Bab 9
"Hei, Dir. Lo dapet pesan misterius ga sih? Kok gue dapet. Pesannya aneh banget." Arka meletakkan tasnya di meja depan Andira. Saat ini mereka sedang survey lokasi untuk pembuatan konten berikutnya di daerah Cirebon.
"Ada sih, tapi gue cuekin aja. Kenapa memangnya?" tanya Andira masih sibuk dengan layar laptopnya. Gadis itu hanya peduli jika pesan itu dari JK Entertainment.
"Nih liat pesan di ponsel gue," sambung Arka sambil menyodorkan ponsel keluaran terbaru bercasing biru laut.
Andira membaca satu persatu pesan itu, kurang lebih hampir sama dengan pesan yang masuk ke ponselnya. Dimana si pengirim meminta mereka untuk segera mencari pembunuh dari jenazah yang nereka temukan.
"Dir, gue ga kuat." Ben tiba-tiba muncul, nafasnya terengah engah seperti sedang dikejar sesuatu.
"Tarik nafas, buang, tarik nafas, buang. Coba sekarang jelaskan!" Dengan seksama vlogger berbaju serba hitam itu mencoba memfokuskan diri pada lelaki di hadapannya.
Arka dan Andira nampak kebingungan. Tatapan menyelidik mereka lemparkan dari ujung kaki hingga ujung rambut Ben.
"Parah, hantu itu bener-bener udah kelewatan. Tadi dia muncul di kaca toilet. Beh, serem banget njir," umpat Ben. "Dia juga gangguin gue pas di rumah."
"Dasar penakut," ledek Arka.
"Lo enak ga diteror."
"Siapa bilang gue ga diteror. Sama aja kali. Tapi gue biarin aja, gue lebih takut sama teror pesan misterius di hp gue." Dengan santainya Arka membandingkan dua hal yang sangat jauh berbeda itu.
"Udah lah guys. Semua teror itu ga usah di bawa hati. Anggep aja angin lalu. Kita fokus aja ke project kita berikutnya. Menurut kalian lokasi ini bagaimana? Oke kan?" Andira menunjukkan foto sebuah bekas rumah sakit tua di Cirebon. Kalau dilihat dari fotonya cukup menyeramkan, dengan lorong panjang gelap dan ruangan-ruangan yang sangat berntakan.
"Yuk langsung cabut ke sana saja," pinta Andira.
Jalanan di Cirebon cukup lenggang dibandingkan dengan kemacetan kota Jakarta. Lima belas menit mereka melajukan mobil akhirnya sampai di lokasi yang mereka maksud.
Saat ini masih siang sehingga kesan horor bangunan tua ini belum begitu terlihat. Yang tampak hanya tempat kotor yang sudah lama ditinggalkan. Gerbang depan dirantai, kelihatan sekali sudah bertahun-tahun rantai ini tidak pernah dibuka. Karat yang sudah menjamur hingga seluruh bagian. Gerbang yang sudah tidak lagi berdiri lurus. Halaman yang dipenuhi rumput liar tak terurus
Dari luar nampak kaca di pintu masuk UGD sudah pecah sebagian sehingga menampakka. Pemandangan di dalam UGD. Ranjang yang ditinggalkan dan peralatan yang sudah berdebu.
Andira, Ben, dan Arka hanya melihat dari luar gerbang. Mereka tidak mau memasukinya jika belum mengantongi izin dari pihak setempat. Kali ini mereka hanya mensurvey lokasi, jika cocok baru akan dibuatkan surat permohonan izin kepada pihak yang berwenang.
Memang beberapa hari sejak jasad tak dikenal ditemukan, semua kru Andira mendapat teror. Baik teror dari si hantu dan juga teror dari akun asing yang muncul di akun medsos mereka. Beberapa tidak menanggapi teror itu dengan serius akan tetapi seiring berjalannya waktu teror itu lambat laun semakin meresahkan. Mau tidak mau suka tidak suka mereka harus segera menanganinya.
Waktu menunjukkan pukul 9 malam, Andira dan Arka masih mencari beberapa perlengkapan syuting yang mereka butuhkan untuk membuat konten. Rumah sakit terbengkalai kemarinlah yang dipilih untuk menjadi lokasi project mereka. Izin sudah dikatongi, hari pengambilan gambar juga sudah ditetapkan. Kedua orang itu hanya mempersiapkan beberapa hal yang dirasa perlu.
Ben pergi makan di warung dekat studio Andira. Lelaki itu tidak ikut hunting barang dengan alasan perut yang sudah berdendang dari sore. Sementara Joshua tetap berada di studio, berjaga sekaligus mengedit beberapa konten.
"Lo ga ngerasa curiga gitu, Dir." Arka mulai membuka topik, kedua tangannya kini penuh dengan belanjaan yang seabrek. Niatnya memang membeli barang untuk syuting tapi nyatanya mereka malah sibuk shopping perlengkapan mereka sendiri.
"Curiga apa Ka?"
"Kalau yang ngirim pesan itu si Farid."
Tawa rekannya pecah mendengar perkataan Arka. Lelaki itu sudah gila bagaimana mungkin hantu bisa pegang ponsel, pikir Andira.
"Hantunya kaya banget ya bisa beli ponsel," canda gadis bertopi itu.
"Yee, malah ngeledek."
"Lah lo sendiri yang dari tadi ngelawak Bambang. Mana ada Bro hantu ngirim pesan. Kalau ada berarti ada dong pabrik ponsel di dunia perhantuan, mungkin yang jual paket data Miss K kali ya," kekeh Andira, gadis itu tidak henti-hentinya tertawa melihat kekonyolan sahabatnya.
"Dulu kan pas kita kecil ada tuh mitos kalau telepon ke nomer 666666 bisa nyambung ke dunia arwah. Atau orderan gojek yang ngorder hantu."
"Arka, ketauankan kan seberapa tuanya kita. Sudah ah, yuk cabut. Kita kemaleman. Anak-anak pasti udah nungguin kita dengan tanduk merah mereka."
Canda tawa mewarnai perjalanan kedua orang ini. Arka menyeyir dengan sangat hati-hati, dia memang sopir yang baik selalu taat aturan lalu lintas tidak seperti Andira yang suka tancap gas saat lampu baru saja berubah merah.
Tiga puluh menit mereka habiskan di jalanan kota metropolitan. Malam semakin larut, namun keramaian di sana masih sangat terasa. Tidak ada tanda-tanda kelelahan dijantung Indonesia itu.
Saat Andira kembali dia dikejutkan dengan police line yang dipasang di depan studionya. Matanya membulat melihat hiruk pikuk polisi dan wartawan juga penduduk yang lalu lalang di depan studionya.
Arka dn Andira bergegas berjalan menuju Ben yang ternyata sudah terlebih dahulu berada di sana. Kabar mengejutkan, Joshua ditemukan di samping studio dengan luka tusukan di perut dan dadanya.
"Lo becanda kan, Ben. Gak, jawab gue lo becanda kan? Tadi Joshua masih ngobrol kok dengan kita. Dia masih sehat kok. Ben, liat gue. Bilang kalau yang dikatakan orang-orang itu bohong." Air mata Andira mulai menetes, Arka sudah terlebih dahulu pergi menemui aparat terdekat.
Ben hanya menunduk bingung mau menjawab pertanyaan temannya itu seperti apa. Kabar ini juga menyakiti hatinya. Tidak ada yang senang di sini. Lalu membuat kabar becandaan seperi ini juga tidaklah mungkin ia lakukan.
Nampak dua orang polisi pergi membawa tubuh Joshua ke ambulan. Tangis Andira pecah saat tidak sengaja kain yang menutup tubuh Joshua terbuka. Di sana tampak wajah tak berdosa yang kian pucat. Kain di perutnya berwarna merah, seolah darah segar itu terus mengalir tiada henti. Arka menarik gadis itu dalam dekapannya. Dia berusaha menenangkan hatinya juga hati teman-temannya sekarang.
Kejadian yang begitu mengejutkan ini ulah siapa? Atas dasar apa ia berhak melakukan itu pada temannya? Hal apa yang telah mereka lakukan hingga mereka layak mendapatkan ganjaran seperti ini? Hal-hal itulah yang berputar di kepala Andira.
Kini studio Andira ditutup tidak ada seorangpun yang diizinkan memasukinya di sekitarnya dipasang garis kuning. Banyak juga wartawan yang meliput, dan polisi yang bertugas memeriksa TKP.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top