Bab 15
Gelap meliputi seluruh kediaman keluarga Andira, di tengah kegelapan itu si empunya rumah duduk di tengah perpustakaan pribadinya dan di depannya berdiri seorang pemuda dengan wajah menunduk, hanya remang lampu yang meliputi keduanya. Kesunyianpun begitu kental terasa dari kedua orang ini.
"E buset, kalian ngapain gelap-gelapan. Dinyalain napa?" ujar Bang Dio kaget. Dia kemudian menyalakan seluruh lampu di ruang tamu dengan sekali tekan.
"Ih bang Dio. Baru mikir serius juga," balas Andira.
"Mikir apa sih, Neng?"
"Mikirin siapa yang mencelakai Jo dan Ben."
“Terus Apa yang lo dan Hans dapat hari ini?” Bang Dio memulai pembicaraannya, dia menatap tajam ke arah samping sang adik. Menusuk hingga ke ujung tulang, dia tidak membiarkan sang pemuda berbohong sedikitpun padanya.
“Tidak banyak, bukan mereka yang merampok Joshua, dan mereka bilang Jo tidak di rampok tapi sengaja dicelakai, Bang,” jawab si pemudi. Sebenarnya dia tidak hanya mengetahui fakta bahwa Jo diincar seseorang, dia juga memiliki bukti. Namun dia enggan meaporkan seluruh temuannya itu kepada sang kakak.
Dia memutuskan untuk sementara menyimpan rapat-rapat dulu bukti yang dia dapatkan, jika sudah kuat baru dia akan diskusikan dengan sang kakak.
"Lalu kerjaan lo?"
"Gue stop, Bang."
Andira bisa fokus mengurusi penyelidikannya karena memang channel miliknya sementara vakum. Terkait kecelakaan yang menimpa Jo dan Ben, Arka mengurung diri di rumah ia juga nampaknya masih sangat syok. Sementara kru baru Andira yang lain dibebas tugaskan untuk sementara waktu.
"Kenapa?"
"Nih liat."
Andira memandang pilu semua pesan yang memojokkannya di internet. Hampir semua membahas tentang kutukan. Sebagian besar menyalahkan dirinya karena membantu sosok hantu itu. Sebagian yang lain tidak mempercayai berita-berita tidak berdasar dan tetap mendukung channelnya.
"Udah ga usah baca-baca beginian. Semua bukan salah lo. Ini sudah takdir. Memang bukan akhir yang baik bagi kehidupan mereka tapi Tuhan lah yang memutuskan dimana dan bagaimana mereka menghembuskan nafas terakhirnya," sambung Bang Dio. Tangannya mengelus lembut kepala sang adik. Berusaha sebisa mungkin menenangkannya.
"Tapi, Bang mulut-mulut mereka tu rasanya pingin gue sambelin satu per satu," umpat Andira.
"Hahahaha. Habis tu lo buka cabang ayam geprek ya di tiap kota," ledek kakaknya.
"Gimana ga emosi coba, Bang.
Semua orang menyalahkan tindakan gue yang ingin memecahkan kematian Farid. Padahal kan gue cuma mau bantu. Terus mereka bilang kutukanlah apalah yang mengakibatkan celakanya Jo dan Ben."
Bang Dio tertawa terbahak-bahak melihat sang adik marah-marah dan mengumpat tak karuan seperti itu.
***
Di rumah Arka
Lelaki itu terlihat lesu, dengan kaos polos yang masih sama dengan yang dia kenakan kemarin. Benar saja dia memang sudah berhari-hari mengurung diri di kamar, tidak mandi dan tidak makan. Orang tuanya sampai bingung harus berbuat apa dengan anak semata wayangnya itu.
Lelaki itu memutar beberapa video lama di laptopnya. Terlihat dua orang perempuan dan tiga laki-laki tertawa gembira di sana. Video itu dia ambil saat liburan awal tahun ini. Kegiatan yang jarang mereka lakukan.
Di video yang dia putar tampak Rania tidak suka langkahnya selalu dibuntuti oleh lelaki berperawakan sedang itu namun tidak dapat dipungkiri dia juga memendam sedikit rasa pada orang itu. Oleh karena itu dia selalu meminta lelaki bernama Ben untuk menjauh. Meskipun begitu Ben nampak tidak bergeming dia selalu menempel dengannya seperti lem.
“Kenapa lo selalu nempel-nempel gue Ben, gue tau lo suka sama gue tapi kenapa lo ga pernah bilang,” telisik Rania, air matanya kembali menetes di mata Arka mengenang orang yang mengambil hatinya itu.
"Gue dari dulu memang ga begitu suka sama elo, Ben. Karena Rania udah milih elo daripada gue. Tapi kenapa loe malah sakit bukannya terus berjuang nyariin Rania," gerutu Arka.
Selain Ben, kenangannya bersama Jo juga tidak kalah membuatnya bersedih. Sahabat-sahabat yang dia sayangi satu per satu celaka.
"Ini semua salah Farid."
***
Di ujung ruang keluarga, Andira melihat Farid menampakkan diri. Baru kalo ini dia mendatanginya dengan wujud yang normal tanpa luka.
Sempat beberapa kali Farid berkomunikasi dengannya namun tidak lama dan dia juga menampakkan diri sekilas lalu.
Farid mencoba berkomunikasi dengan Andira saat gadis itu sendirian. Bocah Lelaki itu memperlihatkan reka memori sebelum dirinya meninggal. Kali ini Andira berperan menjadi Farid, bukan orang yang tiba-tiba hadir di memori itu. Sehingga Andira bisa merasakan semua yang Farid rasakan.
Sekarang dia sedang berada di depan layar televisi besar. Menonton beberapa film kartun berbahasa asing yang Andira sendiri tidak paham. Ada seseorang lagi yang duduk di ruangan itu. Seorang lelaki yang terlihat akrab sekali denga Farid.
Andira merasa aneh dengan gelagat lelaki ini, kenapa ia selalu berusaha memeluk dan memegang Farid, sentuhan-sentuhan itu membuatnya tidak nyaman.
Penggalan memori berganti. Sekarang Andira berada di kamar, lagi-lagi masih ada lelaki itu di sana, tapi sekarang fokus Farid lelaki itu tidak lagi pada bocah ini. Ia berjalan menuju pintu kamar sesekali menengok ke luar lalu menutup pintu itu sepelan mungkin.
KLEK KLIK
"Kok di kunci Om?"
"Takut ada kucing masuk, ga papa kan?"
Farid mengangguk menyetujui tindakan lelaki yang dia panggil Om itu.
"Ayah dan Mama kapan balik, Dek?
"Hmm, sepertinya nanti sore Om. Om ada perlu sama mama atau ayah?"
"Gak sih. Kita main game aja yuk," ajak lelaki paeuh baya itu. ia lalu menyalakan tv dan memulai beberapa game yang disukai Farid.
"Om ambilin minum ya Dek!"
"Siap Om."
Beberapa waktu Farid habiskan dengan bermain game kesukaannya sembari menunggu camilan dan minuman dari si Tuan rumah.
"Nih dihabiskan ya, Dek."
Tanpa sungkan bocah lelaki itu meneguk minuman yang om berikan dengan lahap.
"Minuman apa ini kok rasanya aneh," batin Andira. Farid minum apaan ya? Seketika pandangannya mulai kabur, kepalanya pusing ia nyaris tidak mampu menopang kepalanya.
"Dek kenapa Dek?"
Suara itu terus terngiang-ngiang di telinga Farid hingga semuanya gelap, ia tidak sadarkan diri.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top