Episode 14
ORIGIN
|18/12/27|
Aku berdiri melihat pantulan diriku di cermin, sudah rapi dengan seragam sekolah ; blazer hitam dan dasi hitam bergaris biru yang melingkar di kerah baju. Kugunakan jari untuk merapihkan rambut coklatku yang sedikit berantakan, tentu tanpa menggunakan gel atau semacamnya karena aku lebih suka tatanan natural.
Menatap wajahku sendiri, rasanya aku jadi teringat dengan zio. Wajahku mirip dengannya apalagi di bagian bibir dan mata. Warna mata kami sama, berwarna abu-abu yang mengindikasikan bahwa kami bukan keturunan asli Indonesia.
Kakekku adalah orang Italia, dan nenekku berasal dari Jawa. Tak selesai sampai di situ, ayahku juga menikah dengan wanita berkewarganegaraan Perancis. Seorang jurnalis berparas cantik yang membuat ayahku jatuh hati padanya.
Ayah adalah seorang anggota TNI berangkat letnan satu yang ditugaskan untuk mengamankan jalannya demonstrasi di Jakarta waktu itu, dan dari situlah awal pertemuan mereka.
Singkat cerita, mereka menikah. Ibu menetap di Indonesia dan meninggalkan karirnya sebagai jurnalis. Setelah satu tahun pernikahan akhirnya ibu mengandungku. Ia merawatku dengan penuh kasih sayang setidaknya hingga usiaku 5 bulan. Ya, hanya sampai usia itu aku bisa merasakan dekapan hangat sosok bernama ibu.
Ibu tewas dibunuh di rumahnya sendiri dan di depan mataku. Usiaku saat itu masih sangat kecil untuk bisa memahami situasi yang terjadi. Hanya bisa menangis karena merasa jika orang yang sangat disayangi tak akan pernah kembali. Warga yang mendengar suara tembakan berhamburan menyelidiki sumber suara dan menemukan ibu yang sudah tak bernyawa dengan luka tembak di dadanya.
Sejak kejadian itu, ayah merawatku seorang diri, sebelum akhirnya ditugaskan ke daerah konflik dan aku dititipkan kepada zio. Beberapa bulan tak ada kabar akhirnya ia dikabarkan tewas. Jenazahnya dibawa ke rumah zio dengan kondisi hampir tak bisa dikenali, hanya berbekal tes laboratorium yang menunjukan jika jenazah itu adalah ayahku, Alan Wiryawan. Ia meninggal akibat ditembak di bagian perut dan dada, selain itu ada bekas penganiayaan di kepala hingga nyaris pecah, menurut keterangan polisi ia ditemukan di sungai setelah beberapa hari hilang kontak.
Sial. Pagi-pagi seperti ini aku malah mengingat masa laluku yang benar-benar kelam. Tak sampai di situ saja, di saat aku sedang bahagia-bahagianya bersama zio tuhan juga mengambilnya. Ia benar-benar mengambil semua orang yang kusayangi.
Kenapa tuhan tak mengambil nyawaku saja malam itu? Bukankah aku keluar beberapa detik sesaat setelah zio ditembak? kenapa si pembunuh itu tak menembakku saja dan mengakhiri hidupku?
Air mataku berlinang. Masih terus memandangi wajah menyedihkan ini. Tiba-tiba pintu kamar terbuka, cepat-cepat aku menghapus air mataku, lalu menoleh.
Haidar?
"Kau menangis?" Haidar mendekat ke arahku.
Secara reflek aku langsung memeluknya, sangat erat. Aku benar-benar bingung. Kenapa emosiku tak stabil pagi ini?
"Tak apa, Zack." Ia membalas pelukanku, pelukan seorang sahabat yang memberikan dukungan moril. Ya, aku sadar. Ternyata aku memang sangat membutuhkannya.
Air mataku mengalir, terjun bebas mendarat di bahu Haidar. Ia mengelus punggungku, menenangkanku dari emosi yang tak stabil.
"Kenapa Tuhan nggak adil, Dar? Kenapa dia ngambil semua yang aku punya?"
"Sob. Kau lupa? Masih punya aku, Fino dan Griz? Kami semua sahabatmu."
"Kenapa dia nggak ambil nyawaku sekalian waktu itu?"
Haidar hanya diam, kurasa bingung harus menenangkanku dengan cara apa lagi.
"Untuk saat ini, kau jangan dekat-dekat denganku dulu ya, Dar?" Aku melepaskan pelukan lalu menghapus air mata di wajahku dengan punggung tangan.
"Kenapa?" Ia tampak bingung dengan pernyataanku barusan.
"Aku nggak mau kalian semua dalam bahaya," kataku, lalu mengambil ponsel pemberian Pak Endrico di atas meja kemudian mengantonginya.
"Benar dugaanku. Kau menyembunyikan sesuatu dari kami."
Aku mengangguk, "tapi aku nggak bisa menceritakan semuanya ke kalian. Terlalu berbahaya."
"Pak Endrico?"
"Bukan."
"Lalu siapa?"
Aku hanya diam. Hingga akhirnya Haidar tampak tak sabar dan menarik tanganku untuk keluar rumah. Refleks aku langsung menyambar tas yang ada di atas meja.
"Kita telat!" ujarnya sambil menyalakan motor. "Tunggu apa lagi? Naik!"
"Helm?"
"Aku nggak bawa."
"Bagus," kataku lalu menaiki motor hitamnya.
Namanya Rosi, dia adalah kekasih Haidar. Yah, memang otaknya sudah sedikit gila. Ia lebih memilih mengencani seekor motor dibanding wanita cantik yang tersebar di Pandu.
Haidar benar-benar membawaku seperti orang kesetanan, dengan lihainya ia menyelip kendaraan-kendaraan lain yang menghalangi jalannya. Aku berusaha tenang, menahan tanganku untuk tak memeluknya layaknya seorang wanita yang dibonceng laki-laki.
Selama perjalanan, tak ada percakapan di antara kami karena suasana hatiku benar-benar sedang buruk. Bagaimana bisa aku kembali mengingat orang tuaku yang bahkan sejak kecil sudah diceritakan zio, bahwa mereka sudah tak ada. Aku bahkan belum pernah sekalipun melihat wajah mereka. Karena semua kenangan berkaitan dengan mereka sudah terbakar di rumah ayah.
Zio? Entahlah ia memilih untuk tak pernah memperlihatkannya padaku. Katanya itu hanya akan mengganggu psikisku saja dan membiarkanku hanya mengingat zio sebagai orang tuaku. Meskipun begitu, zio tak pernah menghindar jika aku memintanya untuk menceritakan perihal orang tuaku.
Kami sampai di parkiran SMA Pandu (pancasika dua), dan berjalan beriringan hingga sampai di kelas. Haidar duduk di sampingku, lalu mulai menatapku curiga. Tentu, aku tahu sifat anak ini. Dia tak akan pernah berhenti bertanya jika belum menemukan jawaban yang ia inginkan.
"Ceritakan atau aku cari tahu sendiri!"
"Cari tahu saja sendiri! Lagi pula kau tak akan pernah menemukan apa yang kau mau."
"Oh benarkah? Lalu bagaimana dengan pria yang menjemputmu kemarin?"
Aku membelalak mendengar ucapannya barusan. Bagaimana dia bisa tahu?
"Kau mengawasiku?"
"Wajar jika aku khawatir padamu, kita sudah seperti saudara dan kau bahkan tak mau menceritakan masalahmu."
"Terlalu berbahaya, Dar. Aku nggak mau kalau kamu atau yang lain celaka."
"Lalu, kau pikir aku akan membiarkanmu menanggung beban berat itu sendiri?"
"Ak ... " Haidar memotong ucapanku.
"Aku tahu, sejak kematian zio hidupmu telah berubah. Bukan hanya soal kehilangan sosok Ayah, tapi lebih dari itu ... kau memiliki masalah yang bersumber dari zio."
"Kau ... "
"Diam! Biarkan aku bicara!" tegasnya. Aku mengantupkan bibir lalu kembali mendengarkan ucapannya. "Aku tahu, zio seorang polisi hebat. Karirnya begitu cemerlang dan kau pasti juga tahu, di balik semua itu ada sisi gelap yang harus ditanggung oleh seorang polisi yaitu dendam."
"Ini bukan soal dendam. Lebih kompleks. Dan ... hidupku sudah benar-benar berantakan. Jadi, jauhi aku, demi keselamatanmu."
Aku beranjak dari kursi, lalu berpindah tempat duduk di bangku paling belakang.
Haidar menoleh ke arahku, menatapku dengan tatapan aneh tapi aku hanya mengabaikannya. Ini yang terbaik.
-TBC-
Ada yang mau ngasih dukungan moril gak buat Zack? Biar dia lebih kuat menjalani hidupnya yang berantakan.
-------------
Btw, makasih ya ... yang udah nyempetin baca chapter ini. Dan maaf juga updatenya tengah malam. Krn emang baru selesai direvisi. Oh ya, kalau ada kesalahan silahkn komen aja yah. Biar bisa saya perbaiki secepatnya. Kritik dan saran sangat dibutuhkan untuk perkembangan menulis saya. So, jgn sungkan untuk memberikan krisan.
Silahkan vote jika menyukai ceritanya. Okay.
Selamat malam ...
Salam sayang,
❤
Vee Corvield
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top