Bab 18
Rencana penyamaran Andira hari ini cukup berhasil. Meski terpaksa kembali dengan tangan kosong. Rumah paman asing itu terlihat kosong, kata tetangga samping rumahnya. Pemiliknya sedang pergi menghadiri undangam dari kerabat jauh mereka di luar Jawa. Kemungkinan satu minggu lagi baru pulang.
Malam kian larut ketiga orang itu masih terjaga dari tidurnya. Mereka masih berdiskisi di beranda rumah.
KRASSAAKKK GDUBRAKK
Jauh di luar tanah kosong di belakang rumah Andira ini berjajar rapi puluhan pohon yang mengelilinginya, dari salah satu pohon tersebut terdengar suara berdebam yang sangat keras.
Dio dan Hans saling berpandangan selama beberapa detik. Kemudian pandangan mereka mengarah ke arah sumber suara itu kemudian ke arah Andira. Dia segera berlari menuju ke arah sumber suara itu.
“Apa itu? Suara ledakannya sangat keras,” batin Hans.
Dia ikut berlari mengejar kekasihnya itu. Lelaki bercelana pendek dan kaus tanpa lengan itu sangat menantikan kejutan apa yang ada di depan sana. Dengan mata berbinar dia dan Dio mengikuti ke arah mana Andira pergi. Mereka berdua mengikuti gadis berjaket hitam itu dari belakang seperti anak ayam yang mengikuti induknya untuk mendapat makanan.
“Apa itu?”
Wajah Bang Dio seketika berubah pucat, ternyata adiknya tidak sedang iseng, di depan sana sama sekali tidak terlihat sesuatu yang normal seperti bekas petasan atau apa. Yang terlihat adalah seorang lelaki yang meringkuk dan bersimbah darah. Gadis indigo itu yakin lelaki itu bukanlah manusia. Sosok itu memang memiliki wajah seorang manusia namun terlihat pucat dan berantakan. Bulunya sangat lebat dengan mata hijau menyala, makhluk itu memandang tajam ke arah ketiga orang di hadapannya.
“Siapa kau? Berani sekali mengirimkan penyakit ke rumahku?”
Andira berdiri tepat di hadapan makhluk itu, tidak ada rasa takut sedikitpun terlihat dari semua gerak geriknya. Dia tidak takut juga karena di rumahnya ada penunggu yang memang sudah turun temurun menjaga keluarganya. Kodam itu jugalah yang telah melukai makhluk kiriman ini.
“Aku hanya melaksanakan perintah. Yaitu perintah untuk memberikan hukuman padamu,” ujar sosok berbadan penuh bulu itu, meskipun badannya sudah penuh darah dia masih tetap kekeh menantang Andira.
“Oh, Tuanmu menginginkan bencana menimpaku? Sayang sekali hari ini bukan hari keberuntunganmu. Kau benar-benar pemilih hari terburuk yang pernah aku temui. Kau tahu kenapa?” tatapan Andira semakin terlihat menakutkan. “Siapa yang menyuruhmu?”
“Kau tidak perlu tahu, Kau hanya perlu menderita sedikit dan aku akan mendapat hadiahku!” sosok itu kemudian bergerak cepat kearah Andira, memelintir kedua lengannya, namun yang dililit hanya diam saja seperti patung tidak memberikan perlawanan apapun. Wajahnya pun juga masih tak berekspresi. Benar saja yang di dalam raga Andira memanglah bukan Aruna namun kodam yang menjaganya selama ini.
“Sudah aku bilang hari ini bukan hari keberuntunganmu!”
Kodam itu langsung membanting makhluk yang menurutnya mencari gara-gara dengan dirinya. Makhluk itu langsung lenyap.
Dio saja sampai merinding dibuatnya, dia hanya berdiri diam di samping Hans. Hal di luar nalar seperti ini bukanlah tandingan mereka yang berpikir dengan logika.
“Lo baik-baik saja Ra?” tanya Hans saat sang pacar terlihat mulai kembali kesadarannya.
“Gue baik-baik saja, gue hanya syok saja. Arka yang melakukan ini," jawab Andira lirih. Ada gurat kekecewaan di matanya.
“Apa maksudmu?” Bang Dio memiringkan kepalanya bingung. Dia mencoba mencerna pertanyaan yang dilontarkan Jung. Setahu dia, Arka dan Aruna sudah berteman lama. Bagaimana mungkin dia menginginkan musibah menimpa rekannya.
“Arka marah sama gue, Bang. Gue yakin ini karena kecelakaan yang menimpa Jo dan Ben. Dia masih belum mau menerima kenyataan bahwa rekannya dicelakai orang. Dia masih menyalahkan arwah Farid dan gue, ” jelas Andira.
***
Beberapa hari berlalu. Hans terlihat datang bersama Dio. Andira menyambut keduanya dengan penuh tanya. Wajah keduanya tampak kusut.
"Jelek banget tampang lo, Bang. Kalau Jung meski banyak pikiran masih tetep keliatan tampan," kata Andira tanpa bersalah.
"Durhaka bener lo, Ra. Sama abang sendiri ngatainnya begitu amat." Bang Dio langsung menoyor kepala Andira. Gadis itu malah tertawa terbahak-bahak menanggapi abangnya.
"Ada kabar apa, Bang?" Andiraa berusaha menggali perkembangan kasus kematian teman-temannya.
Dio melirik ke arah Hans. Tampaknya ada yang mereka sembunyikan dari Andira.
"Itu. Ah, abang lapar nih. Makan dulu yuk. Nanti abang ceritain deh." Bang Dio mencoba mengalihkan perhatian Andira.
"Ayolah, Bang. Ga ngaruh tau. Buruan cerita sekarang," paksa Andira.
Setelah menghela nafas panjang. Akhirnya lelaki yang masih mengenakan seragam itu duduk mengahdap Andira dan mulai menjelaskan.
"Pihak kepolisian mencurigai kalian. Lo, dan Arka."
"Apa? Kok gue juga? Ga mungkin Arka juga."
"Yah, lo bisa bilang seperti itu karena lo temenan sama mereka sejak lama. Tapi Ra. Kejahatan bisa terjadi karena ada kesempatan dan sesuatu yang mendesak mereka untuk melakukannua. Semua petunjuk mengarah pada kalian bertiga. Kalian adalah yang berpotensi besar melakukan hal itu," terang Dio.
Namun polisi belum mendapat bukti kuat. Sehingga mereka masih menempatkan kalian sebagai saksi.
"Kok wajah kalian begitu?"
Dio dan Hans menatap Andira, mereka ingin mengatakan sesuatu tapi ragu.
"Ayo katakan saja." Andira memaksa keduanya.
Mereka meminta Andira pergi ke rumah Arka mencari apapun petunjuk yang bisa di dapat. Namun mereka masih enggan melakukan hal itu karena jika benar salah satu dari mereka pembunuhnya itu akan berbahaya bagi Andiraa.
"Gue bakal lakukan. Tapi kita harus mendapatkan memo Farid terlebih dahulu. Gue masih belum mau mengakui kalau Arka tega melakukan hal buruk pada rekannya sendiri."
Langit masih terlihat gelap gulita meskipun jam sudah menunjukkan pukul 4 pagi. Suara hewan malam masih mengiringi malamnya sangat sunyi, menandakan masih banyak penghuninya yang terlelap.
Andira berjalan mengendap-endap menuju pintu di ujung lorong. Tiba-tiba pandangan gadis itu dialihkan oleh kedua sosok yang berdiri di luar pintu kamarnya. Sosok itu membuat Andiraa menghentikan langkah dan memutuskan hanyak hal.
“Apa yang ingin kamu sampaikan lagi?” kata Andira sambil menatap arwah Farid dengan yakin. Bocah itu juga masih berada di kamar Andira. Dia duduk meringkuk di sudut kamar Andira yang paling gelap.
Meski dia sendiri tidak tahu apa yang membuat kedua arwah itu terus mengganggunya. Dia tidak mungkin akan meninggalkan gadis lemah itu sendirian di hutan.
“Yah paling tidak akan ada hal menarik, cepat katakan.”
Arwah itu masih diam di tempatnya. Tidak mau melakukan komunikasi juga tidak mau beranjak dari sana. Hingga Andira sendiri merasa ada yang janggal.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top