🐈 Part 7 🐈

Your Wife Is Mine

Part 7

"Dimakan, Sayang." Piring putih itu baru saja diisi nasi goreng dengan segala macam pendamping, mulai dari sosis, baso, udang, juga tidak lupa berbagai sayuran. Illy meletakkan piring itu di hadapan suaminya, mempersilakan laki-laki yang sudah rapi dengan jas itu menikmati sarapan.

"Terima kasih, Sayang." Illy membalas ucapan itu dengan senyuman, lalu duduk dengan menopang dagu menatap penuh suaminya. Menarik sudut bibir saat Nicky mulai menyuapkan nasi goreng ke dalam mulut.

“Bagaimana?” tanyanya dengan senyuman, ia menunggu komentar atas masakan yang pagi ini telah dibuat.

Sebuah anggukan terlihat. "Selalu enak." Ucapan sederhana yang selalu berhasil membuat senyumnya mengembang. Illy pun meraih piring, mengisi dengan nasi goreng untuk dirinya sendiri. Tinggal hanya berdua, membuat mereka senantiasa berusaha untuk selalu mengisi kehangatan dalam keluarga.

Tidak ada percakapan setelahnya, hanya ada suara dentingan sendok yang beradu dengan piring. Kegiatan itu sempat terhenti ketika sebuah ketukan terdengar. Illy memandang Nicky, memberi isyarat bertanya siapa yang datang sepagi ini. Rupanya, tatapan yang sama ia dapat dari sang suami. Mengulum senyum, lalu meletakkan sendok dengan pelan.

“Biar aku lihat dulu, kamu lanjutkan saja makannya.” Meneguk sedikit air putih, ia pun bangkit. Berjalan melewati ruang tengah lalu ke ruang tamu.

Ketukan kembali terdengar. “Sebentar!” teriaknya. Segera mempercepat langkah, lalu membuka pintu. Kening Illy mengerut saat mendapati tiga pria berseragam. Gerakan tangan membuka pintu pun melambat, tiba-tiba perasaan khawatir timbul begitu saja.

“Selamat pagi!” Sapaan itu terdengar tegas.

Illy meneguk ludah pelan sebelum menjawab, “Selamat pagi.” Illy mencoba menjawab dengan tenang. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?"

"Benar ini kediaman Saudara Nicky Adi Darendra?"

"Iya," jawabnya disertai anggukan, semakin merasa bingung ketika petugas negara ini mencari sang suami.

"Kami membawa surat perintah untuk menahan Saudara Nicky atas tuduhan penggelapan uang perusahaan." Mata Illy melotot seketika, kabar yang didapat pagi itu seolah mengajaknya senam jantung daripada olahraga lari pagi mengelilingi kompleks perumahan.

Masih dalam keadaan terkejut, ia mengikuti pergerakan tangan salah satu dari polisi di hadapannya. Sebuah surat terulur, kemudian diraih dan dibukanya dengan cepat. Deretan kata membentuk kalimat yang menyambut, dibacanya dengan tidak sabar. Matanya semakin membulat kala menangkap nama Nicky sebagai   tersangka.

Illy mendongak, menatap ketiga polisi yang berdiri di hadapannya. "Pak, ini pasti salah. Bagaimana mungkin suami saya melakukan hal ini di perusahaan yang sebelumnya adalah milik dia sendiri?" Ia berucap dengan nada bergetar, raut cemas, khawatir dan takut menyatu dalam diri. Mata pun mulai berkaca.

"Ada apa, Sayang?" Suara Nicky ikut bergabung, membuat Illy dan ketiga polisi itu menoleh dan mendapati keberadaan pria yang hampir memasuki umur kepala tiga itu.

"Anda Saudara Nicky?" Illy hanya menyaksikan dalam diam, bergantian pada polisi dan suaminya. "Kami mendapat perintah untuk menahan Saudara Nicky atas tuduhan penggelapan uang perusahaan Darendra.”

Illy melihat suaminya yang juga terkejut, bahkan ia hanya diam saat kertas yang ada di tangan beralih pada Nicky. Ah, kabar ini tentu saja membuat tubuhnya sedikit terguncang. Beruntung masih bisa menahan rasa lemas.

"Pak, ini tidak mungkin. Perusahaan itu adalah milik saya sebelum saya jual. Bagaimana mungkin saya melakukan korupsi di perusahaan saya sendiri?" Illy melihat suaminya yang menolak atas tuduhan itu dengan suara menggebu. Ya, memang harus begitu, karena ia pun yakin bahwa Nicky tidak mungkin melakukan hal seperti itu.

"Maaf, Pak. Kami hanya menjalankan tugas. Untuk penjelasannya, sebaiknya Anda katakan di kantor nanti.” Mata Illy melotot kala salah satu pria berseragam itu mendekati Nicky dengan borgol di tangan. Ketakutan akan suaminya yang dipenjara terbayang dalam benak.

"Tunggu, Pak. Tunggu! Suami saya tidak mungkin melakukan itu." Ia menahan tangan salah satu polisi yang akan memborgol Nicky, tidak ingin membiarkan suaminya ditahan atas tuduhan itu.

"Tolong, Pak, Bu. Bersikaplah kooperatif. Sebaiknya Saudara Nicky ikut kami terlebih dahulu."

"Tidak, Pak. Saya tidak salah. Bagaimana bisa saya ditahan? Saya tidak mungkin korupsi di perusahaan yang dulunya punya saya, Pak." Illy hanya bisa menjatuhkan air mata ketika pria buncit yang mulai memborgol Nicky tidak memedulikan pembelaan dari dirinya juga sang suami.

“Pak. Suami saya tidak mungkin melakukan itu.”

"Kenapa tidak?" Sebuah suara dalam membaur di tengah-tengah keributan membuatnya menoleh. Terlihat sosok tegapnya melangkah mendekat dengan gagah. Sebuah kacamata hitam menyembunyikan tatapan tajam di baliknya. Illy mengerutkan kening, memandang bingung pada kehadiran Liand di sini.

"Liand.” Entah kenapa, lidah ini terasa keluh untuk menyebutkan nama si pemilik badan kekar di hadapannya, masih merasa terkejut akan kedatangan seseorang yang saat ini menjadi pemilik perusahaan D Corp.

"Kenapa tidak mungkin Anda melakukan hal itu pada perusahaan Anda sendiri?" Suara itu berhasil menyadarkan ia dari rasa terkejut, segera mencerna ucapan yang baru saja didengar dari laki-laki di hadapannya.

"Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Pak Nicky." Kening Illy semakin mengerut, merasa tidak suka akan ucapan itu mengenai suaminya. Ingin sekali ia mengatakan sesuatu untuk menyangkal, tetapi entah kenapa ia belum bisa mengeluarkan satu kata pun.

Pandangan yang diyakini sedari tadi tertuju padanya, kini beralih pada keberadaan tiga laki-laki berseragam yang saat ini memegangi tangan sang suami. "Segera laksanakan tugas penangkapan kepada Tuan Darendra, Pak." Mata Illy melotot. Alih-alih mengutarakan niat untuk melawan ucapan Liand, Illy lebih memilih kembali memfokuskan perhatiannya pada Nicky.

"Pak, Pak, tunggu! Saya tidak salah, Pak. Ini pasti salah paham." Illy menarik erat lengan Nicky, tidak membiarkan suaminya dibawa oleh ketiga polisi itu. "Pak, jangan lakukan ini. Ini pasti ada kesalahan."

Pandangan nanar terpancar kala ucapannya tak sama sekali digubris. "Pak, jangan tangkap suami saya. Suami saya tidak bersalah." Langkahnya tertatih mengikuti Nicky yang diseret secara paksa ke arah mobil polisi di mana pintu bagian belakang sudah terbuka.

"Sayang!" Illy mendongak, memandang Nicky dengan berurai air mata. "Hubungi pengacara kita.” Ia mengangguk cepat. Pasti, ia pasti akan menghubungi pengacara keluarga mereka. Tidak akan membiarkan laki-laki yang dicintainya mendekam di penjara karena bukan kesalahan yang diperbuat.

Pegangan pada lengan Nicky terlepas begitu saja saat tubuh suaminya dipaksa masuk secara kasar. Air matanya semakin deras mengalir kala pintu mobil itu tertutup, memandang wajah tidak dapat karena seorang polisi menghalangi. Suara deru mobil menyala terdengar, terpaan angin terasa berembus seiring kuda besi itu melaju. Masih bisa dilihatnya wajah sang suami yang menengok dari kaca belakang meski samar karena garis kuning yang melekat di sana.

"Kita kembali, Johan." Lagi, suara itu terdengar. Memejamkan mata sejenak, membuang tetesan air mata terakhir yang masih menggenang. Ia usap kasar jejak yang melukis pipi, menarik napas dalam menetralkan kesedihan yang masih meliputi dirinya.

Illy membalikkan badan, menatap tepat laki-laki berjas hitam yang terlihat bersiap meninggalkan kediamannya. Tidak, ia tidak akan membiarkan laki-laki ini pergi dari sini begitu saja sebelum mendapat penjelasan akan apa yang telah menimpa Nicky. Semua ini pasti ada campur tangan seseorang dari masa lalu mereka yang tiba-tiba saja hadir. "Kenapa kamu lakukan ini?"

Liand menoleh, pandangan keduanya pun bertemu. Senyuman sinis yang tercetak dari bibir tanpa rokok itu bisa ia lihat, mengikuti tangan kekar yang melakukan gerakan, entah apa maksud dari satu gerakan tangan di atas itu. Sesaat kemudian Illy tahu saat laki-laki lain yang juga memakai jas pergi menjauh dari mereka. Untuk apa? Memang apa yang akan dilakukannya sehingga harus mengusir orang lain?

Illy menarik napas dalam, mengembuskan melalui mulut. Menetralkan diri yang baru saja menangis parau. Memusatkan perhatian pada laki-laki bernama Liand yang kini tampak asyik dengan ketukan pantofel yang dilakukan dengan paving. "Kenapa kamu lakukan ini?" tanyanya kemudian.

Lagi, Illy melihat senyum smirk  itu melebar. Seolah apa yang baru saja dilihatnya adalah sebuah kepuasan. "Kenapa tidak? Orang yang melakukan kesalahan wajib dilaporkan pada pihak yang berwajib. Apalagi ini termasuk dalam kejahatan, menyelewengkan uang perusahaan." Jangan tanyakan bagaimana reaksi Illy.

"Nicky tidak mungkin melakukan itu!" teriaknya menggema. Illy yakin, siapa pun yang menatap dirinya saat ini, pasti akan tahu seberapa besar kemarahan yang kini mulai menguasai.

Ketukan sepatu itu berhenti. "Tidak mungkin, ya?" Kenapa pertanyaan itu seperti mengejek? "Tapi bukti yang ada mengarah kepadanya. Kemungkinan, dia akan mendapatkan hukuman yang cukup berat."

Illy menunduk, kembali menjatuhkan air mata saat mengingat suaminya yang dibawa secara paksa. Hingga sebuah ucapan Liand kembali membuatnya mendongak. "Tapi, saya bisa meringankan hukumannya.”  Percayalah, ada setitik kelegaan yang dapat dirasakan dalam hati.

Namun— “Tentunya, ada syarat di balik itu.” Senyum itu lenyap, digantikan wajah bingung dengan kedua alis yang menyatu. Jangan lupakan kerutan yang tercipta di keningnya.

"Syarat? Maksudnya?"

"Menikahlah denganku.” Apa? Bolehkan pria ini mengulangi kata-katanya? Apa ia tidak salah dengar? Kenapa semua ini seperti lelucon. Saking terkejutnya, Illy sampai ragu untuk berkedip.

"Kenapa diam?"

Liand mulai mendekat, ia tetap bergeming di tempat. Hingga laki-laki ini sampai di depannya, mengharuskannya mendongak karena tinggi badan mereka yang berbeda cukup jauh. "Menikahlah denganku.” Ternyata ucapan itu benar. Pria ini baru saja mengatakannya kembali.

Kata-kata pria berjas mahal itu sangat mengejutkan, berhasil membekukan perempuan dengan blus hitam tanpa corak. Suara deru kendaraan yang melintas di jalan depan rumah mengiringi kegilaan di pagi hari. Tanpa kata, Illy memberikan sebuah tamparan pada Liand. Berharap laki-laki ini tidak berkata lancang kembali.

Namun, ia salah. Bukannya takut, Liand malah memperlihatkan senyumnya. "Waw." Tangan yang ia gunakan mulai terasa nyeri, wajah berahang tegas itu benar-benar keras saat disentuh. Apakah tamparan tadi tidak dia rasa sama sekali?

"Kamu gila!" Teriakan itu mengudara bersama cuitan burung pagodang yang mengepakkan sayap di langit biru cerah, beriringan dengan sepoi angin yang berembus menerbangkan rambut hitamnya. Tak peduli jika perseteruan itu didengar orang lalu-lalang karena rumahnya yang  bertepatan pada jalan utama.

Tangan putih mulus itu terangkat, menunjuk dirinya sendiri. "Aku sudah bersuami dan kamu menawarkan pernikahan untukku? Seriously?" Ia mendongak, memusatkan perhatian pada iris mata tajam nan legam milik pria bernama Liand. Sinar mentari sedikit mengenai wajah dari balik kusen rumah minimalis miliknya .

“Suamimu dipenjara. Memangnya kamu mau apa?” Gila, pasti pria sombong ini yang sudah membuat suaminya dipenjara? Ya. Illy yakin itu. Kemarahan tak dapat lagi ia sembunyikan.

"Kamu benar-benar gila!" teriaknya kembali.

"Di mana otakmu, Li?" Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja mimik wajah Liand berubah. Apakah ada yang salah dalam kata-kata yang baru saja ia ucapkan? Ah. Tidak peduli. Karena yang penting saat ini adalah Nicky, dan semua karena pria di depannya ini.

Terlihat urat yang mulai kentara di rahang Liand, ia juga melihat tubuh laki-laki di hadapannya ini sempat terpaku. Tiba-tiba saja, wajah itu mendekat. "Bara. My name is Bara. Not Liand.” What? Hanya soal nama?

Jarak wajah mereka yang dekat sempat membuat Illy menahan napas. Sekarang, ia bersyukur saat Bara kembali ke posisi semula. Masih menatap marah, terlihat bahu lebar itu yang naik perlahan, setelah itu turun kembali. "Aku hanya memberikan tawaran yang menggiurkan untukmu, kenapa kamu marah? Daripada hidup kamu terluntang-lantung di jalan, lebih baik menikah denganku, bukan? Menjadi istriku dan ...."

Perempuan dua puluh enam tahun itu menegang saat Bara mengikis jarak wajah keduanya, perpaduan aroma mint dan kayu manis menerobos pada indra pencium. Sesaat kemudian, suara berat mulai terdengar berbisik.

Illy menahan napas kala sebuah kalimat ia dengar, kemarahan yang sempat hilang kini muncul kembali ke permukaan. Kedua tangannya mengepal, sekuat tenaga ia mendorong tubuh tegap milik Bara. "Kamu benar-benar gila! Kamu iblis! Bagaimana bisa kamu seperti ini, Li? Ke mana Liand yang dulu baik hati?" Suara itu terucap jelas dipenuhi amarah.

Illy terkesiap kala dengan gerakan tiba-tiba Bara mendekat. Ia meringis kala laki-laki ini mencengkeram dagunya. Menarik kasar untuk membuat mereka saling bertatap muka. "Kamu pikir siapa yang membuatku seperti ini?" desisnya tajam. "Pengkhianatanmu."

Mata Illy melotot, mendengar ucapan Bara barusan membuat ia dapat mengingat sekelebat kejadian di masa lalu, air mata mulai kembali jatuh dari pelupuk mata. Sesaat kemudian, cengkeraman pada dagu dilepaskan dengan kasar, membuat Illy terjatuh bersimpuh di bawah.

Dapat ia dengar langkah yang mulai menjauh. Ia mendongak, dengan wajah yang kembali basah. Mengumpulkan keberanian, ia pun berucap, "Jadi, semua ini kamu lakukan karena kamu masih marah atas kesalahanku sepuluh tahun lalu?" Berhasil. Laki-laki itu menghentikan langkahnya.

Sekuat tenaga Illy bangkit berdiri, menahan rasa nyeri di bagian lutut. Ah, kenapa? Ia Sedikit menengok, rupanya ada goresan di sana. Pantas saja terasa perih juga. Kemudian ia kembali mendongak, menatap punggung tegap yang masih bergeming di tempat. "Kamu marah dengan masa lalu kita?" Pertanyaan itu. Pertanyaan itu, entah kenapa terucap begitu saja.

Illy melihat kedua tangan Bara yang mengepal di sisi tubuhnya, ia yakin, pria itu pasti kembali tersulut kemarahan. Namun, tak sedikit pun untuk berhenti. Harus diselesaikan. "Itu sudah sepuluh tahun berlalu, Li. Waktu itu kita masih remaja. Remaja labil yang mudah melakukan kesalahan."

Illy tersentak kala mendengar tawa Bara yang menggelegar. Kenapa? Ada yang salahkah dengan ucapannya? Ah, ia tidak peduli. "Lupakan masa lalu, Li. Kita hidup untuk memandang ke depan."

Tawa Bara semakin keras. Kenapa? Kenapa tawa itu cukup menakutkan untuk didengar? “Jangan lupakan bahwa jalan hidup berdampingan dengan karma. Apa yang kita tanam, itulah yang kita tuai.” Ucapan itu, kembali membuatnya melukis anak sungai di pipi.

"Anggap saja ini adalah karmamu. Lagi pula, aku pun juga sudah menawarkan kesenangan di balik ini semua, bukan? Jadi, keputusannya ada di tanganmu. Ingin mengakhiri, atau melanjutkan semua ini." Setelahnya, Bara memilih beranjak, meninggalkan Illy tanpa menoleh sedikit pun. Yang bisa dilakukan, hanya menangis tersedu. Hari ini, penyambutan kejamlah yang dirasakan.


Selamat pagi semua.
Ada yang masih menunggu kah? ☺️☺️☺️

Yuk kasih vote dan komennya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top