Episode 3

|13/12/27|

"Zack ...."

Siapa pria ini? Apa dia salah satu rekan kerja Zio?

Melihat dari perawakan tubuhnya, ia terlihat seperti seorang polisi. Tubuhnya kekar dengan postur lebih tinggi dariku, wajahnya bersih tanpa jenggot atau kumis. Dan anehnya, ketika pertama kali melihatnya aku jadi teringat pada zio.

"Ada apa, Pak?" tanyaku, tentu saja aku tak akan menanyakan pertanyaan frontal semacam 'siapa anda?' atau 'ada keperluan apa anda kesini?' Itu terlalu frontal untuk masyarakat Indonesia yang terbiasa dengan basa basi.

Dia tak menjawab pertanyaanku dan yang kulihat sekarang ia malah bengong. Menatapku dengan tatapan seolah aku adalah orang yang sebelumnya mati dan akhirnya berhasil dihidupkan kembali. Ia bahkan tak berkedip sedikitpun.

"Pak .... " Aku memanggil untuk menyadarkan lamunanya.

"Uh ... maaf."

"Anda rekan kerja zio Ardhy?"

"Zio?"

"Maaf maksud saya paman Ardhy," jelasku. Tentu saja banyak yang tak mengetahui arti panggilan itu. Aku juga sebetulnya agak aneh memanggilnya dengan sebutan zio. Tapi lebih aneh lagi jika memanggilnya dengan sebutan paman. Rasanya menggelikan.

Zio mengajariku sejak kecil untuk memanggilnya dengan panggilan itu, jadi aku sudah sangat terbiasa. Beberapa kali aku bahkan lupa memanggilnya dengan sebutan ayah karena rasanya ia memang benar-benar ayah kandungku meskipun secara biologis bukan.

"Umm ... ya. Aku rekan kerjanya. Bisa dikatakan aku informan, tentu bukan berasal dari instansi kepolisian."

Aku hanya ber o ria mendengar penjelasannya.

"Lalu apa maksud kedatangan anda ke sini, Pak?" Kurasa aku sudah tak bisa lagi berbasa basi. Aku sangat penasaran untuk apa informan external zio menyambangi kediamanku. Apa ia tak tahu jika zio sudah tiada? Ah, rasanya mustahil jika seorang informan bahkan tak tahu perihal informasi sepenting ini. Jadi bisa dipastikan jika dia tahu kalau zio baru saja meninggal.

"Saya hanya ingin mengucapkan duka cita."

"Oh ... saya bahkan tak menawari anda masuk. Silahkan masuk dulu, Pak."

"Tak usah, saya hanya sebentar. Saya cuma ingin memberikanmu ini." Ia menyerahkan sebuah amplop tebal padaku. "Saya memiliki hutang padanya dan saya ingin mengembalikannya."

"Tapi ...."

"Terima saja. Yang tahu jumlah uangnya hanya zio-mu. Itu bahkan belum seluruhnya. Nanti akan ku transfer berkala. Oh ya, saya juga ingin memperingatkanmu untuk berhati-hati dengan orang asing."

"Maksud anda, Pak?"

"Jaga dirimu baik-baik. Di dalamnya ada ponsel dan sudah ada nomorku. Kau bisa menghubungiku jika butuh bantuan apapun."

"Maaf, saya tidak bisa menerima ponsel yang anda berikan. Saya bahkan tak tahu nama anda."

"Saya Endrico. Dan Ardhy mengenal saya dengan baik. Jadi saya harap kamu percaya pada saya." Aku melihat-lihat amplop tebal berisi ponsel dan uang yang aku rasa cukup banyak jumlahnya.

"Maaf saya harus pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik dan ingat! Hubungi saja jika kau membutuhkan bantuan." Ia memperingatkanku, kemudian berlalu pergi.

Aku masih bingung, dan membiarkan dia pergi bergitu saja.

"Siapa?" Suara Haidar benar-benar mengagetkanku, aku segera menoleh ke arahnya.

"Seseorang yang memberikan ini padaku." Aku menunjukan sebuah amplop yang baru saja kudapatkan.

"Seseorang siapa?"

"Entahlah, dia mengaku kalau ia adalah rekan kerja zio."

"Menarik. Lalu apa isi amplop itu?"

"Uang dan ponsel," kataku masih dengan suara datar. Aku berbalik lalu berjalan ke arah meja makan tempat Fino dan Griz.

"Uang? Ponsel? Kau menerima itu semua dari orang asing?"

"Ada apa?" tanya Griz.

"Seseorang baru saja memberikannya ponsel dan uang tunai," ujar Haidar memberitahu Griz dan Fino.

"Apa itu benar?" Griz memastikaan.

Aku mengangguk untuk mengiyakan.

"Apa kau tak khawatir jika pria itu orang jahat?"

"Orang jahat macam apa yang memberikan uang tunai dan ponsel?" kata Fino

"Kau bodoh sekali, bisa saja pria itu menanamkan alat pelacak pada ponsel itu." Haidar tampak kesal.

Kami kembali duduk di depan meja makan, tapi kali ini telah bersih. Semua bekas makan kami sudah dipindahkan ke dapur, kemungkinan langsung di masukan ke mesin pencuci piring. Aku menuangkan semua isi amplop di atas meja. Mendapati uang ratusan ribu dengan jumlah yang sangat banyak, serta sebuah ponsel tipis berwarna hitam. Tipe terbaru dan aku tahu benar seberapa mahalnya benda ini.

"Wohooo .... " Fino tampak kagum, "Itu model terbaru?" tanyanya.

"Ya," jawabku.

"Wahh .... "

"Ayolah guys, kita tak bahkan tak tahu jika benda itu memiliki alat pelacak atau tidak," katanya sambil memutar-mutar dan melihat dengan seksama ponsel yang baru kudapatkan.

"Kau kenapa, Zack?" tanya Griz padaku, kurasa ia menyadari jika aku tengah berfikir keras saat ini.

"Pria itu sangat mirip dengan Zio."

"Hah?" Haidar tampak terkejut.

"Apa zio memiliki saudara selain ayahmu?" tanya Griz.

"Entahlah. Tapi kelihatannya ia mengenalku."

"Kau tadi tak bertanya pada orang itu?"

"Ia hanya mengatakan kalau dia rekan kerja zio."

"Baiklah. Anggap saja dia orang baik yang baru kau kenal. Salah satu rekan zio yang dengan senang hati memberikanmu uang dan ponsel setelah kepergian zio untuk menyokong hidupmu."

"Tapi, untuk apa ia membantuku? Aku bahkan tak mengenalnya."

"Harusnya kau tanyakan itu padanya tadi,"ketus Haidar.

TBC

---------------

Thanks for waiting this episode, hope you enjoy and willing to vote and comment.

If you find a mistakes grammar or typo, please inform the author.

Love you guys.
💕Vee Corvield💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top