Z DNA
"I can't leave but I can't stay. I don't know, why some things have to be this way."
***
Malam bergulir begitu mencekam. Bayangan pencakar langit samar terlihat dibalik jendela yang berderak. Setengah kaca atasnya pecah, mengundang masuk badai musim dingin yang mengamuk di luar.
"Hatchi!" Alexis menggosok hidungnya yang memerah. Ini sudah bersin yang kesembilan kalinya.
Ia merapatkan lagi coat-nya, tapi masih menggigil. Ia mencoba meringkuk sedemikian rupa di atas kasur tipis. Tetap tidak membantu. Alexis butuh selimut tebal, namun semuanya sudah dipakai oleh adik-adiknya. Bahkan ia harus berdempetan di ruang tengah dengan ibu dan lima adiknya.
Tidak ada cukup tempat untuk kamar. Rumah ini terlalu kecil untuk menampung satu ruangan lagi---yang menurutnya begitu mewah. Keluarganya miskin, untuk mencari makan saja mereka kesulitan. Bayangkan saja. Tujuh mulut untuk dua kali makan. Jarang sekali tiga.
Waktu menunjukkan pukul delapan. Alexis kelelahan dan berusaha untuk tidur. Tapi tidak bisa. Kali ini tangisan Ed---adik keempatnya yang berumur lima tahun---gantian mengusik tidurnya.
"Mom! Mom!" Ed terus merengek, entah apa sebabnya.
Alexis mau tak mau bangun dan berjongkok di depan Ed. "Hei, jagoan. Ada apa?"
Bukannya menjawab, tangisannya malah semakin kencang. Seketika Alexis kelabakan, takut ibunya bangun. Trang! Terlambat. Piring aluminium terlanjur melayang membentur dinding di belakang Alexis.
"Mom!" Alexis berseru terkejut.
"Bisakah kalian diam!? Apa kalian tahu aku sedang berusaha untuk tidur!?" Sosok seorang wanita menatap tajam Alexis dan Ed.
Alexis memeluk Ed, berusaha menenangkan tangisan adiknya yang mengeras. Perlahan, Alexis kembali menghadap ke arah ibunya. "M-maaf, mom. Tapi Ed terus memanggil mom."
Kondisi wanita itu kacau. Matanya memerah, menatap marah seakan ingin melenyapkan mereka berdua dari Bumi. Ed memeluk Alexis lebih erat. Tangisannya sudah berhasil ia hentikan, tetapi rasa takut langsung menyerang hatinya.
"Aku tidak mau mendengarnya sekarang. Katakan saja besok. Kalian benar-benar mengganggu tidurku dengan suara kalian!"
Mengabaikan Alexis dan Ed, wanita itu kembali melanjutkan tidurnya dengan membelakangi anak-anaknya. Alexis menatap sosok ibunya dengan sedih. Ia mengembalikan fokus pada Ed yang sekarang tubuhnya tengah gemetar di pelukan.
Alexis mengelus punggung Ed dengan lembut. "Tidak apa-apa. Besok mom pasti tidak akan marah lagi. Katakan apa pun yang ingin kau katakan besok saja, ya? Sekarang tidurlah."
Ed mengangguk. Alexis tersenyum dan menidurkan Ed kembali di sampingnya. Ia mengelus rambut Ed. Setelah memastikan Ed telah tertidur, Alexis terdiam. Pikirannya benar-benar pusing setelah menerima amarah singkat dari Ibunya.
"Sepertinya lebih baik aku mendinginkan kepala terlebih dahulu di luar...." Alexis berbisik sembari berdiri dan berjalan keluar. Tidak lupa ia memperbaiki posisi coat-nya.
Begitu membuka pintu, hawa dingin segera menyerang Alexis. Alexis mengeratkan coat-nya kembali.
Alexis berjalan di atas salju yang tebal. Seluruh jangkauan pandangannya hanya putih dan kabut. Suasana sangat sepi. Semua orang tentu saja memilih bergelung di rumah masing-masing, dibanding berjalan di tengah badai salju seperti yang Alexis lakukan.
Ketika suhu mulai semakin turun, Alexis mulai berpikir bahwa ada baiknya kembali ke rumah sekarang. Alexis berbalik, hendak kembali ke dalam rumah. Saat itulah, sesuatu menarik perhatian Alexis. Sebuah kertas selebaran terletak tepat di depan pintu rumahnya. Kertas tersebut tertahan dengan batang kayu pohon kecil di dekat pintu.
"Apa ... ini?" Alexis berbicara sambil mengambil kertas tersebut.
Beberapa detik Alexis hanya terdiam memandangi kertas tersebut. Namun karena suasana yang semakin dingin, ia pun segera masuk ke dalam rumah dengan membawa kertas selebaran tersebut.
***
Ada yang membuat gadis itu merasa tertarik. Yaitu dengan sejumlah uang yang ditawarkan di sana. Bagaimana mungkin ia bisa tidak tertarik. Dengan keadaan keluarganya yang miskin juga kondisi yang kurang menguntungkan, nominal itu pasti akan sangat berguna.
Alexis membaca setiap tulisan di kertas itu, ia mencermatinya dengan saksama. Tertulis di sana bahwa siapa pun yang ingin mendapatkan sejumlah uang, harus mau mengikuti sebuah eksperimen dalam artian lain---menjadi kelinci percobaan.
Alexis terdiam sesaat. Ia berpikir apakah percobaan tersebut akan berdampak buruk baginya. Tapi, uang yang ditawarkan sangat banyak.
"Syarat ketiga, percobaan ini hanya boleh diikutsertakan oleh laki-laki saja...." Alexis membaca dengan suara pelan. Satu lagi syarat untuk ikut dalam percobaan tersebut.
Alexis berpikir keras, ia ingin ikut dalam percobaan itu untuk mendapatkan uang. Tapi sayangnya ia seorang perempuan. Alexis menghela napasnya panjang. Ia memasukkan kertas selebaran itu ke dalam kantong dengan asal. Lalu merebahkan dirinya, berniat untuk tidur saja. Toh, ia tidak akan bisa ikut percobaan tersebut.
Namun satu ide terlintas di otaknya begitu saja.
"Kenapa ... aku tidak menyamar saja?" gumam Alexis yang berbicara pada dirinya sendiri. Ia melirik ke arah ibu dan kelima adiknya, untung tidak ada yang terbangun mendengar suaranya.
Alexis kembali terduduk dan melihat ulang tulisan di kertas selebaran tersebut, senyum gadis itu terlihat walau hanya sekilas.
"Aku akan ikut percobaan ini."
***
Alexis terpaku menatap cermin yang memantulkan refleksi wajahnya. Tangan kanannya memegang gunting dengan erat, tetapi sepintas rasa ragu menyelusup hatinya. Ia kembali melihat ke arah luar rumah. Warna jingga mulai menguasai angkasa, menandakan sebentar lagi pagi akan tiba. Ia tidak punya waktu banyak. Sebelum pagi tiba, ia harus meninggalkan rumah dengan alasan bekerja.
"Tidak boleh ada keraguan dalam hatimu, Alexis." rapalnya dalam hati.
Ia mengangkat gunting tersebut, memotong rambut burgundy-nya dengan sangat hati-hati. Gadis itu kembali meringis. Apakah dia akan selamat? Apakah dia bisa bertemu kembali dengan adik-adiknya? Alexis sama sekali tidak tahu. Yang jelas, ia membutuhkan uang tersebut bila ingin adik-adiknya hidup bahagia.
Alexis memejamkan mata sejenak, membayangkan adik-adiknya. Pasti mereka akan tersenyum senang bila mendapat kehidupan yang lebih makmur. "Tidak ada pilihan untuk mundur lagi."
"Kakak?" Alexis membeku. Ia menoleh patah-patah ke arah Ed, seolah-olah ia baru saja tertangkap basah mencuri. "Kakak mau ke mana? Kenapa bangun pagi sekali?"
Alexis tertawa canggung sambil menyelipkan gunting yang sejak tadi ia pegang ke dalam saku celana. "Kakak hanya ingin mencari suasana baru. Jagoan kakak harus kembali tidur. Ini masih terlalu pagi."
Alexis mengusap puncak kepala Ed dengan penuh kasih. Ed mengangguk lalu kembali berbaring. "Janji akan segera kembali?"
Alexis menatap Ed dengan sedih. "Tentu, jagoan."
Setelahnya ia pergi ke arah tempat yang sejak kemarin membayangi pikirannya. Laboratorium di mana ia akan menjadi kelinci percobaan.
***
"Permisi...." Alexis mengetuk pintu dari sebuah gedung yang sudah tua. Hening. "Permisi!" ulangnya berteriak lebih keras---memastikan sekaligus, bahwa suaranya terdengar seperti lelaki.
Pintu besi tersebut berderit pelan ketika dibuka oleh seorang pria paruh baya. Kedua netra gelap pria tersebut menatap tajam Alexis dari atas sampai bawah. "Apa maumu, nak?"
Alexis mengeluarkan selebaran yang kemarin ditemukannya. "Soal tawaran ini. Apakah masih berlaku?" tanyanya datar, sekeras mungkin menyembunyikan harapannya.
Pria itu tersenyum picik, kemudian membuka pintu besi tersebut dengan lebih lebar. "Silakan masuk. Kita bisa membicarakannya lebih lanjut di dalam." Pria itu bergeser ke kanan, memberi ruang agar Alexis dapat masuk. "Diluar pasti terlalu dingin untuk bocah kurus sepertimu."
"Terima kasih." Alexis mengernyit, tapi tidak membantah.
Ia memang kedinginan, dan tentu saja tidak akan menyia-nyiakan tawaran itu untuk melangkah masuk. Oleh sang pria bernama Profesor Wilson, Alexis dibimbing menuju sebuah ruangan kecil dengan dua buah kursi dan satu meja.
"Duduklah di sini dan silakan nikmati tehnya." Profesor Wilson menuangkan secangkir teh untuk Alexis, kemudian meninggalkan ruangan.
"Laboratorium seperti apa ini…?" Alexis menyeruput teh yang tadi disajikan, lantas menatap seisi ruangan. "Terlalu sepi untuk sebuah laboratorium."
"Ini hanyalah ruangan bagiku untuk berpikir. Laboratoriumnya ada di sana." Profesor Wilson menunjuk ke arah pintu besi lainnya, lalu meletakkan secarik kertas di atas meja. "Tulis namamu dan tanda tangan. Setelah itu, kau resmi menjadi salah satu percobaanku."
Alexis tertegun mendengarnya. Profesor itu mengatakan dengan begitu ringan, seolah setiap manusia di dunia ini adalah bahan percobaannya. Alexis mengembuskan napas, mengambil pena yang diletakkan di atas meja, lalu menulis nama singkat serta mencoret asal kolom tanda tangan di atas kertas tersebut.
"Um … bisakah Anda mengirimkan uang hasil percobaannya ke alamat ini?" Alexis menyerahkan selembar kertas berisikan alamat rumahnya.
Sang profesor tersenyum penuh kelembutan---yang tampak menyeramkan di mata Alexis. "Kau melakukan ini demi keluargamu?"
Alexis mengangguk. "Anggota keluargaku banyak. Mereka semua butuh dolar untuk bertahan hidup, tetapi yang kami punya tidak cukup." Ada kegetiran saat ia mengatakannya. "Dan aku melakukan ini untuk mereka."
Profesor itu berjalan ke arah laboratorium dan meminta Alexis untuk mengikutinya. "Kau adalah anak yang sangat baik, Alex." Profesor Wilson terdiam sejenak. Tangan kanannya menarik pegangan pintu, menampakkan laboratorium tempatnya melakukan penelitian dan percobaan. "Selamat datang di laboratoriumku, nak."
"Sebelum itu, ambil jas lab dan sarung tangan ini. Aku mau setidaknya Lab ini steril." suruhnya mengangsurkan benda sesuai ucapannya.
"Baiklah." Alexis menerima kedua benda itu dan segera memakainya.
***
Akhirnya orang terakhir sudah mendaftar. Lelaki paruh baya itu menatap puas. Ia bisa memulai percobaan ini sebentar lagi. Ah, tapi apakah Project Z ini dapat benar-benar diselesaikan?
Wilson tidak bisa memastikan seratus persen. Karena sampai sekarang, ia masih belum memahami. Bahwa kenapa dalam simulasi percobaan pada DNA manusia, malah bermutasi layaknya DNA pada hewan buas. Dan sialnya, gen misterius itu bersifat dominan.
Tapi entah kenapa, anak bernama Alex itu satu-satunya subjek yang memiliki gen reseptif. Ada apa ini sebenarnya?
Ah, sudahlah. Daripada memikirkan itu, lebih baik segera memulai project ini. Menteri sialan itu terus saja mendesaknya untuk segera menyelesaikan project ini---demi ambisi militernya. Ia menggeleng, lantas kembali fokus pada tujuan utamanya.
Alexis mengikuti langkah profesor itu yang mengarahkannya ke suatu ruangan, dengan ukuran seperti kamar lab 4x4 berbentuk kotak. Dari belakang, ia mengernyit lagi. Melihat tingkah laku aneh profesor itu yang sudah beranjak ke tempat lain. Lama ... ia jadi penasaran. Sebenarnya ini project apa? Dan entah kenapa mereka begitu menutupinya, seakan takut dapat bocor kapan saja.
Alexis hanya tahu, kalau eksperimen ini disebut Project Z. Karena mereka memberitahu, tapi hanya itu. Tanpa penjelasan detail. Namun kemudian Alexis menggeleng. Sudahlah, yang terpenting sekarang keluarganya bisa hidup layak. Itu sudah lebih dari cukup.
Tak lama, Alexis diminta untuk berbaring di kasur yang telah disediakan. Staf di lab mulai menyuntikkan cairan---entah apa itu---ke dalam tubuhnya. Mereka hanya bilang ini protein. Alexis menghela napas, dari awal mereka semua mencurigakan. Tapi Alexis juga tahu fakta lain. Bahwa ia sukarela melakukan semua ini.
Aneh, kenapa rasanya badannya mulai panas? Padahal Alexis tahu di luar sangat dingin, suhu di dalam ruangan juga tidak panas. Tapi ini, rasanya seperti terbakar. Alexis merasa keringat mengucur deras, ia benar-benar gerah. Ia merintih, tolong ... ini panas sekali!
Dan di antara rasa sakitnya, ia tersentak kaget. Alarm berbunyi nyaring. Tidak, tidak, ada apa ini? Kenapa tiba-tiba ricuh sekali? Dan apa maksud alarm bahaya itu?
"Pak, subjek A yang bernama Henry tiba-tiba menjadi buas dan menggigit staf yang mendampinginya. Lalu selang berapa lama, semua subjek mulai melakukan hal yang serupa seperti subjek A. Situasi menjadi tidak terkendali. Mereka semua yang digigit dalam sekejap menjadi seperti mereka." lapor salah seorang asistennya, menatap cemas profesor. "Namun subjek dengan nama Alex, entah kenapa berhasil mengendalikan tubuhnya. Temperaturnya badannya hanya sedikit naik."
Seketika kerutan dahinya muncul, membuat tambah gurat umur di wajah sang profesor. "Baiklah, segera lakukan proses evakuasi. Dan prioritaskan subjek Alex untuk bisa keluar dari sini dengan selamat. Ia akan ikut ke dalam rombonganku ketika proses evakuasi. Cepat lakukan prosedur darurat R! Kita tidak punya banyak waktu!" komando Wilson tegas.
"Baik, pak!" Sang asisten dengan sigap beranjak dari lokasi. Lalu menyuruh beberapa para anggota keamanan menuju ruangan khusus Alexis untuk mengevakuasi subjek itu.
Sementara di tengah pengevakuasian Alexis, beberapa subjek lain yang tidak terkendali mulai mengalami perubahan drastis pada fisik mereka; mata memerah menyeramkan, badan berubah kehitaman, bibir keunguan, serta cara berjalan mereka yang seperti terseret. Lebih parah lagi mereka menggeram marah, membuat para bawahan yang mengevakuasi Alexis agak ketakutan.
Sayang sekali, salah satu objek percobaan berhasil keluar dan menggigit lengan salah satu bawahan. Dia menjerit kesakitan sambil berlutut memegangi lengannya. Hanya berselang beberapa detik, jeritan itu berubah menjadi geraman tidak jelas. Tiba-tiba bawahan itu langsung menyerang teman di dekatnya.
"Tidak! Tidak--Arghhh!!"
Jeritan tersebut memenuhi ruangan dan menarik perhatian monster di sana. Para bawahan itu ketakutan dan melarikan diri. Masa bodoh dengan tugas mereka mengevakuasi gadis itu, nyawa mereka lebih penting daripada sebuah kelinci percobaan. Hanya tersisa Alexis yang terenyak menyaksikan adegan itu.
Lari! Satu perintah dalam otak Alexis segera menggerakkan kakinya menjauhi monster tersebut. Tentu saja monster itu tidak tinggal diam. Kakinya berlari sepanjang lorong dan berbelok asal, ia hanya ingin keluar dari sini. Akhirnya ia berhasil keluar dari gedung apartemen. Tinggal melewati tembok pagar yang memisahkan apartemen dengan jalan. Tapi tembok itu terlalu tinggi untuk dipanjat dengan tangan kosong. Tubuh Alexis yang pendek dan tidak adanya pijakan membuat situasi semakin buruk.
"Sial...." Umpatan keluar dari mulut Alexis.
Dia bisa mendengar suara geraman mendekat ke arahnya. Salah satu bawahan yang sudah terinfeksi mendekat ke arah Alexis, disusul dengan yang lain. Alexis hanya diam ketakutan, ia tidak bisa menyerang makhluk di depannya. Ia hanya ingin keluarganya dapat hidup bahagia tanpa harus kesusahan lagi. Bukannya mati konyol karena diserang objek percobaan yang gagal. Tinggal sejengkal lagi tangan bawahan itu meraih Alexis, ia menutup mata pasrah.
DOR!
Alexis mendengar suara yang keras---seperti suara tembakan. Ia membuka mata dan melihat tubuh bawahan itu tergeletak di tanah, dengan kepalanya yang hancur. Alexis berjengit ngeri, meneguk ludah susah payah.
"Kenapa kau diam saja?! Cepat panjat!" seru seseorang di belakangnya.
Alexis menoleh, dan melihat sosok laki-laki berambut golden caramel dengan manik abu-abu sedang berdiri di atas tembok sambil memegang sebuah senapan HK 416. Ujung senapan tersebut mengeluarkan asap, tanda peluru memang baru saja meledakkan kepala monster itu.
Pemuda itu terus menembak monster-monster yang mengejar Alexis sampai pelurunya habis. Ia berdecih kesal, mengalungkan senapan tersebut di pundaknya dan mengulurkan tangan ke arah Alexis.
"Ayo, cepat!" serunya.
Alexis sontak menerima uluran tersebut. Pemuda itu langsung menariknya ke atas dan jatuh ke jalan. Mereka meringis karena menghantam jalan dengan cukup keras. "Ugh... Kau tidak apa-apa?" tanya pemuda itu.
"Y-ya.. Aku tidak apa-apa. Ngomong-ngomong, terima kasih sudah menolongku." ujar Alexis sambil mengulas senyum kecil. "Apa kau tahu mereka kenapa?"
"Mereka disebut 'zombie'. Eksperimen gila yang dilakukan segelintir orang dan mereka adalah hasil yang gagal." jelasnya mendecih kesal. "Oh ya, namaku Aldrich Ramirez, panggil saja Al." Laki-laki itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya.
Alexis menjabat uluran tangan itu. "Alex." Tentu saja tidak lupa bahwa ia sedang menyamar.
"Jadi.. Alex, kenapa kau ada di sana? Apa kau sudah dijadikan objek percobaan? Eh, kalau sudah harusnya kau jadi zombie." Aldrich malah berbicara sendiri.
Alexis gelagapan mendengar pertanyaan beruntun itu. Mustahil ia bilang jika sudah disuntik dengan cairan aneh---meskipun ia belum berubah seperti zombie. Bisa-bisa Aldrich melubangi kepalanya dengan senapan seperti bawahan yang mengevakuasinya waktu itu. "T-tidak, aku belum sempat dijadikan objek percobaan. Tiba-tiba saja zombie itu datang dan aku kabur."
"Begitu...." Aldrich manggut-manggut mendengarnya. "Karena kau sudah tahu rahasia busuk mereka, yang kita lakukan adalah membasmi para zombie itu. Akan berbahaya jika mereka menyerang penduduk sini."
Aldrich benar, ia tidak mungkin membiarkan zombie itu menyentuh keluarganya. "Baiklah, kita akan menghabisi para makhluk jelek itu."
Aldrich tersenyum kecil. "Selamat datang, Alex! Untuk senjatamu kuberikan ini." Pemuda itu memberikan sejenis Airsoft Gun dari belakang rompi yang ia kenakan kepada Alexis.
"Err... Terima kasih." Alexis menerima dengan kikuk, ia tidak pernah memegang senjata seumur hidupnya. Namun ia harus lakukan, jika ingin keluarganya selamat.
***
Beberapa jam berlalu semenjak perkenalan mereka berdua. Aldrich dan Alexis kini berjalan bersama. Beberapa zombie muncul menghalangi, tetapi mereka berhasil membunuhnya. Selama perjalanan pula, Alexis tidak bisa berhenti memikirkan keluarganya.
Apa mereka baik-baik saja? Bagaimana keadaan mereka setelah Alexis pergi? Alexis bahkan tidak tahu apakah mereka masih berupa manusia atau tidak.
"Apa kau ingin mencoba mengunjungi keluargamu?" Aldrich tiba-tiba bertanya.
Alexis menoleh ke arahnya dengan terkejut. "A-apa kau tidak apa-apa dengan itu?" Tentu saja Alexis sebenarnya sangat ingin berkata 'ya'. Namun Alexis juga ingin memastikan bahwa Aldrich tidak keberatan dengan permintaan itu.
Aldrich tersenyum. "Tentu saja tidak apa-apa. Aku yang menawarkannya padamu. Benar, kan? Dan lagi, ekspresimu dari tadi terkesan tidak tenang. Kurasa kau ingin memastikan keselamatan keluargamu."
Alexis merasakan matanya yang mulai berair. Ia berusaha menahan air matanya dan mengangguk. "Ya! Terima kasih banyak!"
***
"Rumahmu... Di daerah ini?" Aldrich memperhatikan lingkungan sekelilingnya. Salju yang masih menumpuk menghalangi pandangannya, tetapi Aldrich masih dapat mengetahui bahwa tempat di mana Alexis tinggal tidak begitu layak dihuni.
Alexis tersenyum sedih. "Begitulah. Maafkan aku karena daerah ini terlihat kumuh--" Ucapan Alexis terhenti seketika saat telinganya mendengar suara gaduh.
Suara gaduh tersebut ... berasal dari rumahnya.
Wajah Alexis memucat seketika. Segala kemungkinan terburuk terpikirkan di kepalanya. Ia bahkan tidak menyadari bahwa dirinya sudah berlari ke arah rumahnya, dan mengabaikan panggilan Aldrich.
Ketika Alexis mendobrak pintu rumahnya. Saat itulah ia melihat pemandangan yang akan menghantuinya seumur hidup.
Ed---salah satu adiknya---tubuhnya kini telah digigit oleh tiga zombie. Di sekelilingnya, tergeletak mayat Ibunya dan adik-adiknya yang lain dengan bekas gigitan di sekujur tubuh mereka.
"ED!"
Pandangan Alexis menggelap seketika.
***
Aldrich berhasil menyusul Alexis ke rumahnya, tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Alexis---seseorang yang baru ia kenal hari ini---menggigit seorang zombie. Senjata yang ia berikan terjatuh di lantai.
Saat Aldrich hendak mengambilnya, saat itulah ia melihatnya. Senjata itu jatuh di dekat mayat Ed dan dua zombie lainnya.
"A-Alex...?" Aldrich menatap Alexis dengan sedikit keraguan. Ia berbeda dengan Alexis yang tadi ia temukan. Alexis menggeram dan menggigit zombie tersebut. Matanya berwarna putih keseluruhan. Ia seperti...
Zombie.
Alexis menoleh ke arahnya dengan mata putih tersebut. Hal itu membuat tubuh Aldrich menegang. Alexis melempar zombie yang sudah tidak bergerak tersebut dan menyerang Aldrich.
"Alex!? Hei, Alex! Sadarlah!" Aldrich berseru sambil menahan Alexis dengan senapannya. Aldrich merasa bahwa ia tidak bisa menembak Alexis begitu saja sehingga ia hanya memukulkan gagang senapannya ke kepala Alexis.
Alexis terjatuh dan saat itulah mata Alexis kembali berubah menjadi warna emerald-nya. Ia melihat sekelilingnya dengan bingung sampai matanya terjatuh pada sosok Aldrich yang menatapnya dingin.
"A-Al?" Alexis berdiri dan mendekati Aldrich. Namun ia tidak dapat berjalan lebih jauh lagi. Tidak ketika Aldrich menyambar senjata---yang baru beberapa saat diberikan padanya---dan menodongkannya ke arah Alexis.
"Jika tahu kau adalah zombie, aku pasti sudah membunuhmu sejak awal." Kata-kata Aldrich yang sangat dingin terdengar menghantam telak. Alexis membeku di tempatnya dan menunduk. Ia hanya dapat pasrah jika seandainya Aldrich ingin membunuhnya.
Tangan Aldrich yang memegang Airsoft Gun gemetar. Ia ingin menekan pelatuknya dan membunuh seorang 'zombie' di depannya. Namun kenapa ia tidak bisa menekannya?
DOR!
Alexis menutup matanya seketika. Tapi saat tidak merasakan sakit apa pun, ia membuka matanya. Alexis dapat melihat darah yang mengalir dari lengannya, namun ia tidak merasa sakit. Alexis syok.
Apakah ... ia benar-benar sudah menjadi zombie hingga tidak dapat merasakan sakit? Apakah ia bukan lagi manusia...?
Alexis terlalu sibuk dalam pikirannya. Sampai ia tidak menyadari Aldrich yang telah berlari meninggalkannya.
Bahunya berguncang hebat. Menatap kedua tangannya tak percaya. Benarkah ini dirinya? Alexis menggeleng putus asa. Hah! Manusia macam apa yang bisa berubah menjadi monster? Dan kelaparan memandangi pemandangan lezat di depannya....
Alexis seketika menjerit jijik. "Hentikan! Ini pasti hanya mimpi buruk! Pikiran macam apa itu!?" Alexis berdesis, melanjutkan. "Tentu saja kau, Alexis. Hanya kau. Semua ini milikmu."
Tubuhnya tersentak mundur. Menatap onggokan keluarganya dengan tatapan takut. Ia benar-benar tidak bisa memercayainya. Tidak sama sekali.
Langkah kakinya semakin menjauh. Tangan Alexis menyentuh pintu dengan kalap. Tidak, pikiran itu semakin menghantui. Mendesaknya terus untuk mendekat dan menyantap hidangan lezat di depannya. Ia gila! Pasti!
Susah payah Alexis meneguk ludah kasar. Berusaha berjuang melawan rasa yang sama sekali tidak pernah ia mimpikan seumur hidupnya! Dan saat wajahnya kembali ditampar oleh angin beku, ia segera berlari. Pergi dari segala mimpi buruknya di belakang.
***
Rasa panas semakin menyiksanya. Menjalar gila ke seluruh tubuhnya. Tidak peduli bahwa ini adalah musim dingin dan badai salju sedang mengamuk di sekitarnya. Ia tetap merasa gerah. Sama sekali tidak bisa ia kendalikan.
Alexis menggigit bibir terlalu keras, membuatnya berdarah. Sedikit-banyak darah masuk ke dalam mulutnya. Ia mencecap cairan amis itu, rasanya tidak lagi lezat. Ia mengerang frustrasi. Goresan di bibirnya bukan apa-apa dibanding rasa sakit yang seakan mencabiknya bahkan jika akhirnya mati.
Tidak boleh menyerah. Ia bukan monster. Ia seorang Alexis Garcia. Dan seorang Alexis tidak boleh kalah dengan reaksi tubuhnya sendiri.
Ahh! Refleks kepalanya ia benturkan ke dinding usang di depannya. Matanya berkaca-kaca, ia menggeram. Netra emerald-nya menatap nanar bangunan terbengkalai di depannya. Ia hampir saja pasrah, menyerahkan seluruh kendali tubuhnya. Saat tiba-tiba ingatannya berkelebat cepat.
Suara tawa keluarganya. Senyum manis Ed---jagoannya. Ibu dan segala jerih payahnya. Dan Aldrich. Seketika matanya memanas. Napasnya memburu. Ia merosot jatuh di atas gundukan salju. Memeluk dirinya sendiri, menggigil kedinginan.
Dan kemudian, tangisnya pecah. Ia meraung kencang. Memikirkan kejadian beberapa waktu lalu. Ia bodoh mengikuti percobaan itu. Lebih bodoh lagi karena membiarkan semua ini terjadi, dan salah satu penyebabnya karena Alexis. Penyesalan menggerogoti relungnya. Mengisap semua oksigen di sekitarnya dengan cepat.
Tidak butuh waktu lama, tangisannya kembali menjerit pilu. Entah berapa lama ia meratap di sana. Tubuhnya mulai mati rasa. Atau mungkin, ia memang sudah mati rasa. Tawa getir lolos.
Lalu seperti sebuah alarm di pagi hari, kilasan di pikirannya sontak membuat Alexis bangun. Aldrich! Pikiran itu menyentaknya. Entah kenapa, tapi ia merasa harus menemukannya. Harus.
***
Ia harus secepat mungkin menemukan Aldrich. Walau ia gelisah, apakah setelah semua ini bisa kembali seperti pertemuan pertama mereka. Tapi Alexis benar-benar berharap, semoga saja Aldrich mau mendengarkan alasannya.
Tiba-tiba perutnya berbunyi lapar. Uh, kenapa di saat seperti ini!? Alexis mengerang kesal. Ah! Apa makanan manusia masih dapat berpengaruh pada tubuhnya? Tapi, apa salahnya mencoba. Mungkin beberapa makanan kaleng masih tersisa di minimarket belum terjarah. Baiklah, kalau begitu ia perlu mencari makanan terlebih dahulu.
Entah kebetulan apa yang tersirat, namun Alexis bisa bertemu kembali dengan Aldrich. Ia mengamati dari jauh. Kondisinya sama sekali tidak baik. Aldrich terpojok dalam bahaya. Alarm di tubuhnya menyala panik. Hasrat untuk menyelamatkan orang yang ia kenal, pada akhirnya memacu hormon adrenalin Alexis. Tanpa sadar ia mampu mengendalikan kekuatan dari hasil eksperimen ini. Dan hasilnya sangat fantastis! Alexis kini berlari sangat cepat dan memukul dengan kekuatan penuh. Dalam beberapa waktu saja lawannya sudah terkapar---tubuhnya hancur berantakan.
Alexis berdecak tak percaya melihat pemandangan di depannya. Kekuatannya sungguh luar biasa. Perlahan senyum tipis terbit menghiasi wajahnya, ternyata masih ada efek positif dari percobaan ini. Tapi ... kenapa hanya Alexis saja yang bisa melakukannya, sedangkan subjek lain malah menjadi zombie? Ah, sudahlah. Sekarang yang terpenting ia bertemu Aldrich dan keadaan sudah lebih aman.
Alexis menghela napas. "He-hei, Al. Aku ... minta maaf." sesalnya. Ia benar-benar gugup, bahkan tanpa sadar sudah kembali menggigit bibirnya.
Beberapa saat hanya keheningan yang mengisi. Dan itu semakin membuat Alexis merasa bersalah. Ia hampir saja berbalik pergi, saat tiba-tiba Aldrich menyahut.
"Kuharap kau punya alasan yang bagus, Alex." Aldrich menatap dingin, menusuk tepat pada relung Alexis.
"Maaf...." Hanya itu yang bisa ia ucapkan kali ini. Ia benar-benar pasrah.
"Untuk saat ini, aku tak akan mempermasalahkannya. Kau sudah membantuku. Sebaiknya kita mencari tempat berlindung. Para zombie itu akan lebih agresif saat malam hari."
Alexis meringis kecil, lalu setelahnya mengangguk. Yah, setidaknya Aldrich masih memberinya kesempatan. Mereka berdua terus berjalan, hingga akhirnya menemukan rumah tak terawat yang kondisinya cukup baik---dengan ornamen klasik di dalamnya. Dan untuk ukuran rumah yang terbengkalai, sangat nyaman untuk ditinggali.
"Baiklah, sepertinya kita bisa bermalam di sini."
***
Hari beranjak malam. Suara geraman terdengar rendah di luar, menjadi backsound mereka berdua. Akhirnya Alexis memutuskan untuk memberitahu semua pada Aldrich. Kehidupan keluarganya, masalah keuangan, dan terutama ... identitas asli dirinya. Adrich sempat terdiam beberapa saat mengetahuinya.
Dan setelah Alexis memberitahu kehidupannya, tanpa diduga Aldrich berganti bercerita padanya. Benar-benar mengejutkan. Ternyata sebenarnya, Aldrich adalah anak dari menteri yang bertanggung jawab atas uji coba itu. Yah, ialah anak dari Mayor Jenderal James Rhosulfold atau menteri pertahanan dan militer USA. Kali ini Alexis terkesiap mengetahui fakta kalau Aldrich adalah anak dari seorang atasan profesor Wilson.
Alexis benar-benar syok beberapa saat. Tanpa sadar ia terisak, fakta dari Aldrich membuat ia kembali menyesali kebodohannya. Perlahan seseorang menarik tubuhnya, membiarkan sosok mungilnya tenggelam dalam dada Aldrich yang hangat.
"Jika itu membuatmu lega, kau bisa melakukannya selama mungkin." Mendengar itu, isaknya semakin hebat. "Kau tahu, aku sepertinya menyukaimu."
Dan setelahnya, semua terjadi begitu saja. Entah pikiran dari mana, perlahan Aldrich mencondongkan kepalanya mendekat. Refleks ia menutup mata. Aldrich mencium bibir mungilnya dan rasanya benar-benar membuatnya terbuai. Hingga beberapa saat, akhirnya ciuman itu selesai.
Aldrich menatapnya lama. Netra emerald-nya beradu dengan manik abu-abu milik Aldrich. Dan ia yang pertama kali memutus kontak mata mereka. Dalam sekejap panas merambati pipinya, hingga menyebar ke seluruh wajahnya. Refleks ia memalingkan muka.
"Oh, sial. Alexis, apa yang kau lakukan!?" gumamnya lirih.
"A--lexis?" panggil Aldrich.
"Tidak perlu. Kita tidur saja." Apa pun yang ingin Aldrich katakan, ia tidak mau mendengarnya lagi.
Lalu terdengar gerakan mendekat. "Hm, sebaiknya kita tidur." bisik Aldrich.
Alexis mengangguk patah-patah, lalu merebahkan tubuhnya di kasur yang mereka temukan. Ia melirik Aldrich yang membelakanginya. Mendesah, lalu mencoba terlelap.
***
Alexis menghilang pagi harinya.
Aldrich yang baru saja terbangun tidak menemukan gadis itu di mana pun. Padahal semalam mereka baru saja saling terbuka satu sama lain. Ada sedikit rasa kecewa dan juga khawatir di hati Aldrich, ia merasa harus segera mencari dan menemukan Alexis.
Lelaki itu langsung terbangun dari tidurnya, ia berjalan keluar meninggalkan rumah terbengkalai yang menjadi tempat bernaung dirinya dan Alexis semalam.
"Alexis kau di mana, astaga." gumam Aldrich sembari menoleh ke kanan dan kiri, berharap menemukan sosok yang ia cari.
Aldrich sudah mengetahui fakta bahwa Alexis yang selama ini ia kenal---dengan nama Alex---adalah seorang gadis. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa rupanya Alexis mengikuti sebuah percobaan dari ilmuwan gila demi mendapatkan uang untuk keluarganya. Dan ia adalah satu-satunya yang selamat dari beberapa orang yang juga ikut serta. Namun sayangnya, Alexis tidak jauh berbeda dengan zombie-zombie yang terlahir dari percobaan itu. Hanya saja, rupa dan pikirannya masih bisa dikendalikan.
Aldrich menggeleng pelan, mencoba untuk tidak memikirkan hal tersebut. Kali ini yang perlu ia lakukan adalah untuk menemukan Alexis terlebih dahulu.
Di suatu tempat yang agak terpencil, Aldrich akhirnya menemukan Alexis. Namun gadis itu tidak terlihat seperti biasanya. Wajahnya terlihat memucat. Terlihat kesadarannya hampir menghilang, jika saja Aldrich tidak segera menghampirinya.
"Alexis!"
Alexis menoleh begitu mendengar panggilan Aldrich. Tapi bukannya menjawab, gadis itu justru menyerang Aldrich secara tiba-tiba.
Aldrich yang terkejut langsung saja menghindar dengan sempurna. Ia lalu mencoba menahan pergerakan Alexis dengan mengunci kedua tangannya di balik tubuh. Alexis yang tidak sadar berteriak dan mencoba untuk kembali menyerang Aldrich.
"Alexis?!" Aldrich sekali lagi menghindar, lelaki itu berusaha untuk tidak menggunakan senjatanya pada Alexis. "Alexis! Sadarlah!"
Dengan sangat terpaksa Aldrich langsung menendang tubuh Alexis cukup kuat. Aldrich langsung menindihnya begitu Alexis terjatuh ke tanah dan tidak bisa banyak bergerak.
"Alexis! Sadarkan dirimu!"
Bentakan Aldrich membuat Alexis langsung mendapatkan kembali kesadarannya. Wajahnya terlihat terkejut saat mendapati dirinya tengah ditahan di tanah oleh Aldrich. Uraian air mata terjatuh tiba-tiba dari wajah gadis itu.
"M-Maafkan aku, Al. Aku benar-benar minta maaf," ucap Alexis pelan. Ia memejamkan matanya dan menahan rasa sakit di tubuhnya akibat tendangan Aldrich sebelumnya.
"Kau tidak apa-apa, Alexis?"
"Al ... aku tidak bisa menahannya lagi. Rasanya ... sangat menyakitkan," kata Alexis yang kembali membuka matanya. Pandangan gadis itu yang buram oleh air mata menatap Aldrich sayu.
"Al...," Alexis meremas jemarinya dengan erat, tidak percaya dengan apa yang akan dikatakannya. "Tolong ... bunuh aku. Bunuh aku sekarang juga." Ia memohon dengan suara yang begitu pilu.
Aldrich memegang bahu Alexis, menatapnya dengan tidak percaya. "Kenapa...?" Kernyit di dahinya mulai terukir kembali. "Kau yakin? Aku tidak tahu ... apakah bisa melakukannya."
Alexis menggerutu pelan. Ia tahu cara ini tidak akan mempan. Tangan gadis itu dengan cekatan menyambar Airsoft Gun dari sisi Aldrich. Mata gadis itu mulai buram tatkala ia mengarahkan pistol itu ke kepalanya sendiri.
"Terima kasih karena sudah mau menerimaku, Aldrich. Dan terima kasih karena sudah menjadi bagian dari hidupku yang tidak seberapa ini...." Perkataan gadis itu terputus kala air mata singgah di wajahnya. Ia terisak pelan. Masih berusaha terlihat tegar, meski sebenarnya ia menahan sakit yang teramat dalam.
"Jangan bodoh, Alexis!" Aldrich membuang pistol itu dengan kasar---terlihat cemas. "Mengakhiri hidup seperti itu. Hidupmu ini ... semua yang sudah kaudapatkan.... Kau mau membuang semuanya!?" Suara Aldrich meninggi, tetapi kilat mata pemuda itu menyiratkan bahwa ia sesungguhnya kesepian.
"Aku akan berubah seperti mereka." Alexis akhirnya mengungkapkan kalimat tersebut.
"Lalu...?"
Alexis bangkit berdiri, kemudian menyeret Aldrich---memaksa lelaki itu melihat pemandangan tak jauh dari mereka. "Aku akan berubah menjadi salah satu dari mereka. Zombie menjijikkan yang menginginkan manusia sebagai makanannya. Apakah kau yakin ingin bersamaku? Bahkan ... setelah aku berubah seutuhnya?"
Aldrich mengusap pelan rambut pendek Alexis, lantas berujar, "Aku yakin ... kau bisa melawan zombie yang kini ada di dalammu. Kamu lebih kuat dari mereka, Alexis."
Alexis tertawa miris. Ia sama sekali tidak kuat. Ia hanya sosok lemah yang menjual diri menjadi bahan percobaan bodoh demi uang. "Aku tidaklah kuat...." Alexis kembali terhenti ketika ia melihat darah menetes dari pergelangan tangan Aldrich.
"Eh, kemarin tergores pisau." Seolah dapat membaca pikiran, lelaki itu langsung saja menjawab.
"Kelihatannya enak!" Alexis mengusap dagu, spontan berucap.
Semua kembali terulang. Kulitnya yang semakin menghitam, hasratnya untuk mengecap daging manusia. Semua berhimpun dengan begitu cepat. Detik berikutnya, ia sudah menarik Aldrich. Hendak mencabik-cabik pemuda itu.
"Alexis, hentikan!" Aldrich kembali menendang gadis itu agar menjauh---dengan penuh rasa bersalah.
Alexis mengerang pelan. Butuh beberapa saat bagi gadis itu untuk kembali pada kesadarannya. "Al, maafkan aku.... Kau sudah melihatnya, bukan? Semakin lama aku semakin tidak dapat menahan diri." Alexis duduk dan menutup wajahnya yang mulai menghitam. "Aku mohon bunuh aku sekarang juga. Akhirilah penderitaanku...."
Aldrich menggeleng. Di satu sisi, rasa takut memang menyelimutinya. Namun, perasaan hangat ketika dekat dengan Alexis lebih mendominasi dari pada kekhawatirannya. "Aku tidak bisa, Alexis...."
"Lalu apa yang akan kaulakukan? Menungguku untuk memakanmu!?" Alexis tertawa getir. "Kumohon ... bunuh aku selagi ada kesempatan."
Aldrich mengulas senyum pahit. Mungkin memang hanya ini satu-satunya jalan keluar. Tidak ada cara lain. Alexis benar.... Membunuh atau dibunuh. Miris sekali, semua itu sudah ada di tangan Aldrich saat ini.
"Alexis, maafkan aku...." Pemuda itu mengambil Airsoft Gun yang tadi tergeletak di lantai. "Kuharap kita bisa bertemu lagi sebagai sesama manusia, jika Tuhan mengizinkan. Dan kuharap pada saat itu, perasaan kita tetap sama." Tangan Aldrich gemetaran ketika mengarahkan pistol itu ke arah Alexis.
"Sampai jumpa lagi, Aldrich." Sang gadis tersenyum manis seraya menautkan tangannya dengan jemari panjang Aldrich.
"Alexis.... Terima kasih sudah menjadi pengisi hidupku yang berharga." Aldrich menghela napas ketika melihat senyum penuh pilu yang terlukis di wajah Alexis.
"Lakukanlah...." Alexis menutup mata, menahan tangisan yang mendesak ingin keluar. "Aku ingin berjumpa dengan keluargaku. Aku bisa melihat Ed sekarang...."
Suara Airsoft Gun yang ditembak terdengar kencang. Bersamaan dengan itu, Aldrich jatuh terduduk di lantai. Ia melepaskan pistol yang dipegang dengan kasar, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lakukan.
"A-Alexis...." Suaranya mulai bergetar. Dibelainya pelan wajah gadis itu, melihat senyum damai yang terlukis pada parasnya. "Setidaknya aku tahu bahwa kau pasti bahagia sekarang. Titip salam untuk Ed, ya...."
Aldrich memeluk tubuh tanpa nyawa itu, lantas berbisik, "Aku mencintaimu, Alexis."
***
END
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top