhirnya kembali normal setelah beberapa detik berlalu. Beberapa teman sekelas mendatangiku dan mengucapkan bela sungkawa terhadapku. Aku hanya mengiyakan mereka, tanpa tahu harus menjawab apa.

Tak berapa lama kemudian guru Fisikaku datang. Namanya Bu Ratih, dan bisa dikatakan dia adalah guru yang sangat tegas dan galak. Di tangan kanannya membawa sebuah buku tebal dan sebelah kirinya membawa kotak pensil tempatnya menyimpan peralatan menulis.

"Selamat pagi!" ujar Bu Ratih setelah meletakan kotak pensil di mejanya.

"Pagi, bu!!"

"Kita langsung mulai saja, melanjutkan materi yang sebelumnya kita pelajari. Buka halaman 32!" perintahnya sambil berjalan menenteng buku di tangannya menuju papan tulis.

Pelajaran dimulai dan Bu Ratih mulai menjelaskan materi hari ini.

Aku menatap ke papan tulis, tapi kurasa pikiranku  tak benar-benar fokus terhadap apa yang diterangkan oleh Bu Ratih. Otakku masih terus mempertanyakan hal-hal yang membuatku bingung. Mengapa banyak kejanggalan atas kematian zio? Dan kenapa hingga hari ke tiga tak ada seorangpun yang memberikan perkembangan kasus padaku. Padahal Pak Reno sebelumnya telah berjanji padaku kalau ia akan selalu memberikan perkembangan kasus padaku. Apa ada yang mereka sembunyikan?

Kurasa, aku sudah harus mulai bertindak sendiri. Bagaimana kalau ada yang tak beres dengan instansi kepolisian tempat zio bekerja? Bagaimana jika mereka memang sengaja menutupi kasus kematian zio?

"Berapa kecepatan peluru saat terlontar jika pegas ditekan sejauh 10 cm? Zack!!" Suara keras Bu Ratih membuatku tersadar dari lamunan.

"Iya?" Aku langsung mendongak ke arahnya. Ia menatapku, begitu pula dengan yang lainnya.

Ah ... Kenapa aku tak memperhatikannya tadi?

Mataku memindai ke arah papan tulis lalu mencoba menghitung.

"Keluar!"

"Maaf bu?"

"Keluar! Saya tidak memberikan toleransi untuk siswa yang tidak memperhatikan di saat saya mengajar," ujarnya sangat tegas. Situasi benar-benar hening. Semua mata tertuju padaku.

"Jawabannya 20 m/s, bu." Aku mencoba membuatnya berubah pikiran. Tapi melihat dari raut wajahnya ia tampak tak mau mengubah pikirannya untuk megusirku.

"Kamu dengar ucapan saya tadi?"

Aku berdiri, beranjak dari tempat duduk lalu berjalan ke luar ruangan.

Suasana di luar sini sangat sepi. Bagaimana tidak, saat ini tengah berlangsung kegiatan belajar mengajar dan aku malah berada di luar kelas. Aku jadi bingung apa yang harus kulakukan untuk menghabiskan waktu sampai pelajaran Bu Ratih berakhir. Masih satu jam lagi.

Aku berjalan-jalan di lorong sekolah, hendak turun menuju kantin. Karena rasanya lebih enak jika menghabiskan waktu di sana.

Mataku melihat sesosok pria berseragam cleaning service yang melintasi lorong sekolah. Gerak-geriknya begitu mencurigakan dan aneh dengan langkah yang terburu-buru.

Rasa penasaranku muncul, membuatku secara tak sadar menguntitnya dari belakang akibat penasaran dengan apa yang akan ia lakukan. Pria ini asing bagiku, mengingat aku kenal hampir semua wajah cleaning service yang bekerja di sekolah ini. Dan pria itu? Aku tak pernah melihatnya sekalipun.

Ia berhenti berjalan, kurasa ia tahu jika seseorang tengah mengikutinya. Sedetik sebelum pria itu menoleh ke belakang tepatnya ke arahku, aku segera bersembunyi di balik tembok.

Kenapa dengan pria itu? Jika dia salah satu cleaning service baru di sekolah ini, seharusnya dia bisa bertingkah normal di lingkungan sekolah.

Pria itu akhirnya berhenti berjalan, lalu membuka sebuah loker dengan paksa menggunakan obeng.

Apa itu lokerku? Apa yang baru saja dia masukan?

Setelah memasukan sesuatu ke dalam lokerku, ia berjalan meninggalkannya. Tanpa melihat ke dalam loker, aku kembali mengikutinya. Ia berlari kencang, menyadari kalau aku mengikutinya sejak tadi. Tanpa pikir panjang aku langsung mengejarnya.

Pria itu berlari sangat kencang menuju gedung B, wilayah anak-anak IPS. Sekolah benar-benar sepi karna semua murid dan guru tengah melakukan kegiatan belajar mengajar, sementara aku berlari seperti orang  kesetanan mengejar pria aneh itu. Pria itu berbelok ketika ada persimpangan. Dan menghilang.

Sial kemana pria itu pergi?

Aku celingukan mencari tanda-tanda keberadaanya. Di sini hanya terdapat jalan buntu, dan tiga ruangan : gudang, ruang musik, dan toilet.

Aku sedikit ragu untuk mengeceknya satu-persatu. Bisa saja orang itu tengah menungguku di dalam sana lalu membunuhku. Aku memang pernah mengatakan sebelumnya jika aku bahkan tidak perduli jika mati sekalipun. Tapi, kurasa aku masih takut untuk mati. Aku masih muda dan masih memiliki banyak ambisi yang harus kuraih. Tapi rasa penasaran terus saja mengusik pikiranku.

Aku membuka pintu ruangan musik secara perlahan. Tapi terkunci. Lalu beralih pada gudang, menekankan jari-jariku pada kenop pintu untuk membuatnya terbuka.

Berhasil ....

Aku langsung membukannya lebar-lebar, membiarkan kegelapan yang sebelumnya mengisi ruangan sedikit berkurang akibat cahaya yang masuk melalui pintu. Tak ada siapapun. Aku memberanikan diri melangkah, mengecek seluruh ruangan bercahaya remang-remang ini.

Bukk ....

Seseorang baru saja memukul punggungku dengan benda keras, aku jatuh terjerembab ke lantai. Rasa sakit seketika menghinggapi tubuh bagian belakangku.

Melihatku masih terbaring di lantai, pria itu berlari ke luar. Aku berusaha berdiri melupakan rasa sakit yang kualami untuk mengejarnya. Kecepatan larinya benar-benar tinggi, hingga aku kualahan untuk bisa mendekatinya. Ia berlari menelusuri tangga menuju atap sekolah.

Ketika sampai di atap, rupanya ia telah menungguku dan memberikan tatapan dingin ke arahku. Jarak kami hanya tiga meter. Dan itu membuatku sedikit bergidik ngeri melihat ke arah matanya.

Wajahnya benar-benar asing bagiku. Ia memiliki bekas luka di pipi dan jambang tipis yang di cukur rapi. Matanya coklat dengan hidung tak terlalu mancung.

"Siapa anda?" Tanyaku spontan. Aku tak yakin jika pria dihadapanku ini mau dengan senang hati memperkenalkan diri.

Pria itu hanya diam. Masih dengan tatapannya yang dingin. Lalu tiba-tiba mengeluarkan pistol, mengarahkannya padaku. Tepat ke arah kepalaku.


Aku mengangkat tangan, sadar dengan posisiku yang berada dalam bahaya. Ia bisa dengan mudah membuat kepalaku berlubang akibat peluru yang terlontar dari pistol di tangannya. Jantungku berdetak kencang, khawatir jika pria itu tetap menembakku meskipun aku menunjukan gestur menyerah. Satu menit, ia tak juga menurunkan pistolnya. Apa yang sebenarnya ia inginkan dariku?

Tangan kanannya memegangi telinga seolah-olah membenarkan sebuah benda yang ada di dalam telingannya. Perlahan ia menurunkan pistol dan memasukannya kembali ke tempatnya.

Aku mulai dapat bernafas lega sekarang, setidaknya tak ada senjata yang mengarah kepadaku.

Pria itu menyeringai, kemudian berlari secara tiba-tiba. Aku mengejarnya dan berhasil menarik bajunya dari belakang. Membuatnya jatuh akibat tarikan kerasku.

Aku sadar jika aku terlalu bodoh. Pria ini bersenjata dan bisa dengan mudah kembali menggunakan senjatanya untuk membunuhku. Setelah pria itu jatuh, aku menubruknya, membuat tubuhku berada di atas pria itu untuk mengunci tubuhnya.

"Siapa anda? Dan apa yang anda lakukan di sini?" teriakku sambil mengengkram kerah bajunya.

"Berhati-hatilah dengan tindakanmu nak," jawabnya santai.

"Jawab saya!"

Lalu sebuah pukulan keras terasa di perut, membuatku terguling ke samping akibat rasa nyeri hebat di perutku. Pria itu memanfaatkan kesempatan ini untuk berlari, dan sialnya aku tak dapat mengejarnya. Ia melompat ke gedung sebelah dan berlari menjauh.

Aku masih kesakitan, bergelung di lantai berusaha menenangkan rasa sakit yang kualami.

"Hey!" Seseorang memanggilku.

TBC

---------------

Thanks for waiting this episode, hope you enjoy and willing to vote and comment.

If you find a mistakes grammar or typo, please inform the author.

Love you guys.
💕Vee Corvield💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top