🐈 Part 5 🐈
Your Wife is Mine
Part 5
Suara bantingan sebuah berkas menggema di seluruh ruangan. Pagi ini, Bara mengadakan rapat tidak seperti biasanya. Cuaca cerah yang terlihat di luar gedung nampak berbanding terbalik dengan suasana di dalam ruangan rapat. Wajah penuh kemarahan pria berjas hitam itu begitu menakutkan, semua kepala setiap bagian divisi yang mengikuti rapat hanya menunduk takut.
"Ada pengkhianat di kantor ini," ucapnya dengan suara tegas dan nada dingin. Ia menyapukan pandangan ke wajah-wajah para pemimpin setiap divisi. "Pantas saja perusahaan ini hampir saja mengalami kebangkrutan."
Pandangannya jatuh pada dua orang karyawan di seberang meja. “Kepala divisi keuangan dan kepala divisi pengiriman barang. Bagaimana hal sejelas ini bisa luput dari pengawasan kalian? Jelas sekali jumlah barang yang keluar dan uang yang masuk jauh dari hal yang disepakati. Kalian bisa bekerja, tidak?" Bara memukul meja di mana beberapa berkas sudah berantakan di atasnya. Hal itu, mampu membuat semua orang berjengkit karena terkejut.
Ruangan yang dilengkapi dengan pendingin itu entah kenapa terasa panas. Bahkan, wajah-wajah setiap divisi sudah dipenuhi bulir-bulir keringat. Namun, mereka tidak berani melakukan gerakan sedikit pun untuk sekedar menyekanya.
"Saya akan mencari pengkhianat itu. Jika saya menemukannya, tidak akan ada ampun baginya." Setelah mengucapkan itu, Bara keluar dari ruang rapat tanpa mengucapkan apa pun. Johan yang sedari tadi berdiri di sudut ruangan dengan sigap mengikuti atasannya.
Wajah kelegaan tercetak jelas dari orang-orang yang mengikuti jalannya rapat meski sedikit. Pasti, karena yang mendominasi wajah mereka adalah pucat akibat rasa takut. Kemarahan Bara sangatlah menakutkan, kepribadiannya yang dingin semakin membuat pria yang sukses di usia muda itu terlihat menyeramkan jika dalam keadaan marah. Sejujurnya, masih ada rasa khawatir dari kepala setiap divisi dengan apa yang baru saja disampaikan oleh orang dengan kedudukan paling tinggi di perusahaan ini.
Selang beberapa menit Bos Besar keluar, mereka pun turut membubarkan diri. "Pak Dayat." Pria tambun dengan perut buncit itu menoleh, menatap mantan atasan yang kini menjadi bawahan di divisi keuangan. Ah, dunia terasa lucu.
"Ada apa, Pak? Kenapa wajah Pak Dayat terlihat pucat?" tanya Nicky.
Pak Dayat menghela napas dalam. "Pak Bara marah besar. Ternyata, ada pengkhianat di perusahaan ini yang menyebabkan perusahaan mengalami penurunan dalam penjualan." Ucapan pria berkemeja yang terlihat kekecilan itu tentu saja membuat Nicky terkejut.
"Jadi, ada dalang di balik berkurangnya pendapatan?" Pria bernama Dayat itu mengangguk. "Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya kemarin?" tanya Nicky dengan suara lirih.
Di tempatnya, Pak Dayat bisa mendengar jelas kata-kata itu. Namun, ia hanya bisa diam tanpa mampu menjawab ucapan Nicky.
"Apa aku membayar kalian hanya untuk menggosipkan sesuatu?" Suara yang terdengar keras dari arah belakang membuat terkejut, mereka menoleh dan mendapati pemilik perusahaan yang sudah berdiri di pintu divisi keuangan. Tatapan tajam dari iris legam Bara membuat keduanya menunduk.
"Maaf, Pak," ucap Nicky dan Pak Dayat secara bersamaan. Tak ingin menjadi sasaran kemarahan, mereka pun kembali ke tempat masing-masing dan mulai bekerja.
Bara, ia tampak memandangi karyawannya satu persatu yang semakin membuat semuanya dilanda resah. Seperti biasa, tatapannya selalu berhasil mengintimidasi siapa pun.
Illy memasuki supermarket, hari ini ia akan berbelanja bahan-bahan makanan yang sudah habis di kulkas. Setelah mengambil keranjang, perempuan dengan baju terusan selutut itu mulai menyusuri setiap rak untuk mengambil yang ia perlukan. Mulai dari daging, sayuran, bumbu, buah, serta makanan ringan tidak luput dari jangkauannya.
Setelah hampir satu jam berkeliling, rasa pegal dan haus menghampiri. Ia pun beralih pada jajaran kotak persegi berisikan berbagai macam minuman dingin. Ia mengambilsatu botol air mineral dan meneguknya. Cukup menghilangkan haus yang ia rasakan.
Waktunya pulang. Saat berbalik dan berjalan ke arah kasir, tidak sengaja ia bertabrakan dengan seseorang. Saking kerasnya benturan, botol minuman di tangan pun terjatuh, pundaknya terasa nyeri, entah siapa yang telah ditabraknya. "Maaf," ucap Illy pada laki-laki memakai jas yang saat ini berjongkok untuk meraih botol minuman yang terjatuh.
Laki-laki itu mendongak sembari mengulurkan air mineral miliknya, sontak saja mata bening itu membulat seketika. Ia cukup tahu siapa orang yang saat ini di depannya. Meski laki-laki itu memakai kacamata hitam, ia masih bisa mengenalinya. "Liand," ucapnya lirih, pandangan terpaku pada wajah laki-laki yang tidak menampilkan ekspresi apa pun.
Saking terkejutnya, ia sampai tidak merespons uluran air mineral itu. Bahkan saat laki-laki berkacamata meletakkan botol pada keranjang belanja, lalu pergi begitu saja. Illy, masih mengikuti arah kepergian laki-laki dari masa lalunya. Hingga tubuh tegap itu menghilang di deretan rak berisi makanan ringan, ia masih diam terpaku.
"Mbak, mbaknya kenapa?" Illy menoleh saat merasakan sebuah tepukan di pundak. Ia melihat salah satu pegawai supermarket yang menatapnya bingung.
Illy segera menyadarkan diri, lalu memasang senyum seramah mungkin. "Tidak apa-apa, hanya memastikan semua belanjaan saya sudah lengkap," ucapnya beralasan. Dalam hati ia bersyukur saat pegawai itu mengangguk dan berlalu dari hadapannya.
Sekali lagi, perempuan dengan keranjang belanjaan penuh itu melihat deretan rak berisi makanan ringan tempat terakhir tubuh Liand menghilang. Menatap ragu ke arah sana. Setelahnya, ia memilih pergi menuju kasir untuk melakukan pembayaran.
"Kenapa memakai kacamata hitam di dalam ruangan?" tanyanya lirih hampir tanpa suara.
Antrean tidak terlalu panjang, sehingga dirinya tidak perlu lama-lama lagi di supermarket. Hanya saja, belanjaan ini ternyata lumayan banyak. Illy keluar dari supermarket dengan tiga kantong belanjaan dengan sedikit kesusahan. Berat dan repot. Kalau begini ia sedikit menyesal karena tidak menunggu Nicky pulang kerja terlebih dahulu.
Di saat sedang menunggu taxi, sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depannya. Kaca depan mobil terbuka, menampilkan seorang laki-laki memakai jas di sana. "Masuklah, Nona. Kami memberikan tumpangan untuk Nona," ucap laki-laki itu.
Sedangkan Illy, masih diam di tempatnya. Melirik seseorang yang duduk di belakang kemudi, lalu menatap kembali orang yang sebelumnya menawari tumpangan. Ia tersenyum. "Ah, tidak perlu, Pak. Saya menunggu taxi saja." Bagaimana harus mau? Kenal saja tidak.
Laki-laki itu menatap jam yang melingkar apik di pergelangan tangan. "Di waktu seperti ini biasanya taxi akan sulit didapat di sini."
Illy kembali memasang senyum, merasa aneh akan seseorang yang terlihat memaksa. "Sekali lagi, terima ka-" Ucapannya terhenti saat kaca bagian mobil belakang terbuka, menampilkan sosok yang ditemui beberapa saat lalu di supermarket.
"Masuk!" ucapnya tanpa menoleh, lebih mengarah ke sebuah perintah. Namun, entah kenapa dengan mudahnya Illy menuruti begitu saja. Ia memutari mobil dan masuk di bagian belakang mobil tepat di samping laki-laki itu. Aroma maskulin sontak saja menyambut saat dirinya memasuki mobil itu.
Mobil kembali berjalan, yang ada hanya keheningan. Si pemilik mobil hanya menunduk karena fokus dengan ponsel, sedangkan Illy yang berpura-pura memandang ke luar kaca sesekali melirik ke arah seseorang di sampingnya. Terkadang, bibir yang dihiasi lipstik berwarna pink itu terbuka berniat untuk mengatakan sesuatu. Namun, kembali urung karena merasa ragu. Ah, suasana ini benar-benar terasa awkward.
"Nona, alamat rumah Anda." Suara berat yang berasal dari seseorang yang duduk di kursi depan membuat Illy menoleh, lalu menjawab pertanyaan yang diberikan kepadanya. Setelah itu, hening kembali.
Jarak yang ditempuh sekitar dua puluh menit. Mobil yang mengantar Illy sudah berbelok di gang jalan rumahnya. Tak lama, rumah bercat warna hijau tosca terlihat dan membuat mobil itu pun berhenti sesaat kemudian.
Illy turun, lalu berdiri di samping mobil-mengetuk kaca mobil pada bagian si pemilik. Bagaimana ia yakin jika dia adalah pemiliknya? Cukup mudah. Kalian tidak akan membutuhkan penjelasan masalah itu. Kaca berwarna hitam itu terbuka, menampilkan wajah berkarisma dengan kacamata hitam yang masih dikenakan meskipun si empunya berada di dalam mobil.
Illy memasang senyum meski laki-laki di hadapannya tidak memandang sedikit pun. "Terima kasih Li-“
"Bara. Nama saya Bara," ucapnya memotong perkataan, membuat perempuan yang masih berdiri di samping mobil meneguk salivanya.
"Ah, iya. Terima kasih, Bara." Hening sesaat. "Kalau kamu mau, kamu bisa mam-"
"Jalankan mobilnya, Johan!"
Bibir Illy kembali terkatup, lagi-lagi Li—ah, Bara memotong ucapannya. Seperti tidak ingin berada lama-lama di dekatnya. Lalu, untuk apa tadi memberikan tumpangan?
Mobil itu pun melaju, meninggalkan dirinya dalam keadaan bingung. Biarlah! Yang terpenting adalah ia sudah sampai di rumah. Apalagi, sebentar lagi Nicky juga pulang. Lebih baik segera masuk dan menunggu kedatangan suaminya.
Hope you like this chapter guys🥳🥳🥳🥳
Jangan lupa vote dan komennya. ☺️☺️☺️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top