Bab 4

"Hallo, Ra. Kemana lu? Kok ga pamit?" Suara ngebass terdengar lantang dari ponsel Andira. Ia sampai menjauhkan ponselnya beberapa inchi. Rekannya di mobil juga sampai menengok tajam ke cewek berbaju serba hitam itu.

"Oh, Bang Dio. Maaf bang tadi abang dibangunin susah banget. Lagi pula gue ga mau kakak gue satu-satunya jadi zombie, karena kurang tidur. Bang Dio pulang subuh kan? Makanya gue cabut duluan. Udah ditungguin anak-anak juga," jawab Andira seenak jidatnya sendiri.

Tiga puluh menit dia mencoba membangunkan sang kakak, tapi si raja tidur itu sama sekali tidak merespon. Andira sendiri sebenarnya kasihan pada kakaknya, kerjaannya di kepolisisan akhir-akhir ini sangat banyak, hingga lelaki itu kurang tidur.

Andira pergi tanpa berpamitan terlebih dahulu. Meski sebenarnya tadi dia sudah menulis selembar memo di meja makan yang mungkin sudah menghilang entah kemana.

"Emang kemana sih buru-buru amat? Tumben juga pagi udh berangkat? Biasanya sore."

"Ke Bogor, mau cari mayat. Sudah ya, Bang."

"E, buset, ngapain nyari mayat? Mau dikoleksi? Lagiam jauh amat ke Bogor. Nanya Hans aja banyak tuh di Rumah Sakit. Atau ikut abang ke TKP, kebetulan ini ada kasus baru," sambung polisi ganteng itu.

"Udah ah lama kalau nyeritain satu per satu ke bang Dio. Bye bang." Andira secara sepihak mematikan ponselnya lalu memasukkannya kembali ke tas.

Dio tetap saja masih khawatir dengan adik semata wayangnya itu. Mereka hanya tinggal berdua karena orang tua mereka sudah meninggal dalam kecelakaan setahun yang lalu. Hanya neneknya yang turut menemani, namun beberapa hari ini, nenek pulang ke rumah anaknya yang lain.

"Bang Dio kenapa, Ra? Dia nanyain gue gak?" tanya Dinda antusias. Dinda, rekan Andira di jurusan forensik. Dimana dia dimintai tolong Andira untuk kasus kali ini.

Andira hanya menggeleng dan menepuk bahu rekannya itu. Dinda memang dari dulu mengidolakan sosok bang Dio, baginya sosok lelaki itu adalah sosok lelaki sempurna punya perkerjaan yang mapan, serta tampang yang tampan paripurna.

"Bang Dio lagi Bang Dio lagi, ga bosen-bosen ya, Din. Lu kan udah ditolak kemarin," sambung Ben.

"Biarin. Bang Dio mah kerjaan mulu yang dipikirin, gue yakin dia belum menyadari aja pesona gue. Nanti begitu dia sadar dia pasti bakal klepek-klepek." Gadis berkaca mata itu, tetap kekeh dengan pendapatnya.

"Tapi gue ogah juga lu jadi kakak ipar gue." Tawa lepas Andira pecah melihat rekannya itu memanyunkan bibirnya.

Perjalanan mereka terasa cepat, mungkin karena masih pagi sehingga kendaraan masih sedikit yang melintas ditambah obrolan yang tidak ada habisnya. Andira, Joshua, Arka, Dinda dan Ben sampai di lokasi pertama yaitu The Forest hotel lokasinya lima menit dari vila kamboja.

Mereka mencoba menggali informasi tentang orang yang mencurigakan sebulan terakhir ini. Karena petunjuk yang sangat minim resepsionis hotel itu tidak banyak membantu penyelidikan mereka. Begitu pula saat Andira dan kawan-kawan pergi ke tiga hotel dan villa yang lain.

"Ah, kalau ayah anak yang datang berdua lalu pulangnya hanya sendiri apa ada? Atau ada kejadian luar biasa yang terjadi sebulan lalu?" kata Andira ingin tahu. Dia hanya berdua saja bersama Dinda.

Tampak resepsionis Villa Lili Putih sibuk mengingat ingat. Ini adalah villa terakhir yang mereka kunjungi, seharusnya villa inilah yang paling berpotensi. Lokasinya sedikit jauh dari jalan besar. Arwah Farid juga tiba-tiba menghilang entah kemana.

"Oh ada. Sepertinya Rekan saya dulu pernah bercerita, ada seorang lelaki paruh baya yang menginap di sini awalnya dia datang berdua bersama anak lelakinya, namun dia check out seorang diri." Resepsionis itu sedikit ragu namun dia tetap mengatakan hal yang dia tahu.

"Boleh tahu siapa namanya?"

"Mohon maaf tapi kami tidak bisa memberikan data ke sembarang orang."

Andira dan Dinda pergi tanpa petunjuk sama sekali dan sekarang semua tempat yang mereka curigai sudah mereka kunjungi.

"Gimana?" ujar Joshua menyambut kedatangan kedua gadis itu. Akan tetapi belum sampai gadis itu memjawab Arka sudah tahu jika mereka lagi-lagi gagal. Terlihat dari gelagat mereka yang lesu.

Tak terasa adzan maghrib berkumandang, hujan turun begitu deras, menambah dinginnya malam yang akan mereka lalui. Tujuan berikutnya adalah ke tempat yang mereka curigai sebagai tempat pembunuh itu membuang jasad Farid. Mereka memutuskan untuk pergi ke lokasi alam di curug panjang.

Medan yang mereka lalui sangat licin dan melewati sisi jurang. Jalan setapaknya tidak sampai satu meter dengan rerimbunan pohon beringin di sisi kiri dan jurang curam di sisi kanannya. Mereka hanya bisa berjalan satu per satu dengan perlahan.

Ben membungkus kamera dengan plastik hitam dan tetap merekam semua kejadian saat itu begitu seram dan dramatis. Semua kru kesusahan melewati medan yang berat ini. Dinda saja sempat terpeleset hingga seluruh celananya penuh lumpur.

Setelah melewati jalan setapak mereka juga harus melewati jembatan kayu kecil hingga mereka sampai di rumah kosong. Hujan semakin deras, kelima orang itu memutuskan menghentikan perjalanan sementara dan beristirahat di sana hingga hujan reda.

"Kenapa ada rumah di tengah hutan begini sih. Mau maunya penghuninya dulu tinggal di tempat yang susah dijangkau seperti ini," omel Dinda.

"Lu yakin di sini tempatnya? Serem bener." Ben nampak gemetaran.

"Udah deh, lo kan cowok. Lo juga udah ikut penelusuran konten ini beberapa episode tetap aja penakut." Joshua nampak jengah dengan keluh kesah rekan seperjalanannya itu.

"Hei kalian berdua, udah deh."

Suara jangkrik dan suara hujan menemani perdebatan sepele mereka. Andira sendiri menatap tajam ke arah sosok pucat itu. Dia berdiri jauh sekali dari tempat Andira berteduh. Entah kenapa dia seperti takut untuk mendekat.

'Kenapa dia tidak mau ke sini? Apa mungkin penghuni di sini tidak mau teritori mereka di usik makhluk lain,' batin Andira. Gadis itu kini sudah makai jaket lengkap untuk mengusir dingin dari tubuhnya.

"Kita split aja yuk biar cepet kelar. Gue capek nih. Gue, dan Arka ke Timur. Dinda, Joshua, dan Ben ke Barat. Jika tidak ada petunjuk kita kembali berkumpul satu jam dari sekarang."

Andira mulai membuka satu kamera lagi untuk dia gunakan, karena kelompoknya tidak bersama Arka sehingga dia butuh satu kamera lagi untuk meliput.

"Oke," Jawab keempat orang itu kompak.

Mereka mencari ke sana kemari namun nihil, sama sekali tidak menemukan petunjuk apapun. Malam semakin tua, tenaga mereka semakin habis terkuras.

Memang medan di sini sangat terjal, banyak pohon-pohon besar dan rumput tinggi, susah dilewati. Harus memotong beberapa ranting untuk membuat jalan. Tanahnya juga sangat becek sehabis hujan.

Di halaman depan rumah kosong itu mereka mendirikan tenda dadakan. Andira yang kelelahan jatuh tertidur di samping Dinda. Dalam mimpi dia melihat kembali pemandangan yang tidak mengenakkan baginya.

'Kemana gue harus menyingkirkan bocah ga berguna ini?' samar terdengar suara seorang laki-laki dengan koper di tangan kanannya.

Lelaki itu terus mendorong melewati tempat-tempat yang baru saja Andira lalui. Dia meninggalkan koper biru dongker di semak tak jauh dari rumah kosong tempat dirinya beristirahat.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top