Bab 5

Pagi mulai menyingsing, kabut tebal menyelimuti Curug Panjang. Jangkauan mata menjadi sangat minim. Sama sekali tidak terlihat sedikitpun jalan. Jika dipaksa untuk berjalan maka tidak ada jaminan untuk selamat dari dalamnya jurang.

"Ra, bangun." Berulang kali Dinda menggoncang-goncangkan tubuh teman di sampingnya. Akan tetapi Andira tetap menggigil dan meracau sembarangan. Wajahnya mulai memutih, bibirnya semakin kehilangan warna kemerahannya.

"Bangun. Please, bangun, Ra! Gue takut lo kenapa napa." Isakkan mulai terdengar dari mulut Dinda.

"Ada apa ini, Din?" tanya Ben di belakangnya Arka dan Joshua terlihat cemas.

"Ini, Andira. Dia susah banget dibanguninnya. Lihat tangannya udah dingin semua. Gimana dong gue takut." Dinda berusaha menggosok-gosokan tangannya ke telapak tangan Andira secara bergantian berharap dapat memberi sedikit kehangatan.

Ketiga cowok itu bergegas masuk ke tenda cewek. Mereka berusaha membangunkan Andira. Ada yang menggosok kaki, ada yang mencoba membaui minyak kayu putih, ada yang menyeka dengan air hangat. Semua beru saha keras agar gadis itu tetap hangat.

"Tunggu!" pekik vlogger cantik itu nyaring. Andira mulai mengerjabkan kedua matanya, kesadarannya perlahan pulih. Dia menyadari ada yang aneh di sini, dia bingung mengapa tampang semua orang terlihat panik.

"Lo ga papa, Ra? Syukurlah", ujar Dinda sembari memeluk Andira erat. "Wajah lo tadi pucet banget sumpah."

"Gue ga papa kok,"jawab Andira lemas. "Hanya saja tadi hantu itu kembali muncul di mimpi gue. Gambarannya sangat sadis sampe gue sendiri takut buat nyeritain ke kalian."

"Dia lagi Dir? Kita lupain dia saja. Gue ga mau gara-gara dia salah satu dari kita ada yang terluka," kata Joshua dengan nada tinggi. Baru kali ini mereka mendengar lelaki kalem itu semarah ini. Dia tadi juga terlihat sangat cemas dengan kondisi gadis yang diam-diam dia kagumi.

"Gue ga mau," tolak Andira tegas.

"Apa? Gak boleh, pokoknya kita stop saja sampai sini, bodo amat ama arwah itu, mau gentayangin kita. Nanti lama-lama dia akan bosan sendiri."

Tatapan Joshua kepada Andira sedikit mengeras. Kali ini dia benar-benar tidak mau sesuatu yang butuk terjadi pada gadis itu. "Lo ga mau kan ngebiarin bang Dio sendirian di dunia ini. Begitu juga gue, Ben, Dinda dan Arka ga akan rela kehilangan lo."

"Gue ga akan mati. Gue udah janji sama dia untuk membantunya. Lagipula dia tau keberadaan sahabat gue, Rania. Gue tetep akan bantu dia." Suara bernada tinggi juga keluar dari mulut gadis itu. Air matanya mulai menetes saat dia mengingat kejadian yang menimpa sahabatnya itu.

"Hah, gimana? gimana? gimana bisa makhluk itu tau Rania? Ngaco deh." Teman-teman Andira saling pandang meminta kejelasan satu sama lain.

"Gue ga bohong. Kemarin dia ngasih gambaran kalau Rania di sekap di suatu tempat. Jadi bagaimanapun gue mau bantu dia."

Andira mulai bangkit dan membawa beberapa perlengkapan. "Jika kalian mau mundur silakan, gue ga maksa."

"Gue ikut lo," Dinda langsung mengambil jaket dan mengikuti langkah Andira, begitu juga Arka dan Ben. Sementara Joshua masih marah dengan keputusan nekat yang diambil gadis itu.

"Kita cari kemana, Ra?" tanya Arka.

"Kita ke semak di belakang rumah ini," jawab Andira mantap.

Dia yakin sekali jasad Farid ada di sana. Baru saja bocah itu memberitahunya. Medannya sedikit sulit. Andira sendiri sempat bingung bagaimana bisa si pembunuh kepikiran untuk menyembunyikan di tempat sulit dijangkau seperti ini. Bagaimana juga cara dia membawanya.

"Gue tetep di sini, gue udah bilang ke bang Dio buat jemput lo. Gue tetep ga setuju lo ngelakuin hal nekat seperti ini," terang Joshua. Dia mulai mengemas tenda dan memasukkannya ke mobil. Dia sendiri hanya berdiam di bangku kemudi menatap nanar kepergian rekan-rekannya. Meski marah dia tetap selalu mendoakan keselamatan untuk mereka semua.

Keempat orang itu tidak memperdulikan Joshua, mereka tetap kekeh mencari ke arah semak belukar di belakang rumah kuno ini. Andira mengenali tempat itu, meski dia belum pernah sekalipun menjejakkan kaki ke tempat ini. Dia paham betul jalan yang tadi malan dia lalui di mimpinya sama persis dengan jalan yang sekarang ada di hadapannya.

"Lo yakin di sini?" sambung Ben. Dia tidak yakin jika di sini adalah tempatnya. Di sini medannya sangat sulit ditembus, niat banget jika si pembunuh membuangnya di area ini.

"Gue yakin. Coba kalian cek di sebelah sana. Gue akan cek sebelah sini. Semoga kita bisa menemukannya secepat mungkin." Andira berjalan menuju ke arah Timur, Dinda ke Barat, Arka ke Utara, dan Ben ke Selatan.

"Guys kalian nyium sesuatu ga? Di sebelah sana," ujar Risa sembari menunjuk ke satu titik tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Gadis manis berkacamata minus itu mulai terlihat menutup hidungnya, semakin lama membuat dirinya mual dan mengeluarkan seluruh isi di perutnya. Andira mencoba membantu memberi minyak kayu putih untuk meredam mualnya. Dia sendiri juga mencium bau yang tidak sedap seperti bangkai.

Bau itu sangat menyengat. Ben dan Joshua mencoba melihat ke arah datangnya bau itu. Mereka menemukan sebuah tas, nah dari dalam tas itulah bau sangat busuk itu berasal.

"Ada koper ,Ra," teriak Arka.

"Jangan di sentuh. Cepat kembali ke mobil panggil Joshua dan segera hubungi polisi."

Arka dengan sigap menghubungi kepolisian setempat. Ternyata di mobil sudah ada bang Dio. Dia nampaknya baru saja datang. lelaku itu menjelaskan sedikit banyak temuan mereka Joshua dan bang Dio. Mereka semua segera meluncur ke TKP.

Tiga puluh menit kemudian kepolisian setempat mulai datang. Mereka mulai memasang garis polisi di sekitar tempat penemuan koper itu. Andira dan kawan-kawan menunggu dengan perasaan lega. Akhirnya misi mereka selesai dengan baik. Mereka pikir Farid akan tenang saat jenazahnya ditemukan dan dia akan segera memberitahu keberadaan rekannya, Rania.

Perkiraan Andira meleset, Farid mengajukan satu lagi syarat yaitu meminta tolong Andira untuk secepatnya mencari sang pembunuh yang bagi Bocah itupun wajah dan namanya juga sudah samar.

'Bagaimana mungkin gue bisa nyari pembunuhnya? Bukankah lebih baik kita serahkan saja pada polisi,' kata Andira di alam bawah sadarnya.

'Hanya lo yang bisa nolongin gue.'

'Tapi gue ga bisa, gue bingung harus cari di mana. Ga semudah itu mencari seorang pembunuh. Lo saja tidak tahu siapa namanya." Andira belum menyetujuinya karena itu hal yang sulit.

"Jadi kakak tidak ingin menemukan kak Rania?" Farid menghilang dalam sekejab. Andira terdiam merenung, tindakan apa yang sebaiknya dia ambil.

"..."

"Semakin lama kakak memutuskan nyawa kak Rania semakin dalam bahaya."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top