Episode 1

(Open up file media if you wanna feel the emotion deeply)

|12/12/27|

"Kita terlahir dengan cara yang sama, namun kematian menjemput dengan berbagai cara. -Anonim"

Suara letusan tembakan penghormatan mengiringi prosesi pemakaman *zio, seluruh jajaran kepolisian tempatnya bekerja turut menghadiri pemakaman yang berlangsung hikmat ini, meskipun hujan tiba-tiba datang dengan derasnya tapi tak mengurangi sedikitpun kehikmatan prosesi pemakaman.

Aku mengenal beberapa orang dari mereka, karena dulu aku pernah diajak makan bersama dengan rekan-rekan kerja zio termasuk seorang wanita berpangkat AKP bernama Almira. Kesedihan tergambar jelas di wajahnya sementara tubuhnya basah kuyup akibat hujan deras yang mengguyur.

Ia adalah wanita yang sering diceritakan oleh zio, cantik, cerdas dan tangguh. Aku ingat beberapa hari lalu, zio mengatakan kalau ia akan melamar wanita itu. Tapi, takdir berkata lain. Ia terlebih dahulu dipanggil oleh Sang Kuasa, impiannya untuk kembali membangun rumah tangga akhirnya terkubur bersama jasadnya.

Menit-menit berlalu, jenazah zio baru saja selesai dikebumikan. Aku berlutut di samping gundukan tanah basah yang baru saja selesai ditimbun. Tanganku mengelus nisan bertuliskan Ardhy Wiryawan yang tertancap kokoh di atas tanah sambil menangis meratapi kepergiannya. Untung saja hujan dapat menyamarkan air mataku yang terus saja mengalir. Aku sadar kondisiku saat ini sangat menyedihkan karena tak dapat berpura-pura tabah dengan kejadian ini. Aku tak bisa menyembunyikan rasa kehilangan sekaligus rasa penyesalanku atas meninggalnya zio.

Jika aku dapat memutar kembali waktu, mungkin yang kulakukan adalah kembali ke malam sebelum kejadian itu terjadi, lalu menahan zio agar tetap berada di rumah.

Hingga saat ini, aku masih tak percaya dengan kejadian yang baru saja menimpaku. Berharap semoga saja, ini hanyalah ulah iseng zio yang mengerjaiku.
Aku berharap jika ternyata dia tiba-tiba ada di belakangku, lalu mengagetkanku. Aku akan dengan senang hati memukulnya sambil menangis bahagia karena itu hanya ulah sintingnya yang mengerjaiku.

Tapi, kurasa imajinasiku terlalu tinggi. Harapanku terlalu berlebihan karena kejadian yang saat ini terjadi adalah nyata. Dia tak akan pernah kembali, meninggalkanku sendirian di dunia yang menyebalkan ini.

Gambaran-gambaran kejadian mengerikan kemarin kembali teringat, bercampur dengan beberapa kenangan indah yang kulalui bersama zio. Semua bagaikan cuplikan film yang diputar secara cepat. Tak terlalu jelas tapi cukup mengingatkanku akan kenangan-kenangan bersama zio.

Saat ini kurasakan denyutan di kepalaku. Tak begitu kuat tapi cukup untuk membuat tangan kananku refleks menekan pelipisku dengan jempol dan jari tengah selama beberapa saat untuk menghalau sakitnya.

Kurasakan sebuah tangan mengelus punggungku, seketika juga air hujan berhenti mengguyur akibat payung yang menghalau air hujan sampai di tubuhku. Aku menoleh ke kanan dan mendapati Griz yang berlutut memayungiku. Wajahnya tampak sedih dengan air mata yang belum sempat diusapnya. Aku ingin sekali mengusapnya, tetapi tanganku kotor akibat tanah liat yang menempel.

Aku yakin orang-orang yang berada di sini menatapku iba, mungkin berpikir mengenai apa yang akan kulakukan setelah kepergian zio mengingat aku tak memiliki satupun keluarga selain dirinya. Aku bahkan tak memikirkan hal itu sejak tadi, karena yang kuinginkan hanyalah bangun dari mimpi burukku, keluar kamar dan memeluk zio lalu berkata kalau aku menyayanginya. Kurasa aku mulai gila, tenggelam dalam imajinasi liarku, berusaha mengelak dari kenyataan yang ada.

"Kita harus pulang, Zack!" Suara lembut Griz terdengar di antara derasnya suara hujan. Aku menengok ke belakang, satu persatu orang telah meninggalkan tempat ini, hanya tersisa beberapa yang masih setia untuk berbasah kuyup menemaniku sebagai bentuk empati.

"Aku masih mau di sini, kau duluan saja!" ucapku menolak ajakan Griz.

"Aku akan tetap di sini, menemanimu," katanya lembut.

Sebenarnya aku sendiri tak tahu apa yang akan kulakukan di tempat ini, mengingat seberapa lama pun aku mendiami tempat ini tak akan pernah bisa merubah keadaan. Zio tetap tak akan kembali.

"Bapak pergi dulu, Nak. Kau bisa menelfon bapak jika kau butuh apa saja," ujar Pak Budi yang terlihat basah kuyup meski ia menggunakan payung hitam. Dia adalah wali kelasku, ia datang bersama beberapa perwakilan sekolah dan teman-teman sekelasku.

"Terima kasih, Pak." Aku membalas ucapannya.

Kepergian Pak Budi diikuti oleh orang-orang yang tersisa, entah berapa orang yang masih setia menemaniku saat ini. Aku tak terlalu perduli mengingat keberadaan mereka juga tak terlalu membantu mengatasi rasa kehilanganku. Tapi aku sadar jika mereka hadir sebagai bentuk solidaritas serta memberikan dukungan moril padaku. Aku menghargainya.

"Kami akan segera mengusut kematian Ardhy. Saya atau yang lainnya akan memberikan kabar setelah ada perkembangan kasus."

"Terimakasih, pak."

"Kau harus tabah, saya yakin kau pasti bisa melewati semua ini. Jangan sungkan untuk mampir ke kantor karena kami semua juga keluargamu."

Aku tak mengucapkan sepatah katapun pada Pak Reno, dia adalah rekan kerja zio yang kurasa sangat dekat dengannya. Ia juga beberapa kali mampir ke rumahku untuk sekedar bertamu.

"Saya pergi dulu, Zack."

"Terima kasih," ucapku padanya.

Mataku masih belum bisa kulepaskan dari batu nisan zio. Tiba-tiba aku teringat akan rencana kami yang belum terlaksana. Misalnya saja, ia berjanji untuk mengajakku liburan saat libur semester ini ke Bali, membuat perayaan besar-besaran ketika kelulusanku dari SMA tahun depan, dan rencana-rencan lain yang telah kami siapkan.

Kini semua itu lenyap, rencana-rencana itu tak akan mungkin terealisasi karena dia telah tiada. Ini benar-benar tak adil bagiku.

"Kita pulang ya? Nanti kau sakit," bujuknya.

"Aku bahkan tak perduli jika aku mati sekalipun." Aku benar-benar tak bisa mengontrol ucapanku saat ini.

"Kau tak boleh bicara seperti itu, kau masih punya kami. Kami akan selalu ada di sampingmu." Griz mencoba menenangkanku. Tapi kurasa itu tak terlalu membantu. Pikiranku kacau saat ini, penuh dengan spekulasi-spekulasi abstrak yang tak akan bisa dijelaskan kepada siapapun.

Aku berdiri, lalu mendapati Fino dan Haidar yang tengah berdiri beberapa meter dari posisiku, membiarkan tubuh mereka diguyur hujan sedari tadi.

Netraku menangkap sesosok pria berjaket hitam tengah berdiri di samping pohon.

Siapa itu?

Aku menyipitkan mata guna melihatnya dengan jelas, tapi percuma saja. Derasnya hujan membuat jarak pandang menurun dan aku gagal untuk melihat wajah pria itu.

"Zack?" Suara Griz terdengar.

"Iya?" jawabku spontan sembari menoleh.

"Kau melihat apa?"

"hanya ...." aku kembali menoleh ke arah pohon tempat pria tadi berdiri. Tapi tak ada siapapun, hanya sebuah pohon.

kemana pria itu pergi?

"Zack?"

"Tak ada apa-apa. Kita pulang!" jawabku.

Aku melangkah pergi meninggalkan peristirahatan terakhir Zio.

Semoga kau tenang di sana, aku berjanji akan menyelesaikan semua ini. Aku janji.

Fino dan Haidar tiba-tiba mendekat, lalu merangkul pundakku sebagai bentuk empati atas apa yang baru saja menimpaku. Aku hanya tersenyum kecut ke arah mereka lalu berjalan pergi meninggalkan makam.

-Tbc-

*) Zio : Paman, berasal dari bahasa Italia.

--------------- ---------------- --------------

Hi semuanya!!
Kali ini saya membuat cerita dengan tema yang berbeda dari novel sebelumnya. Sebenarnya cerita ini sudah saya buat sejak masih SMA menggunakan buku tulis, tapi berhubung buku saya hilang jadi saya harus menulis ulang semuanya. Membuka kembali memory lama dan merubah beberapa story line.

Semoga kalian suka dengan cerita ini, oh ya, jika nemu kesalahan kaidah bahasa atau ejaan, jangan sungkan untuk memberikan komentar ya ....

Jangan lupa untuk vote dan comment, karena itu sangat berarti bagi penulis.

Salam sayang.

Vee Corvield 😊💕💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top