Bab 2

Adzan subuh berkumandang, Pak Alim yang sudah mengenakan peci putih dan sarung polos berwarna pudar berjalan mendekati mobil yang terparkir tak jauh dari gerbang masuk villa tersebut.

"Assalamualaikum," sapa lelaki tua itu ramah, senyum selalu tersungging di wajahnya yang teduh.

"Wa'alaikumsalam, Pak," jawab Ben sembari menyalami begitu pula ketiga rekannya, mereka menghentikn sementara kegiatannya untuk menyambut juru kunci tempat ini.

"Bagaimana, Nak. Semua berjalan lancar? Apa ada kendala?"

"Em."

Joshua, Ben, dan Arka  saling melirik. Mereka nampak bingung ingin mengatakan apa, sedetik kemudian pandangan mereka tertuju pada Andira yang berdiri diam di depan pintu Villa.

"Eh, si Neng kenapa?" Pak Alim memandang sekilas ke arah pintu depan lalu memandang lawan bicaranya kembali. Dinginnya pagi membuat lelaki itu sesekali mengusap lengan tangannya.

"Sejak tiga puluh menit lalu, dia begitu. Kita tanyain ga ngerespon sama sekali. Malah kita disuruh beres-beres," celetuk Ben.

"Oh, ya sok atuh dilanjut saja berberesnya. Bapak samperin Neng sebentar ya."

"Iya pak."

Sebenarnya, Pak Alim sudah mengetahui apa yang terjadi pada gadis yang dia panggil Neng itu. Beliau melihat seorang anak kecil berdiri tepat dihadapan vlogger cantik itu. Pak Alim tahu benar bahwa sosok itu bukanlah manusia, dia juga bukan penunggu villa ini karena lelaki tua itu baru pertama melihatnya. Bagi beliau bersinggungan dengan hal yang tak kasat mata itu bisa berdampak baik juga buruk. Lalu sosok di depannya itu kemungkinan besar berdampak buruk bagi kelompok kecil ini.

Dari kejauhan nampak Andira dan Pak Alim berbincang hangat. Sesekali tawa mewarnai obrolan mereka membuat Arka dan yang lainnya sedikit lega.

"Ben, yang bener dong masukin kameranya, ngalamun aja. Emang di sana ada apaan serius banget ngeliatinnya?" tanya Arka penasaran.

Kameramen Andira itu memang sedari tadi fokusnya buyar. Dia melihat seorang wanita cantik duduk membelakanginya namun sesekali gadis itu memandang ke samping sehingga Ben bisa melihat lekuk wajahnya yang khas perempuan Sunda. Dari arah Ben gadis itu nampak normal dengan rambut wavy sepinggang, baju kuning bermotif bunga.

"Ka, liat ga cewek bohay di semak-semak itu?" Sejenak mata Ben menatap lawan bicaranya itu, melepaskan pandangan yang sedari tadi menyita perhatiannya.

"Semak?" Arka memandang arah yang tadi dilihat Ben, kosong sama sekali tidak ada siapa-siapa.

"Itu hlo di Ka ...." Ben menunjuk dengan pasti ke arah semak di bawah pohon besar di kanan mereka. Dia kebingungan gadis yang dia lihat sudah tidak ada lagi. Yang terlihat hanya semak tinggi, sama sekali tidak memungkinkan orang bisa menjangkau tempat itu.

"Nah kan ga ada, lagian mana ada di tempat beginian cewek bohay. Pikiran lo mesum mulu."

"Eits, ga gitu juga kesimpulanya."

"Habis cewek bohay, di semak-semak, ngapain dong klo ga mesum."

Ben mengacuhkan perkataan Arka, dan kembali ke pekerjaannya mengemas kostum juga beberapa perlengkapan lighting. Ben masih nampak bingung. Dia pikir dia salah lihat, matanya kembali mencari sosok itu. Dia yakin jika dirinya tidak salah lihat.

"Lo ga salah lihat kok Ben," kata Andira.

"E, buset, ngagetin aja, Non." Arka langsung menjatuhkan tas kecil yang ada di tangannya. Arka juga terlihat mencari sosok Pak Alim yang sedari tadi mengobrol dengan Andira.

"Pak Alim pamit ke masjid mau salat Subuh. Guys, ada yang mau aku omongin," ujar Andira ragu. "Kalian ingat hantu anak-anak yang tadi?"

Ketiga rekan Andira itu segera menghentikan semua aktifitasnya dan berjalan mendekat ke arah Andira. Mereka duduk melingkar dengan Andira sebagai pusatnya.

"Karena kita tidak tahu siapa nama hantu itu, kita sebut saja dia Farid. Dia ini sedikit memaksa agar kita nolongin dia." Gadis berambut sepunggung itu menghela napas panjang, seolah berat untuk mengatakannya.

"Kalau kita nolak?"

"Entahlah, aku sendiri juga bingung. Aku akan ceritakan gambaran apa saja yang dia tunjukkan, dan aku serahkan semua keputusan pada kalian."

Saat Andira berdiri mematung di depan pintu adalah saat Farid  memaksakan eksistensinya. Karena kelelahan mau tidak mau gadis itu menerima setiap slide memori yang ditunjukkan. Untung Pak Alim tadi menghampirinya sehingga dia bisa kembali ke raganya.

Farid menunjukkan sosok lelaki, wajahnya tidak lihat jelas yang Andira tahu tingginya kurang lebih 172 cm. Anak itu hanya sepinggangnya. Lelaki asing itu menarik paksa anak lelaki itu dan mendorongnya hingga memasuki area perkebunan yang luas tak jauh dari Vila ini. Dorongan itu menyebabkan luka terbuka di kepalanya.

Tidak hanya sampai disitu Farid disiksa dan dipaksa berhubungan badan dengannya. Andira bergidik ngeri memandang kesadisan yang dilakukan laki-laki itu pada anak sekecil itu. Dia tidak segan memukulinya dengan tongkat, hingga punggung, paha, dan lengannya itu membiru.

"Kenapa tidak berteriak saja?" tanya Joshua.

"Mulut dan mata Farid ditutup kain. Tangan dan kakinya diikat. Ingin rasanya menolong tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, karena adegan itu tidak nyata."

"Si cowok menikmati itu semua?"

Andira mengangguk, "Seolah setiap rasa sakit yang dirasakan membuatnya puas."

"Pedo sadis brengsek."

Arka dan Ben mengumpat kasar ke sembarang tempat. Joshua hanya mendengarkan dengan seksama, meski ekspresinya menggambarkan hal yang sama.

"Jadi Farid ini dari masa yang tidak jauh dari masa kita?" sambung Arka, lelaki berpenampilan urakan meski sejatinya sifatnya tidak demikian.

"Lelaki itu sepertinya orang terdekatnya," kata Ben.

Andira nampak membenarkan perkataan rekannya. Menurutnya  kelihatan sekali jika dia percaya dengan orang itu hingga mau mengikutinya ke tempat sepi.

"Jangan bilang ayah atau pamannya," tebak Joshua penuh semangat.

"Ye, dasar korban berita kriminal."

Sayangnya ayah dan paman, bukan mereka pembunuhnya, kuncinya ada di memori ketiga yaitu saat Farid tertawa bahagia dengan Pedo tadi di depan sebuah mobil hitam, nomor mobilnya tidak terbaca yang Andira lihat hanya mobil berwarna hitam. Bahagianya tidak berlangsung lama, lelaki itu memutar mobil dan melajukannya dengan kencang

"What?"

"Kalian tahu, sosok arwah Farid yang menemuiku tadi memegang sesuatu di tangannya, seperti selembar kertas bergambar tak terligat apa gambarnya karena sudah berwarna merah terkena cipratan darah anak itu."

"Yang ngebunuh tetangganya?" Ben menggeleng tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.

"Kayaknya begitu. Jadi, setelah dia puas melecehkan anak malang itu. Farid dicekik dan digorok hingga lehernya nyaris patah, lalu jasadnya dibuang."

"Cih, manusia memang begitu. Suka enaknya aja giliran dikasih amanah malah dibunuh," umpat Ben kasar.

"Kek elo?," ejek Arka.

"Enak aja." Ben menyenggol bahu Arka hingga lelaki berkacamata itu kehilangan keseimbangannya.

"Terus apa yang dia mau dari kita?" Dengan penuh tanya Arka mencoba menggali lagi tujuan dari keseluruhan memori itu.

"Dia mau kita mencari jenazahnya. Sampai sekarang jasadnya belum ditemukan."

"Lah emangnya kita polisi bisa gitu aja nemuin jenazah. Lo jawab apa?" Joshua nampak tidak setuju.

"Ya belum aku jawab, dia nunggu jawaban kalian. Sebenarnya aku pribadi ga setuju, tapi jika kita berhasil membuat konten pencarian ini, dan berhasil menemukan jenazah. Aku pastikan konten kita akan viral."

Bagi Andira kesempatan ini kesempatan emas untuk bisa menemukan Rania. Semakin konten mereka dikenal semakin dekat mereka dengan tujuan vlog ini.

Mobil jazz merah terparkir di depan gerbang masuk. Andira memincingkan matanya, dia seperti mengenal plat mobil itu, berulang kali dia menggeleng sambil menghela nafas.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top