🐈 part 8 🐈
Your Wife Is Mine
Part 8
Illy menangis sembari menggenggam tangan sang suami, dan tak juga berhenti sejak menginjakkan kaki di kantor polisi untuk melihat keadaan Nicky. Tidak memedulikan sipir yang tengah berdiri di belakangnya, menjaga saat membesuk salah satu tahanan.
"Sudahlah, Sayang. Jangan menangis. Kamu semakin membuat aku sedih. Kamu tahu kalau aku paling tidak bisa melihatmu bersedih." Nicky membelai tangan Illy yang masih menggenggamnya. Salah satunya terangkat, menghapus jejak air mata di pipi sang istri.
Illy sesenggukan, menatap suaminya dan mencoba mengatur napas yang tersendat akibat terlalu banyak menangis. Terlihat beberapa lebam di wajah itu. Ya, ini adalah salah satu penyebab dirinya menangis. Sudah miris akan penampilan yang kini memakai baju tahanan, ditambah pula dengan luka yang tentu saja membuat ia terkejut. Tangan mungilnya gemetar saat membelai di sudut bibir yang membiru.
"Apa masih sakit?" tanya Illy dengan suara parau. Lagi-lagi iris sayunya tak dapat menahan untuk menjatuhkan buliran air asin, seolah bisa merasakan sakit yang ada pada suaminya.
Nicky tersenyum. Ia meraih tangan Illy yang ada di pipinya, lalu membawa pada bibir dan mengecup dengan hangat. "Tidak sesakit saat aku melihat kamu menangis, Sayang.
Ucapan Nicky berhasil menjatuhkan air mata Illy kembali. Lihatlah! Di saat seperti ini suaminya masih sempat menggombal. Hal yang biasa mereka lakukan. Lalu, bagaimana bisa ia menjalani hari tanpa kenangan manis itu?
"Kamu jangan khawatir, aku sudah menghubungi pengacara kita. Kamu pasti bebas karena kamu tidak bersalah," ucap Illy meyakinkan Nicky.
Ia meraih kedua tangan Illy dan kembali mengecupnya. "Terima kasih sudah bertahan di sisiku saat aku mengalami kesulitan seperti ini." Rasa haru tidak mampu ditutupinya.
Illy mengangguk cepat. Sebenarnya ia ingin memprotes ucapan Nicky. Bagaimana dirinya akan pergi? Ia bukan orang seperti itu. Namun, rasanya bibir ini tidak sanggup lagi hanya untuk mengeluarkan kata-kata.
"Maaf waktu besuk sudah berakhir." Ucapan sipir yang berjaga memaksa keduanya untuk berpisah kembali. Hal yang sangat berat bagi Nicky dan Illy.
Memasang senyum menenangkan, Nicky mengangguk. "Pulanglah, Jaga diri selama aku tidak bersama kamu." Tangannya terangkat untuk membelai kepala Illy.
Illy mengangguk dalam tangisnya. "Aku pulang." Sebelum itu, keduanya menyempatkan untuk berpelukan sebentar.
"Hati-hati." Illy pun keluar dari kantor polisi.
Saat ia mencari taxi, ponsel miliknya berbunyi. Nama sang ayah tertera di layar, lalu digulirnya tanda panah ke atas untuk menerima panggilan itu.
"Halo, Ayah." Namun, bukan suara sang ayah yang didengar. Sesaat kemudian, raut terkejut dan khawatir tergambar di wajahnya. Bukan, bukan karena pemilik suara di seberang sana. Namun, informasi yang orang itu beritahukan membuat ia seperti itu.
Illy memutuskan panggilan begitu saja, ia segera menaiki taxi yang berhenti tepat di depannya. Menyebutkan alamat tempat usaha kedua orang tuanya.
Suara tangis terdengar menyayat di tempat ini. Wanita itu menangisi sesuatu di hadapannya yang telah hilang, dengan tangan masih terulur seolah menggapai, tak mengikhlaskan apa yang baru saja terjadi. Beberapa orang yang berada di sampingnya berusaha menenangkan, mencoba memberi pengertian bahwa semua ini sudah takdir Maha Kuasa. Pun dengan sang suami yang senantiasa memeluk erat meski wanita itu terus meronta.
Sedangkan di depan wanita itu sebuah mobil merah dan beberapa orang berseragam tampak melakukan tugasnya dengan cepat, cekatan dan berhati-hati. Saling membagi tugas untuk menjinakkan si jago merah yang saat ini tengah mengamuk pada sebuah bangunan toko.
Beberapa waktu lalu, bangunan itu terlihat apik dengan warna biru langit mendominasi, dihiasi gradasi keemasan membingkai sebuah tulisan identitas toko dan barang yang mereka jual. Spanduk bergambar permata terpampang di bagian atas.
Kini, semua itu tak lagi tampak.
Warna langit yang sebelumnya terlihat kini tergantikan merah yang menguasai. Membara dan menyala. Kilatan-kilatan api terlihat mencuat dari pintu dan jendela bangunan. Menyambar seperti cambuk yang tengah dimainkan raksasa alam.
Para manusia berseragam saling membahu mencoba menjinakkan, beberapa kendaraan damkar dikerahkan. Rupanya, alam tengah berpihak pada si jago merah. Kencangnya angin yang berembus membuat semangat api semakin berkobar meluluhlantakan apa yang dilahap. Tak peduli literan air mata tertumpahkan.
Sebuah taxi berhenti tidak jauh dari tempat kejadian, dengan seorang wanita turun dengan tergesa, menatap tidak percaya bangunan yang terbakar hebat di depannya.
Pandangannya jatuh pada segerombolan orang di sisi kanan, tempat wanita paruh baya yang sedang menangis dan dipeluk oleh seorang laki-laki. "Ibu," panggilnya.
Mata yang baru saja kering namun masih merah karena baru saja bertemu dengan suaminya, kini harus basah kembali setelah melihat kejadian di hadapannya.
"Ibu," panggilnya lagi, cukup mampu membuat kumpulan orang-orang itu menoleh pada keberadaannya.
"Illy," panggil wanita yang duduk di pinggir trotoar masih dengan menangis.
Melihat itu, Illy segera berjalan dengan cepat mendekati dua orang paruh baya yang tidak lain adalah keluarganya. Ia berjongkok di hadapan kedua orang tuanya. "Ayah, Ibu, bagaimana bisa ini terjadi?" tanyanya dengan suara lirih.
"Illy, toko Ayah. Toko Ayah terbakar," ucap sang ibu yang memandang nanar tokonya yang sudah dilahap api. Masih belum percaya semua ini terjadi.
"Toko kita, Ayah. Toko kita," ucap ibu Illy yang masih menangis. Sesaat kemudian, suara tangis itu tak terdengar lagi seiring tubuhnya yang ambruk tidak sadarkan diri.
"Ibu!" panggil Illy yang merasa terkejut. "Ayah, kita bawa Ibu pulang saja." Menatap sang ayah dengan mata basah. Anggukan ia dapat, dengan bantuan beberapa warga yang ada di sana, ibu Illy diangkat menuju mobil milik salah satu orang yang dengan baik hati mau menolong.
Di saat itu pula, Illy melihat sebuah mobil yang terparkir tidak jauh dari sana, rasanya seperti mengenal mobil itu. Ia pun tadi sekilas melihat wajah seseorang di dalam mobil sebelum kaca itu tertutup. Baru saja ia ingin melangkah untuk mendekati, tetapi urung kala kendaraan itu terlihat meninggalkan tempatnya.
"Illy, ayo, Nak!" Suara sang ayah yang memanggilnya membuat Illy dengan segera menyusul. Saat ini, keadaan ibunya jauh lebih penting.
Illy meletakkan teh hangat di depan sang ayah. Setelah mengantar dokter yang baru saja memeriksa ibunya keluar dari rumah, Illy membuatkan ayahnya minuman hangat. "Ayah," panggil Illy dengan duduk di samping ayahnya.
Bilal, ayah Illy. Terdengar helaan napas dalam dari beliau. Sesaat kemudian terasa sebuah belaian saat menyandar pada pundak sang ayah. Hanya ada keheningan, ia tidak akan bertanya sebelum ayahnya bercerita sendiri. Laki-laki dengan usia kepala lima itu terlihat sangat sedih. "Ayah tidak tahu, Nak?" Benar, bukan?
"Ayah tidak tahu bagaimana ini semua berawal. Waktu itu ayah sedang makan siang, dan ibumu sedang salat. Tiba-tiba saja muncul asap di bagian belakang toko. Belum sempat kami memeriksa, suara ledakan muncul dan semakin membuat takut. Ayah yang sudah panik langsung memanggil ibumu dan mengajaknya keluar." Cukup, hanya itu penjelasan dari ayahnya.
Illy hanya mengelus lengan sang ayah bermaksud untuk menenangkan.
Bilal menatap putrinya dan memasang senyum paksa, Illy tahu itu. Setelahnya, Bilal meraih minuman yang dibuatkan Illy dan meminumnya sedikit. "Ayah mau istirahat dulu."
Illy mengangguk. Setelahnya, ia hanya bisa memandang sendu punggung ayahnya yang menjauh. Ponsel yang berbunyi, membuat ia meraih dan membuka sebuah chat yang diterima. Nomor tidak dikenal mengirimi sebuah gambar. Gambar sebuah gedung yang terbakar dengan caption di bawahnya, 'Cantik'.
Mata Illy melotot, ia tahu bangunan ini. Ini adalah toko milik orang tuanya yang baru saja terbakar. Siapa yang mengiriminya ini? Dan ... untuk apa?
Di saat Illy masih bergelut dengan pikirannya, sebuah panggilan masuk pada ponselnya. Panggilan dari nomor yang baru saja mengirimi gambar toko orang tuanya yang terbakar. Segeralah Illy menjawab panggilan itu.
"Bagaimana? Indah, bukan?" Suara seseorang di seberang sana membuat darah Illy mendidih. Wajah merah karena tangis kini berubah menjadi kemarahan.
"Ap—" Illy menatap ponselnya saat merasakan panggilannya terputus. Tak membuang waktu, ia pun berdiri.
Mengambil tasnya dan ingin menemui orang yang sudah mengacaukan harinya sejak kemarin. Sebelum itu, ia sempatkan menulis sebuah note yang ia letakkan di meja ruang tamu. Untuk memberitahukan kepada orang tuanya jika ia harus pergi.
Illy menatap sebuah bangunan besar di depannya. Bangunan yang dulu adalah milik suaminya. Merasa yakin kalau orang tadi berada di sini. Memasang wajah penuh amarah, ia lalu memasuki lobi kantor. Tanpa menghiraukan tatapan bingung para manusia di sekitar, perempuan yang sudah diliputi amarah itu tetap melanjutkan langkahnya. Memasuki lift dan segera menekan angka untuk membuat kotak besi ini membawanya ke lantai di mana seseorang yang ingin ia temui berada.
"Ibu Illy?" Terlihat betul wajah Sisil yang terkejut dengan kedatangannya. Namun, tidak dipedulikan.
Menghilangkan sopan santun, ia membuka begitu saja satu-satunya pintu yang ada di lantai ini.
Saat pintu itu sudah dibuka, wajah tampan milik Bara sudah menyambutnya. Kali ini, laki-laki itu tidak mengenakan kacamata, memperlihatkan mata hitam legam yang dulu terlihat meneduhkan. Sepertinya, kedatangannya memang di_tunggu oleh laki-laki ini. Tidak ada rasa terkejut saat ia membuka pintu dengan kasar.
"Maaf, Pak. Ibu Illy tiba-tiba saja membuka ruangan Bapak." Tidak ada sahutan dari Bara. Hanya gerakan jari yang mengisyaratkan untuk sekretaris itu pergi. Dan dengan patuhnya, sekretaris bernama Sisil itu pun berlalu. Sebelum itu, ia menutup pintu ruangan Bara.
"Ada yang bisa saya bantu, Ibu Illy?" tanya Bara dengan tenang.
Namun, ketenangan Bara membuat Illy muak. "Berhenti berpura-pura! Apa maksud Anda dengan membakar toko milik orang tua saya?" tanya Illy dengan kemarahan yang besar.
Di tempatnya, Bara hanya menampakkan senyum smirk. Ia mengedikkan bahunya acuh lalu menyandarkan tubuhnya pada kursi. "Saya hanya mencari kesenangan?" jawabnya mudah. Seolah memang sengaja Bara melakukan itu untuk menguji kesabaran Illy.
Benar saja, ucapan Bara barusan cukup mampu memunculkan taring Illy. "Kesenangan?" tanya Illy tak percaya.
"Kesenangan Anda bilang?" Kali ini, tangan Illy terangkat untuk menunjuk wajah Bara dari jauh. "Tidakkah Anda sadar kalau hal itu membuat orang tua saya kehilangan penghasilannya?" teriak Illy dengan menggebu.
"Tahu." Lagi-lagi jawaban Bara membuat Illy naik pitam. Merasa heran dengan laki-laki sombong di hadapannya.
"Kalau Anda tahu, kenapa Anda masih melakukan itu? Dari mana sekarang mereka akan makan?" Napas Illy semakin memburu. Ingin sekali menerjang wajah sombong di hadapannya ini. Hanya saja, ia yakin jika hal itu dilakukan, maka akan ada kata sia-sia yang didapat. Tubuhnya tidak sebanding dengan tubuh Bara.
"Saya hanya membantu mereka. Mereka sudah tua, sudah waktunya istirahat. Untuk apa mencari uang?" Bara berucap dengan wajah dipenuhi rasa kepuasan. "Dan kamu ... kamu anak mereka, bukan? Seharusnya memberi makan mereka. Bukan membiarkan mereka mencari makan sendiri."
"Kamu gila!" Teriakan Illy membuat Bara tertawa, tawa penuh kepuasan. Kini tidak ada lagi bahasa formal antar keduanya.
"Bagaimana aku bisa lupa, jika suamimu saat ini dipenjara karena kebusukannya. Jadi, otomatis kalian tidak ada yang memberi makan, ya?" Bara mengelus dagu, ia memandang Illy yang menampakkan wajah ingin membunuh.
"Bagaimana kalau kamu menerima tawaranku kemarin? Hidupmu akan senang, banyak harta. Apa pun yang kamu inginkan akan kamu dapatkan jika kamu menikah denganku." Wajah Illy semakin memanas karena amarah. Tangan terkepal di sisi tubuhnya. Jika ini berlanjut ia tidak yakin masih bisa menjadi orang waras.
"Jangan mimpi!" teriaknya lagi. Kali ini, Illy tidak lagi ingin melawan. Ia memilih untuk berlalu dari ruangan dengan membanting pintu. Meninggalkan Bara yang sedang tersenyum mengejek.
Selepas kepergian Illy, Bara meraih ponsel dan menghubungi seseorang. Tak perlu waktu lama untuk seseorang di seberang sana menjawab. "Datanglah kemari."
Setelah mendapat persetujuan, ia segera mematikan panggilan.
Ia menyandarkan punggung dan mendongakkan wajah. Wajah yang sebelumnya menampakkan kepuasan, kini berubah menjadi tatapan tajam penuh kebencian. Semua ini baru dimulai.
Malam kawan semua!
Ada yang masih kangen, nggak?
Kuy yang mau baca kita merapat sama Mas Bara.
🤭🤭🤭🤭
Jangan lupa vote dan komennya😉😉😉😉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top