19. Friend?

BAGIAN SEMBILAN BELAS

Hal yang membahagiakan, bisa datang dari hal-hal yang sederhana.

***

Sang matahari kembali bersinar seperti biasa di pagi hari. Cahayanya mulai memasuki sebuah ruang kamar melalui jendela sehingga si pemilik kamar tersebut terbangun.

Mata kembar itu mulai terbuka, mengucek-ngucek sejenak, lalu segera bangun dari ranjang

Tubuh tingginya mulai berhadapan dengan cermin besar di depannya, lihatlah betapa menyedihkannya cewek itu. Dengan adanya kehadiran mata panda dan mata yang terlihat begitu sembap menjadi paket komplit.

Yuna mulai tertawa hambar. Ternyata hidupnya semenyedihkan itu.

Dengan malas, ia mulai memasuki kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Sekalian ia berniat untuk keramas, ia sudah tak lama melakukannya setelah mewarnai rambutnya dengan warna pirang.

Air dingin mulai mengalir dari shower dan membasahi tubuhnya. Tangannya mulai mengusap-ngusap rambut serta badan.

Di sela-sela air dingin mulai membasahi dirinya, ia tersenyum miris, mengingat perkataan Souma kemarin sore. Kalimat itu terngiang di benaknya.

‘Tapi persahabatan kita cukup sampai di sini,’ lanjut Souma.

Tanpa izin, air mata dengan lancang membasahi pipinya lagi, namun tersamarkan oleh air dari shower.

Apa yang harus diharapkan lagi dari Souma? Toh, cowok itu mengakhiri persahabatan mereka begitu saja bukan? Kenapa Yuna masih berharap akan hal itu.

Hhh. Ia begitu bodoh. Bahkan sangat bodoh. Bisa-bisanya ia masih mengejar pada sesuatu yang tak pasti.

Setelah melakukan ritualnya, ia kembali mematutkan diri di pantulan cermin. Masih dengan keadaan yang begitu menyedihkan, mata panda serta mata sembap masih menghiasi mata indahnya.

Cewek itu mulai merias diri untuk menyamarkan di bawah matanya itu. Ia mulai menyapukan concealer dan foundation di bawah mata serta wajah, lalu menyapukan bedak sebagai hiasan akhir. Meskipun jenis yang digunakan cukup berat, namun itu cukup membantu untuk menyamarkan semuanya. Ia takut Natasha menanyakan tentang mata panda dan sembap yang menghiasi wajahnya itu.

Untung saja Natasha tak ada di rumah kemarin malam karena dapat shift malam di Rumah Sakit. Syukurlah.

Setelah memakai baju casual seperti biasa, ia segera keluar dan turun menuju lantai bawah. Berlagak seolah-olah semuanya baik-baik saja. Namun langkahnya terhenti seketika melihat cowok yang sedang santai duduk di sofa.

Koga.

“Ngapain lo ke sini kucrut?” cowok itu menoleh, lalu memalingkan muka seolah tak peduli.

Namun tiba-tiba Koga berdiri dan langsung menarik cewek itu sampai ke depan rumah. Yuna protes, segera menepis, “Ngapain lo asal tarik anak orang aja?”

Tetap saja Koga tak peduli seolah-olah menebalkan telinganya, “Tante, saya izin pinjem Yuna, ya? Mau diajak jalan-jalan lagi sama saya, Aria dan Eden.” ujarnya seraya tersenyum.

Natasha yang sedang duduk manis mendongak, mendapati anaknya dan Koga, saudara kembar dari Aria. “Mau diajak ke mana?”

“Ada aja, deh, Tan. Yang penting mau diajak jalan-jalan,” ujarnya seraya jahil, lantas terkekeh pelan.

Natasha tertawa riang, “Yaudah, asal dikembaliinya tetap utuh aja, ya?”

Cowok itu langsung berpose hormat layaknya Paskibra yang akan mengibarkan bendera merah putih. Membuat Natasha kembali tertawa, lucu dengan tingkah Koga. “Siap Tante!”

“Aku bawa, ya, Tante anaknya,” Natasha mengangguk, lalu Koga segera menarik lengan Yuna, ingin protes tapi ia urungkan niat itu.

“Buruan masuk,” seolah memakai sihir, Yuna segera masuk ke dalam mobil. “Aria dan Eden juga ikut?”

Koga mengangguk, “Dia udah pergi duluan sama Eden naik mobil daritadi. Aria nyuruh gue jemput lo ke rumah, katanya gak seru jalan-jalan tanpa lo.”

“Lo mau bawa gue ke mana, sih?” tanya Yuna heran. “Ada, deh,” jawab cowok itu.

Taksi online pesanan Koga mulai berhenti di depan stasiun, membuat Yuna melongo, “Udah, ikut aja.”

Setelah memesan tiket, mereka segera masuk ke dalam kereta yang akan membawa mereka ke sebuah tempat, entah ke mana, jelas Yuna tak tahu akan hal itu. Cewek itu tampak menikmatinya, begitupun dengan Koga. Pernah menaiki kereta beberapa kali membuat Yuna jadi terbiasa malah merasa senang. Ia pernah naik kereta saat akan mengikuti lomba olimpiade di Semarang.

Beberapa menit setelah perjalanan singkat mereka lewati, mereka berhenti di stasiun Pasar Minggu. Lantas mereka mulai menaiki Kopaja. Yuna setia mengikuti Koga, tak lagi protes seperti tadi.

Koga memanggil anak kecil yang berjualan aneka minuman dan tisu,“Dek, beli minumnya!” anak kecil itu mulai menghampiri mereka berdua, “Beli berapa, Bang?”

“Minumnya dua, sama tisu satu,” cowok itu memberikan selembar uang pecahan 20 ribu, “Kembaliannya ambil aja.”

“Makasih, ya, Bang!”

Yuna dibuat takjub dengan yang dilakukan Koga. Tiba-tiba cowok itu mulai menyodorkan minuman kepadanya setelah membuka tutupnya, “Nih, minum, takut kalo pingsan. Kalo pingsan nanti ngerepotin gue lagi.”

“Yee enak aja lo!” meskipun protes, ia tetap menerima minuman yang diberikan cowok itu lantas meminumnya dengan rakus hingga tandas.

“Nih, tisu,” Yuna mengambil tisu yang diberikan Koga, lalu ia memgambilnya beberapa lembar dan mulai menyapukan ke wajahnya. Mengelap keringat yang mulai bercucuran.

Ia menoleh sejenak, melihat Koga mengipaskan tangannya ke wajah karena kepanasan. Yuna terkekeh, “Uh, kasihan,” cewek itu mulai mendekati Koga dan mulai mengelap wajah cowok itu dengan tisu. Itu karena peduli.

Koga terdiam, tubuhnya seolah membeku karena jarak yang tercipta antaranya dan Yuna. Jantungnya berdetak tak karuan.

Kenapa Yuna melakukannya? Apa karena ia peduli kepadanya saja? Tak lebih?

Sebisa mungkin ia mencoba menormalkan ekspresinya seolah tidak terjadi apa-apa. Ia akhirnya bisa bernapas lega karena tempat yang dituju sudah sampai di hadapannya. “Bang, berhenti,” ia mengeluarkan uang, lalu ia dan Yuna segera keluar dari Kopaja tersebut.

Yuna mendongak, membaca nama pintu gerbang.

“Pintu Masuk I Bang Pitung Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan,” kata Yuna mengeja nama yang tertulis di pintu gerbang tersebut. Nama itu seperti tak asing di telinganya, namun ia tak pernah sekali pun berkunjung ke tempat ini. Baru pertamakali ia menginjakkan kaki di Setu Babakan.

Mereka mulai berjalan beriringan memasuki pintu gerbang tersebut. Di sepanjang jalan terdapat rumah adat Betawi. Rasa lelah Yuna untuk menuju ke tempat ini menguap seketika, digantikan dengan tatapan terpana. “Pernah ke sini?” tanya Koga.

Cewek itu menggeleng, “Belum, pernah denger, sih. Hebat lo, Aria, sama Eden tahu tempat ini!” Yuna memandangi ke sekeliling dengan takjub. Rasa sedih karena kemarin menghilang dan digantikan dengan sebuah rasa euforia di hatinya yang jelas entah apa. Ia memberikan dua jempol ke Koga. Cowok itu tersenyum.

“Eh ada ondel-ondel!” teriak cewek itu semangat, menunjuk ondel-ondel di depan mereka. “Ga, fotoin, dong!” Koga mengangguk, lalu memfoto Yuna yang sedang bergaya di sebelah ondel-ondel.

“Lo ke sini! Kita foto bareng! Coba ponselnya difotoin sama orang!” akhirnya Yuna menyuruh orang untuk memfoto dirinya dan Koga dekat ondel-ondel. Yuna melihat hasil foto itu dengan senyum yang tak pernah luntur dari bibirnya.

Lima belas menit mereka terus menyusuri Setu Babakan, akhirnya mereka sampai juga di  sebuah danau luas dengan pepohonan rindang membawa angin segar. Yuna menghela napas, cukup menikmati oksigen yang mulai memasuki paru-parunya.

Mereka mendekat ke arah perahu yang dekat dengan danau itu, namun langkahnya seketika terhenti melihat Aria dan Eden yang sedang duduk manis di sebuah kursi panjang. “Aria! Eden!”

Dua sejoli yang sedang kasmaran menoleh, lalu mereka tersenyum. Yuna tersenyum miris.

Lihatlah, betapa bahagianya Aria dan Eden yang saling mencintai satu sama lain. Yuna juga merasakan jika Eden kini mulai berubah, cowok itu yang dulunya jarang sekali untuk tersenyum, pendiam, dan memiliki tatapan dingin sekarang berbeda. Ia menjadi lebih sering tersenyum dan tertawa, itu adalah hal yang paling langka untuk Eden Eddison bagi Yuna. Tatapan Eden juga lebih teduh, ia juga jadi lebih ramah kepadanya.

Itu semua sejak kehadiran Aria.

Kapan Yuna mempunyai seseorang yang mencintainya dengan tulus dan saling mencintai satu sama lain? Bukan jatuh cinta sendirian?

Mata Aria seketika berbinar ketika melihat dirinya. “Yuna!” cewek itu segera menghampiri Yuna lalu memeluk cewek dengan tinggi 167 cm tersebut. “Lama banget gue sama Eden nungguin lo dan Koga.”

Yuna tersenyum, sebisa mungkin seolah baik-baik saja agar sahabatnya ini tak khawatir. “Maaf kalo lama.”

“Gimana kalau kita naik perahu air?” usul Aria.

Yuna menggeleng, “Gak, ah. Takut ada buaya.” setelah itu dia tertawa.

“Gak ada, kok. Beneran. Gue udah pernah ke sini sebelumnya dengan Eden.”

“Ikut, ya?” melihat mata Aria dengan berbinar. Ia menghela napas, lantas mengangguk pasrah. Puppy eyes yang dimiliki Aria, membuat cewek itu jadi menggemaskan sekaligus membuat Yuna jadi tak tega.

Akhirnya mereka menaiki perahu air dengan desain naga tersebut setelah memakai pelampung. Aria duduk dekat dengan Eden, dan Yuna dengan Koga.

Di perahu tersebut, tidak hanya mereka berempat saja, karena sebuah perahu bisa berkapasitas tiga belas orang. Perahu mulai melaju, tanpa disadari Yuna memegangi tangan Koga karena ketakutan. Takut perahunya terbalik, dan tidak bisa berenang karena tercebur. Koga terdiam sejenak, reaksi Yuna membuatnya sedikit terkejut. Ia mulai membalas genggaman tersebut.

Yuna terkejut, baru menyadari jika ia memegang tangan Koga. Ia segera melepasnya, “Sori, gue gak sengaja,” setelah mengatakan itu ia memalingkan dengan wajah yang memanas. Ia yakin jika kini wajahnya pasti sudah memerah padam bak tomat ranum.

Namun karena rasa takutnya itu muncul kembali, Yuna memegang tangan Koga lagi. Cowok itu akhirnya membiarkannya saja meskipun ia terkejut lagi karena Koga tahu jika Yuna ketakutan.

Awalnya Yuna ketakutan, namun lama-kelamaan ia melonggarkan genggaman tangannya, ia mulai menikmati pemandangan yang membuatnya jadi terpana. Koga juga menikmati pemandangan di sekitarnya, apalagi siapa yang tidak terpesona melihat angin sepoi-sepoi menerbangkan helaian rambut Yuna menciptakan sebuah ilusi yang memesona mata?

“Bagus banget ternyata, gak nyesel gue ikut tadi,” Koga tersenyum melihat Yuna sebahagia itu.

Angin yang mulai berhembus kencang kembali menerbangkan rambut pirang Yuna sehingga menciptakan sebuah ilusi yang memesona mata Koga kembali. Refleks, ia merapikan Yuna yang sedikit berantakan. “Lain kali bawa ikat rambut.” ujar Koga.

Reaksi yang diberikan Koga membuat Yuna terdiam. Badannya seolah-olah membeku, jantungnya bekerja tak karuan.

Usai menaiki perahu naga, perjalanan mereka tidak sampai di situ, waktunya berkuliner. Mereka berempat duduk di bawah pohon, mereka menikmati makanan tradisional yang khas mulai dari tahu gejrot, toge goreng, kerak telor, asinan, kue rangi, tape uli, minum bir pletok, dan selendang mayang.

Mereka memakannya dengan lahap sampai pada akhirnya mereka mulai kekenyangan, namun mereka memutuskan memakan soto Betawi sebagai penutup. Itupun semangkok berdua, karena tak sanggup jika memakannya sendiri.

“Gak nyangka jalan-jalan ke Setu Babakan bakal seseru ini!” ujar Yuna.

Aria terkekeh, “Iya, cuma modal 100 ribu aja. Sesederhana itu.”

“Hal yang membahagiakan, bisa datang dari hal-hal yang sederhana,

lebih baik hal sederhana tapi banyak makna, daripada mewah tapi gak ada kesan apa-apa,” mereka berempat tertawa. Menyutujui pendapat Yuna, bahkan Eden sekalipun.

“Kita lakuin demi lo,” ujar Aria, Yuna menatap cewek yang kini jadi pacar tetangganya itu. Tatapan Aria begitu sulit dijelaskan apa itu artinya menurut Yuna.

“Kemarin Anita nelpon gue kalau lo nangis,” Yuna terdiam.

“Akhirnya gue buat rencana buat hibur lo dengan jalan-jalan ke sini. Gue tahu lo masih pengin liburan karena belum berakhir, dan lo memang sangat bucin dengan makanan. Jadinya gue pilih ke Setu Babakan yang biasanya cuma gue dan Eden sering ke sini. Koga juga baru pertamakali ke sini sama kayak lo.”

“Jangan sedih lagi, ya?” pinta Aria. Yuna menatap mereka bertiga penuh haru.

“Terimakasih, ya. Kalian berhasil bikin gue senyum lagi. Gue seneng punya sahabat kayak kalian,” ucap Yuna, dia menatap ketiga orang tersebut.

Aria tersenyum dengan tatapan hangatnya yang dapat meneduhkan siapapun bagi melihatnya, menurut Yuna. Bahkan Eden juga tersenyum melihat ekspresi dari pacarnya tersebut. “Kita lakuin ini karena kita berempat, kan, sahabat.”

“Sahabat?” Koga menyodorkan jari kelingkingnya ke Yuna, membuat dahi cewek itu mengerut.

“Gue, kan, belum berteman sama lo,” ujar cowok itu seakan tahu jika Yuna kebingungan.

Tak lama cewek itu tersenyum, ia mengangguk dan menautkan jari kelingkingnya ke cowok itu. “Kita sahabat!

To be continued...
***
1922 kata.

Hehe aku double up! Buat kalian yang pasti nunggu banget Yuna update jadi ini special buat kalian yang gak pernah bosen baca Yuna! Thanks ya!

Jangan lupa baca cerita Omega Again juga ya! ;)) Biar melepas rindu karena SSO gk tayang di tv:(

Jangan lupa vote and coment terus cerita ini, biar aku semangat ngetiknya😉

See you❤


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top