🐈 Part 6 🐈
Your Wife Is Mine
Part 6
Liand masih mengikuti mobil Nicky di mana ada sang kekasih di sana. Saat mengetahui keduanya akan keluar bersama, ia dengan segera membuntuti. Memang, saat pulang sekolah tadi, Illy mengatakan jika akan mengerjakan tugas kelompok. Pemuda itu tidak mempercayainya begitu saja. Akhirnya, ia pun menanyakan pada teman Illy. Benar saja, gadis itu memang berbohong. Nyatanya, saat ini malah jalan berdua dengan Nicky.
Ia sengaja memberi jarak supaya keberadaannya tidak disadari oleh Nicky dan juga Illy. Sedari tadi, ia masih mengontrol emosi yang mulai merajai tubuh saat melihat kedua orang yang telah berkhianat itu berjalan saling berangkulan. Mungkin, saat inilah waktu yang tepat untuk mengakhiri hubungan dengan Illy.
Liand turut membelokkan mobil saat kendaraan yang dibuntuti memasuki parkiran sebuah hotel, keningnya mengkerut. Masih dengan memberi jarak, Liand parkir di tempat yang masih bisa menjangkau keberadaan Nicky dan Illy.
Saat kedua turun, Liand pun bergegas keluar dari mobil. Ia mengamati dari jauh Nicky yang tampak berbicara dengan seorang resepsionis. Sesaat kemudian memasuki sebuah lift, membuatnya merasa bingung lantai berapa yang mereka tuju. Beberapa menit berpikir, hingga kemudian ia menerbitkan senyumnya.
"Sore, Mbak," sapanya pada seorang perempuan dewasa di balik meja resepsionis.
Wanita dengan pakaian formal itu memberikan senyum ramah. "Iya. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya pada Liand.
"Begini, Mbak. Saya mempunyai janji dengan teman saya di hotel ini. Katanya, sih, tadi dia akan menghubungi saya untuk memberitahukan nomor kamarnya. Tapi sampai saat ini dia belum menghubungi saya. Saya hubungi pun ponselnya tidak bisa. Apa boleh saya tahu lantai dan nomor kamar teman saya?" jelas Liand pada Resepsionis dengan rambut digelung memperlihatkan leher jenjang putih. Ia berusaha sekuat tenaga agar terlihat tenang tanpa gugup. Apalagi, wanita dewasa di depannya tampak menatap curiga.
"Maaf, kalau boleh tahu siapa nama teman Mas-nya?" Ada embusan kelegaan dari Liand.
"Ah, iya. Saya lupa. Namanya Nicky." Liand merogoh saku celana untuk mengambil gawai dengan logo buah tergigit. Ia buka galeri, saat itulah Liand tidak sengaja tersenyum miris melihat isi folder fotonya. Ternyata, tidak ada foto Nicky yang sedang sendiri, melainkan selalu bersamanya. Begitu kental pertemanan mereka.
Liand menggeleng. Itu cukup menguntungkan. Ia segera menunjukkan foto. "Ini, Mbak, foto teman saya. Seperti yang saya bilang tadi, namanya Nicky," jelas Liand.
"Oh. Teman Mas ini baru saja masuk, Mas." Kali ini, resepsionis itu berbicara dengan senyuman yang sedikit lebih lebar.
"Oh, ya?" Wanita dengan bibir berwarna nude itu mengangguk. "Kalau boleh tahu lantai dan kamar berapa, ya?"
"Sebentar." Liand menunggu, sesekali mengetukkan jari di atas meja, menandakan ketidaksabarannya. "Lantai tiga, kamar lima ratus dua."
"Terima kasih." Liand segera menaiki lift setelah mendapat sebuah anggukan.
Sesampainya di sana, ia segera mencari kamar dengan angka lima ratus dua. Tentu saja, saat berhasil menemukan, pintu itu sudah tertutup. Lagi-lagi, Liand tidak tahu harus melakukan apa. Mengetuk? Itu tidak mungkin. Mendobrak? Apa bisa? Yang bisa dilakukan saat ini hanyalah berjalan mondar-mandir di depan pintu.
Hingga sebuah tepukan dirasakan pada pundak, ia menoleh dan mendapati seorang laki-laki dengan seragam hotel. Ah, kebetulan sekali. "Masnya ngapain di sini?"
"Ah, Mas. Kebetulan sekali. Teman saya sedang disekap oleh musuh saya di kamar ini. Tolong bantu saya untuk mendobrak pintu ini, Mas," ucap Liand dengan menggebu. Namun, wajah petugas hotel itu masih menampakkan keraguan yang membuatnya berdecak.
"Aduh, Mas. Apa saya harus nunggu pacar saya dilukai dulu untuk menyelamatkannya?" Kali ini, Liand berucap dengan wajah yang menunjukkan kepanikan. Cukup berhasil membuat petugas hotel itu merasa simpati.
"Mas, ayo! Bantu saya menolong pacar saya." Laki-laki berseragam yang diperkirakan berumur dua puluh lebih itu mengangguk. Segera keduanya mengatur posisi untuk mendobrak pintu.
Menggunakan kekuatan penuh, hanya butuh sekali benturan sudah mampu membuat pintu terkunci itu terbuka.
Saat itulah, rasa terkejut Liand bertambah, pun dengan dua orang di dalamnya. Amarah yang sedari tadi coba ditahan kini kembali tumbuh, rasa panas di hatinya seolah membakar api amarah untuk membara. Mata tajam yang ia punya menatap nyalang pada dua orang yang masih menunjukkan wajah terkejut di sana.
Bagaimana tidak? Dua orang di sana, Nicky yang saat ini hanya menggunakan boxer, lalu Illy dengan pakaian kancing yang sudah terbuka beberapa dan terlihat berantakan. Belum lagi posisi Illy yang tampak berada di bawah kungkungan Nicky. Ah, jangan dibayangkan. "Liand," ucap keduanya dengan mata melotot.
"Apa yang kalian lakukan?" tanya Liand dengan nada tinggi. Bahkan, ia tidak memedulikan petugas hotel yang masih berdiri di sampingnya.
"Li—Liand." Suara Illy terbata.
Raut terkejut dari keduanya membuat ia muak melihatnya. Bahkan, Illy tampak terburu-buru membenahi pakaian dan mendekat, tetapi tak sama sekali dihiraukan. Liand menatap tangan yang selalu digenggamnya berusaha menggapai tangannya. Namun, Liand yang sudah sangat kecewa menghempaskan tangan Illy begitu saja. Membuat gadis cantik dengan rambut terurai itu jatuh di sudut ranjang.
Nicky, yang melihat itu tentu saja tidak terima. Tak memedulikan saat ini yang sudah berdiri beberapa orang di pintu kamar hotel, ia mendekati Liand masih dengan dirinya yang hanya memakai boxer.
"Kurang ajar!" Seketika itu juga, satu pukulan dari Nicky mendarat di wajah Liand, tubuh tegap terdorong ke belakang, membuat kepala Liand membentur dinding di belakangnya. Menimbulkan rasa sakit di kepala yang menambah nyeri hatinya.
Mata legam itu terbuka, berkedip beberapa kali di tengah gelapnya kamar yang tidak diterangi setitik cahaya sedikit pun. Napasnya terdengar dalam, bulir keringat memenuhi wajahnya. Bara, ia terbangun di tengah malam. Seperti biasa. Mimpi itu, kembali lagi. Seperti malam-malam sebelumnya. Selalu mengiringi tidurnya.
Bak pengingat akan tujuan yang membuat ia datang kembali ke tanah kelahiran. Yang membuat kembali ke negara di mana ia kehilangan segalanya. Ya, memang. Dirinya kehilangan segalanya di tempat ini, di tanah ini. Namun, dipastikan ia akan menghancurkan kembali penyebab semua itu.
Di gelapnya malam, tubuh atletis tanpa sehelai kain itu pun bangkit. Seolah hafal dengan tata letak barang di kamarnya, ia langsung meraih ponsel yang sebelumnya berada di atas meja. Mendial nomor yang selalu menjadi tujuan awal jika ingin melakukan sesuatu.
Panggilan terhubung. Tak lama, seseorang di seberang sana mengangkat panggilannya. "Johan. Lakukan secepatnya." Jawaban patuh dari seberang sana membuatnya mematikan sambungan panggilan begitu saja.
Tanpa kata dan tanpa berbasa-basi. Tidak perlu baginya memikirkan kesopanan. Saat ini, fokusnya hanya ... balas dendam.
Bagi seseorang di seberang sana, hal itu tidaklah masalah. Hal ini sudah biasa. Memang makanannya sehari-hari. Tugas yang baru saja ia dapat, harus segera ia jalankan ... sekarang juga.
Hai. Your Wife i Mine up lagi.
Yang belum baca kuy merapat.
Jangan lupa tekan bintang dan komentarnya, ya
☺️☺️☺️😘
BTW, ada yang mau lihat trailernya ndak? 😁😁😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top