Episode 15

DECEPTIVE


Happy reading.
--------------------

Semilir angin yang menerpa wajah, membuatku harus mengernyitkan mata guna menghindari kotoran masuk. Sudah 30 menit aku duduk di sini -- di tepi atap gedung A -- melihat seluruh area sekolah dan sekitarnya dari ketinggian tertinggi. Jam pelajaran akan dimulai 15 menit lagi, tapi rasanya sangat malas untuk masuk ke kelas. Meskipun tahu konsekuensinya akan rumit mengingat nanti akan diadakan ulangan harian.

Suara langkah kaki terdengar, semakin mendekat hingga kurasakan sentuhan di bahuku. Aku menoleh, dan melihat Griz yang tengah berdiri di belakangku dengan rambut yang berkelabat mengikuti arah angin.

Bagaimana dia bisa tahu kalau aku di sini?

Ia tersenyum, lalu ikut duduk bersama di tepi pinggiran gedung. Sebenarnya ini cukup berbahaya, tapi kami sudah terbiasa melakukan ini.

"Kenapa nggak masuk?" tanya Griz tanpa menoleh, ia manatap lurus ke depan.

"Nanti. Aku lagi menikmati angin segar di sini."

"Ada dua hal yang membuat seorang Zackhary Revelino mengunjungi tempat ini." Ia menaikan alis. "Pertama, karena marah dan yang kedua, karena sedih. Dan saat ini, kurasa kau ada di antara keduanya." Ia menoleh ke arahku.

"Sok tahu," jawabku spontan.

"Sudahlah, Zack. Percuma kau menghindari kami. Apalagi berpura-pura baik-baik saja padahal pikiranmu sedang kacau."

"8 menit lagi kelasku akan diadakan ulangan harian," kataku mengangkat jam tangan di pergelangan tangan. "Yuk! Kita masuk!"

"Kau menghindar lagi."

Aku diam, wajah putih bersihnya menampakan raut kekecewaan.

"Zack, saat aku melihatmu seperti ini ... rasanya aku jadi teringat beberapa tahun yang lalu. Kau ingat? Ketika aku masih duduk di bangku SMP?"

Aku mengangguk.

"Dulu, ketika mendengar kabar mengenai kematian kedua orang tuaku dalam kecelakaan pesawat ... rasanya hidupku juga ikut berakhir." Ia menunduk lalu memberikan jeda beberapa detik sebelum akhirnya melanjutkan ucapan. "Aku tak menyangka, mereka semua pergi secepat itu." Ia menoleh, kali ini matanya sedikit berlinang.

"Aku tak punya siapa-siapa lagi. Rasanya, keinginan terbesarku saat itu hanya untuk ikut bersama mereka dan meninggalkan dunia yang sepertinya tak begitu penting lagi untukku."

Aku tercekat, melihat sebutir air mata terjatuh di pipinya. Tanganku terangkat, refleks langsung mengusap air matanya dengan jempolku.

"Jangan dilanjutkan, jika itu hanya akan membuka luka lamamu."

"Tak apa. Kejadian itu bukanlah luka untukku, aku sadar ... mereka pergi lebih dulu karena Tuhan lebih sayang kepada mereka. Dan nyatanya, sekarang aku bisa hidup bahagia bersama keluarga baruku." Ia memberikan senyuman yang terlihat dipaksakan.

"Kau benar. Lambat laun, waktu pasti akan mengubah luka menjadi sebuah penjelasan yang membuat kita bisa mengerti apa hikmah di balik setiap kejadian buruk yang kita alami."

Griz mengangguk. Rambutnya menutupi wajah hingga membuat tangannya menyeka rambut yang mengganggu pandangan. Ia menoleh ke depan, lurus memandang sebuah bangunan yang menjulang tinggi. Entah apa yang ada di dalam pikiranan gadis ini sekarang. Kehidupannya benar-benar berat. Bisa dibilang hampir sama denganku. Orang tuanya meninggal dalam kecelakaan dan semenjak itu, ia tinggal bersama keluarga Fino. Fino adalah sepupu Griz dan itulah mengapa mereka sangat dekat. Keluarga Fino juga sangat baik kepada Griz.

"Masuk yuk!" Griz mengajakku. Kami berlalu meninggalkan atap bangunan ini.

Jam pelajaran berakhir, aku berhasil mengerjakan semua soal dengan percaya diri. Meskipun tanpa belajar sebelumnya, hanya mengandalkan memoriku saat Miss. Lisa menerangkan serta membaca beberapa artikel di web.

Aku berjalan ke luar kelas hingga seseorang menarik tasku. Aku terhenti dan menoleh ke belakang. Rupanya Haidar.

"Zack, kau pulang denganku ya?"

"Nggak usah, Dar. Lagi pula aku juga mau mampir dulu."

"Ngak papa. Aku temenin."

"Nggak usah. Maksih ya." Aku berusaha tersenyum ke arahnya kemudian berlalu meninggalkan Haidar. Melewatinya dengan langkah cepat.

Aku berdiri di sebuah halte bus. Menunggu bersama puluhan siswa lainnya agar bisa pulang ke rumah. Cuaca saat ini benar-benar mendung. Sebuah pertanda jika tak lama lagi akan terjadi hujan. Aku mengeluarkan ponsel dari saku blazer, berikut headset berwarna putih yang tampak sudah kusam. Membuka gulungganya, mencolokan ke ponsel lalu memasang bagian kepala headset ke telinga. Kugulirkan jari guna mencari list favorit kemudian menyalakannya.

Suara musik mulai mengalun indah. Beberapa detik kemudian terdengar suara Chris Martin yang begitu merdu.

When you try your best but you don't succeed

When you get what you want but not what you need

When you feel so tired but you can't sleep
Stuck in reverse

When the tears come streaming down your face

'Cause you lose something you can't replace

When you love someone but it goes to waste

Could it be worse?

Aku bersandar pada tiang, mendengarkan suara musik yang mengalun indah di telinga. Hujan tiba-tiba mengguyur, perlahan-lahan hingga akhirnya membesar. Semua siswa yang tadinya berdiri di tepian halte mundur beberapa langkah guna menghindari hujan.

Suara tetesan hujan yang membasahi bumi masih bisa teredam oleh headsetku, hanya petrikor -- aroma khas yang dihasilkan saat hujan jatuh di tanah kering -- yang tercium begitu menyengat di indera penciumanku. Aku tak begitu menyukainya.

Mataku teralihkan oleh sebuah mobil sedan berwarna silver yang tiba-tiba berhenti tepat di depanku. Tak lama si pengendara menurunkan kaca mobilnya. Menunduk lalu berteriak. Entah apa yang ia ucapkan, aku tak begitu mendengarnya. Karena penasaran, aku memperhatikan gerak-gerik orang itu. Rupanya ia mengenakan seragam polisi.

Tunggu, apa itu Pak Reno?

Aku melepas salah satu headset dari telingaku.

"Zack! Naik!" teriaknya. Rupanya dia memanggilku tadi.

Aku segera berlari ke arahnya. Meninggalkan kerumunan orang yang masih menunggu kedatangan bus yang belum juga datang. Begitu menutup pintu, aku langsung mengusap rambut yang basah akibat beberapa detik melewati hujan.

"Kuantar pulang ya?" Ia menawariku.

"Aku sudah di dalam," jawabku menoleh ke arahnya.

"Baik. Itu artinya kau mau," ujarnya lalu menginjak pedal gas. Membawaku meninggalkan halte.

Apa ini hanya keberuntungan? Atau ia memang berencana menjemputku dari sekolah hari ini?

"Bagaimana harimu?" Benar-benar pertanyaan klise. Kenapa orang dewasa begitu sulit memulai pembicaraan dengan hal-hal yang menarik.

"Seperti biasa," jawabku singkat.

"Kau lapar, Zack?"

"Ya. Itulah alasan kenapa aku berusaha pulang cepat-cepat."

"Kenapa kau tak pulang bersama temanmu, si ...." Ia tampak berusaha mengingat-ingat. "Siapa namanya?" Akhirnya ia menyerah.

"Haidar?"

"Ya, kelihatannya dia sangat baik."

"Tentu."

"Kau belum menjawab pertanyaanku tadi."

Aku menengok ke arah embun yang menempel di permukaan kaca jendela, lalu menjawab, "aku hanya tak suka merepotkan orang."

"Pemikiran yang bagus," katanya lalu berbelok. Ia menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah restoran.

"Kita makan di sini ya. Aku yang traktir."

"Tak usah, Pak. Aku hanya ingin pulang."

"Ayolah ... tak baik, menolak pemberian orang," ucapnya lalu keluar dari mobil. Mau tak mau aku mengikutinya. Lagi pula dia yang memaksa.

Kami berlari melewati hujan yang masih cukup deras untuk sampai di pintu masuk. Pak Reno memesan dua spageti Bolognese. Satu untukku dan satu untuknya, serta dua gelas lemon tea.

Kami menikmatinya dengan lahap sembari menunggu hujan reda. Sesekali ia menanyakan hal-hal mengenaiku. Seperti kegiatanku di sekolah, hobiku, dan beberapa hal yang tak terlalu penting lainnya.

"Zack, kau mau dengar perkembangan kasus Ardhy?" Ini yang dari tadi kutunggu. Aku menatap antusias. Penasaran, apa dia benar-benar menemukan bukti valid jika Pak Adam a.k.a Pak Endrico adalah dalang di balik semua ini.

"Kami berhasil mengidentikasi pria yang waktu itu kutunjukan padamu." Ini dia. "Namanya Adam. Dia adalah anggota TNI yang pernah ditugaskan di daerah konflik Afganistan 17 tahun yang lalu. Dikabarkan meninggal setelah bertugas di sana selama satu bulan. Beberapa tahun kemudian, dia tertangkap kamera di New york, Swiss dan Paris. Dari beberapa informasi yang kami terima, kemungkinan besar saat ia menghilang, para taliban merekrutnya. Terbukti saat terjadi aksi teror di beberapa tempat, ia tertangkap kamera saat berada di sana."

"Lalu, apa hubungannya dengan Zio?"

"Dari informasi yang kudapat, Ardhy memiliki file berisi data yang sangat penting dan disembunyikan dari instansi kepolisian. Sebuah data yang berisi kegiatan spionase. Inilah mengapa aku butuh bantuanmu, Zack."

"Spionase? Apa kau yakin ini masih dalam kewenangan kepolisian? Bukankah seharusnya BIN yang menanganinya?

"Ini karena berhubungan dengan kasus yang tengah kami tangani Zack. Kematian Ardhy."

"Lalu apa yang anda inginkan dari saya?"

"Kau pasti sudah tahu apa yang kuinginkan." Ia menaikan alis.

"Mencari file itu?"

Ia mengangguk. "Aku yakin jika Ardhy menyimpannya di rumah atau di tempat yang hanya dia yang mengetahuinya. Tapi, aku juga berpikir kalau kau juga tahu mengenai tempat semacam itu."

"Tunggu pak, yang kuinginkan hanyalah kasus zio terselesaikan. Siapa yang membunuhnya dan apa motifnya, lalu menangkap orang itu agar dia bisa membayar apa yang telah ia lakukan. Hanya itu. Megenai file yang anda maksud, saya rasa itu bukan urusan saya."

"Kasus ini tak semudah yang kau pikirkan, Zack. Kasus ini adalah akar dari masalah yang lebih besar. Dan jika kau mau bekerja sama dengan kami. Kau bisa mendapatkan track record yang baik sebelum kau menjadi polisi."

"Lalu, jika aku berhasil menemukan file itu, apa yang akan anda lakukan? Dan kira-kira apa isi dari file itu?"

"Tentu kami akan membukanya, dan mencari tahu apa isi file itu."

"Jadi, anda benar-benar tak tahu mengenai isi dari file itu?"

"Dugaanku, ini berkaitan dengan jaringan teroris yang ada di Indonesia, atau bisa juga lebih dari itu. Yang kami butuhkan sekarang hanya file itu. Itu adalah kunci dari segalanya."

"Maksud anda? Ada kemungkinan jika zio dibunuh oleh orang bernama Adam yang kemungkinan merupakan anggota terorist?"

"Bukan tidak mungkin itu terjadi."

"Tapi maaf pak, saya tak mau terlibat lebih jauh dengan masalah ini. Itu sudah di luar kemampuan saya."

"Kau hanya membantu kami, para polisi dengan mencari file itu."

"Dua kali saya hampir mati karena dituduh menyimpan file itu. Maaf pak, saya pulang dulu. Lagi pula hujan sudah reda. Terima kasih atas makanannya" Aku meninggalkan percakapan yang belum selesai.

"Zack!! Apa maksudmu?" Aku tak mengindahkan teriakannya. Hanya berjalan terus ke luar restoran.

Aku menghentikan taksi, lalu menaikinya. Penjelasan dari Pak Reno benar-benar kontradiksi dengan apa yang dijelaskan Pak Endrico. Entah yang mana yang harus kupercaya. Aku yakin betul jika Pak Endrico mendengar percakapan ini sekarang. Tunggu saja apa yang akan ia jelaskan padaku mengenai ucapan Pak Reno. Mengenai flashdisk itu, aku tak akan pernah menyerahkan kepada Pak Reno atau siapapun. Sebelum aku tahu betul isinya.

Aku memberikan uang seratus ribu kepada supir taxi lalu berjalan menuju rumah.

"Mas! Mas ...." aku menoleh. "Kembaliannya!" Ia mengacungkan uang kembalian di tangannya.

"Ambil saja, Pak!"

"Terima kasih, Mas," ucapnya. Aku membalasnya dengan senyuman. Kemudian kembali melangkah menuju pintu depan yang tampak ...

Tak terkunci?

Aku ingat betul, tadi pagi aku menguncinya sebelum pergi ke sekolah bersama Haidar. Bagaimana bisa terbuka? Aku membuka pintu perlahan. Melihat-lihat sekeliling dan berjalan menuju kamar zio. Pintu kamarnya tampak tak tertutup sempurna dan aku yakin betul ketika terakhir kali masuk, aku langsung menguncinya. Seseorang baru saja memasuki rumah ini. Aku yakin itu. Instingku memberi isyarat untuk lebih waspada. Bukan tak mungkin jika seseorang masih berada di dalam rumah ini.

Aku membuka perlahan kamar zio, lalu memindai sekeliling. Kamar ini benar-benar berbeda. Letak-letak benda di kamar ini sangat berbeda dari yang terakhir kali aku lihat.

Arghhh...

Aku jatuh terjerembab. Seseorang baru saja menendang punggungku dari belakang. Aku langsung berbalik. Tampak jika seorang pria bertudung hitam serta memakai penutup mulut tengah berdiri melihat ke arahku. Aku langsung melakukan kick up kemudian berancang-ancang jika pria itu tiba-tiba menyerang. Rasa sakit masih kurasakan di dada serta punggungku tapi kuabaikan agar bisa fokus terhadap pria di depanku.

"Apa yang kau lakukan di rumahku?"

Pria itu hanya diam, menatapku intens dan menaikan alis. Dengan tiba-tiba ia menyerangku, membabi buta hingga aku cukup kewalahan untuk menghalau serangannya. Pria ini benar-benar sangat kuat. Aku terpojok di lantai setelah ia menendang perutku. Berusaha bangun dengan tubuhku yang terasa sakit semua. Hidungku mimisan dan mulutku berdarah. Setelah berhasil berdiri tegak, pria itu mengeluarkan sebilah pisau lalu menyerangku dengan gerakan tak terduga.

-TBC-

-------
Silahkan berspekulasi. Hehe ...
Dan maaf jika updatenya telat.

Jika ada masukan dan saran silahkan komentar, dan jika suka silahkan Vote. 1 vote dan comment dapat membantu menyemangati penulis untuk menyelesaikan karyanya.
Salam sayang. :)

Vee corvield.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top