🐈 Part 4 🐈
Your Wife Is Mine
Part 4
🐈🐈🐈🐈🐈☁☁☁🐈🐈🐈🐈🐈
Bara menikmati makan malam dengan nyaman. Suasana private room selalu menjadi pilihan. Pemandangan kota di malam hari dihiasi cahaya lampu bak kunang-kunang yang bertebaran, begitu jelas terlihat dari dinding kaca di sisi kanan. Dinding penyekat antara ruangan satu dan yang lain terbuat dari kayu menguarkan aroma khas.
Dari lampu kristal menggantung cantik di atas kepala berpendar cahaya temaram kesan suasana romantis. Kursi dari kayu jati berukiran bunga anggrek yang diduduki memperlihatkan kesan elegan tempat ini.
Tepat di depannya, sebuah kursi kosong tanpa makhluk bernyawa. Ah, tempat ini lebih layak diperuntukkan untuk sepasang kekasih yang sedang menikmati dinner mereka. Satu sudut bibir tertarik membentuk senyum tipis. Sepasang kekasih. Bolehkah ia tertawa? Menertawakan sebuah kisah dalam hidup yang berhubungan dengan seorang kekasih.
Namun, ia tak mempermasalahkan. Alunan musik jazz yang terdengar mengantarkan ketenangan dalam penat akibat pekerjaan seharian, seirama dengan gerakan tangan yang memotong daging bertabur saus lada hitam yang pedas. Satu potongan kecil, masuk ke mulut. Perfect. Perpaduan suasana dan rasa yang memang sempurna.
Butuh beberapa waktu untuk semua makanan berlemak itu tandas. Bara membersihkan bibir dari sisa-sisa saus yang mungkin saja menempel dengan sebuah tissue, meraih gelas berisi minuman, lalu meneguk dengan tenang. Pandangan iris tajam beralih pada Johan—orang kepercayaannya yang berdiri di sudut ruangan sebelah kiri—tepat di sebelah pintu keluar.
"Kau tidak lapar, Jo?" tanya Bara, menatap laki-laki dengan setelan jas serba hitam. Kedua tangan saling bertaut, memangku dagu dengan santai. Seingat dia, Johan belum terlihat mengisi daya sama sekali. Bahkan, ketika makan siang tadi laki-laki bermimik datar itu hanya mengawal dirinya tanpa ikut serta. Setelah itu, kembali menemani di setiap pekerjaan.
Dari tempatnya, Johan sedikit mengangguk lalu menjawab, "Saya belum lapar, Tuan." Ia kembali menegakkan badan, memandang tuannya awas dengan mata penuh kewaspadaan. Ya, memang itu tugasnya.
Bara mengangguk, ia melihat jam Rolex 126600 Sea-Dweller. Jam anti air yang melingkar di tangannya. Jam tangan ini menampilkan pelat hitam yang khas dan penanda-penanda jam berpendar yang besar. Kedap air hingga kedalaman 1.220 meter dengan bingkai cincin yang dapat diputar 60 menit searah. "Apakah ini waktunya?"
"Saya rasa, lebih cepat lebih baik, Tuan." Bara menghela napas panjang. Semua ini terasa melelahkan, tetapi ia tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Tubuh tegapnya yang berbalut jas hitam bangkit dari tempat duduk, lalu membenarkan pakaiannya, tidak lupa juga mengenakan kacamata yang yang sempat ia lepas saat menikmati hidangan makan malamnya.
"Baiklah! Kita pulang," ucapnya yang langsung mendapat sekali anggukan dari Johan. Ia mulai melangkah meninggalkan meja yang hanya menyisakan piring kotor, menuju pintu pemisah private room. Langkah tegap Johan terdengar mengikuti dari belakang.
Sesampainya di luar, dua pengawal sudah berdiri di depan pintu, dengan sigap siap melindungi Bara dari apa pun yang bisa membahayakan. Tepat saat itu juga, semua pasang mata langsung tertuju kepada keberadaan Bara setelah kemunculannya. Apalagi, para pemilik mata cantik yang memandang dengan rasa memuja yang begitu kentara.
Tidak perlu lagi menjelaskan bagaimana berkarismanya seorang Bara, yang pasti, dapat membuat kaum hawa tidak mampu mengalihkan pandangan dari pesona yang dimiliki.
"Bara!”
Bara dan ketiga orang yang mengawal sontak saja berhenti saat seorang perempuan dengan napas putus-putus berdiri di hadapan mereka. Lelaki yang dikelilingi tiga ajudan itu hanya memandang dingin perempuan berpakaian tidak sopan dari balik kacamata, menelisik penampilannya dari atas hingga kaki.
Sebuah gaun merah ketat membentuk tubuh dengan belahan dada rendah. Dalam hati ia tersenyum sinis. Baginya, penampilan perempuan ini sangat murahan.
"Bara, apa kabar?" Perempuan dengan rambut bersanggul itu tampak memajukan langkah, mengangkat tangan ke arahnya. Mungkin, berniat untuk menjabat tangan. Akan tetapi, tidak semudah itu. Kedua bodyguard di depannya dengan sigap menahan lengan kecil milik perempuan itu. Ah, ia semakin puas dengan kinerja kedua pria ini.
"Apaan, sih?" Perempuan itu tampak memberontak, meronta mencoba melepaskan cekalan pada kedua lengannya, memandang Bara dengan wajah memelas. "Bara, bodyguard kamu nahan aku." Suara itu lebih mirip sebuah rengekan.
Sungguh. Bukannya menarik simpati, suara itu lebih terdengar menjijikkan di telinga pebisnis muda yang sedang di masa puncak itu. Ah, ia sudah lelah, tidak ingin membuang waktu untuk hal yang tidak penting. Lebih baik pulang dan beristirahat.
Mempersiapkan diri untuk hari esok. Bara mengangkat tangan, melakukan gerakan yang bisa langsung dibaca oleh Johan.
"Bereskan, Rio, Fandi." Suara Johan terdengar tegas saat memerintah. Tanpa membuang waktu, dua bodyguard di depan Bara segera menyingkirkan perempuan yang sudah berani menghalangi jalan bos mereka
Keduanya menyadari betul jika yang mereka seret adalah seorang perempuan. Oleh karena itu mereka tidak terlalu kasar saat menariknya.
Seorang wanita dengan baju kurang bahan melangkah memasuki sebuah perkantoran. Wajah dengan balutan makeup tebal mampu membuat dirinya menjadi pusat perhatian orang-orang yang berada di sekitar.
Menampakkan wajah cuek dan angkuh, wanita bernama Rere itu mendekati meja resepsionis. Menatap perempuan berpakaian rapi dengan pandangan pongah, jangan lupakan dagu yang diangkat.
"Saya ingin menemui Pak Nicky," ucapnya dengan nada sombong. Tanpa menoleh ke arah resepsionis, dia mengangkat tangan di depan wajah, memperhatikan kuku-kuku cantik miliknya yang berwarna merah.
Sedangkan si resepsionis hanya menatap heran wanita di hadapannya, menelisik penampilan wanita yang terlihat menor dari atas hingga bawah. Sesaat kemudian ia tersadar saat apa yang dilakukan tidaklah sopan. Memasang senyum ramah, ia menangkupkan tangan di depan dada.
"Maaf. Maksud Anda Nicky?"
Rere yang masih asyik dengan kukunya melotot mendengar ucapan resepsionis itu. Ia menoleh dan memberi tatapan tajam. "Heh! Kamu nggak ada sopan-sopannya, ya, sama atasan. Panggil nama tanpa embel-embel 'Pak'. Mau dipecat?"
Suara itu terdengar keras dan jelas. Semua pasang mata pun kini memperhatikan sembari berbisik.
Resepsionis yang berada di balik meja kerjanya sempat terkejut, tetapi ia tetap berusaha bersikap ramah dan selalu memasang senyum. "Maaf, Bu—"
"Ibu? Saya ini masih muda tahu." Rere menatap sebal resepsionis di hadapannya. Ia melayangkan tatapan tajam yang bisa membunuh siapa saja jika mata dengan eyeliner membentuk garis melengkung seperti kumis Pak Raden itu mampu mengeluarkan sinar laser.
"Cepat hubungi atasan kamu. Supaya saya bisa cepat menemuinya.” Kaki berbalut heels merah menyala itu mengentak pertanda si pemilik merasa kesal.
"Maaf, Mbak. Atasan kami tidak ada di tempat. Lagi pula, nama atasan kami bukan lagi Nicky, tapi Pak Bara," jelas sang Resepsionis pada Rere sebaik mungkin. Sejujurnya, ia pun sudah merasa kesal akan perlakuan perempuan menor yang datang tidak diundang ini.
Baru saja Rere akan menyanggah ucapan Resepsionis itu, tetapi urung karena merasakan tangannya ditarik oleh seseorang. Ia sempat ingin memarahi si pelaku. Namun, melihat Nicky yang melakukannya membuat dirinya berseru, "Nicky!" Lagi, suara cempreng itu menjadi pusat perhatian.
Nicky dengan segera menarik Rere ke tempat yang sedikit sepi, tidak ingin menjadi pusat perhatian. Apa yang akan dipikirkan orang nanti tentang dirinya. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Nicky yang merasa geram akan kedatangan perempuan yang tidak pernah ia harapkan kehadirannya.
"Aku ingin menemuimu, apalagi? Ada yang ingin aku katakan padamu," ucap Rere dengan nada kesal. Ia memegangi pergelangan yang sudah ditarik oleh laki-laki dengan kemeja hitam di depannya, ada ruam sedikit merah di sana. Tangan putih itu tidak terlihat mulus lagi. Matanya pun memandang tajam Nicky.
"Apa?" tanya Nicky yang merasa jengah akan keberadaan Rere. Ia mengalihkan pandangan, tidak ingin melihat perempuan barbar di hadapannya. Pohon di sebelah kiri, lebih menarik untuk diperhatikan karena adanya seekor burung yang tengah memberikan makan pada anaknya.
Wajah Rere yang sebelumnya sebal kini berganti dengan mimik bahagia. "Semalam aku melihat Bara. Dan kamu tahu? Dia berubah sangat drastis,” ucapnya penuh semangat. Bahkan, sampai membayangkan wajah tampan yang semalam dilihatnya.
Nicky yang memang mengetahui hal itu hanya memutar bola matanya malas. Ia pikir ada sesuatu yang penting, ternyata soal Bara. "Kamu kenapa?" tanya Rere.
"Aku sudah tahu," jawab Nicky malas.
Rere melongo. "What?” Rere tidak peduli saat laki-laki berdasi hijau ini menutup telinga akibat suara yang baru saja dikeluarkan terdengar cukup keras. Bahkan, cuitan burung yang tadi tidak ada kini terdengar. Mungkin, anak-anak burung itu sedang menangis setelah mendengar suaranya. “Kamu sudah tahu dan kamu tidak mengatakannya padaku?"
"Untuk apa?"
Rere semakin dibuat kesal dengan sikap Nicky. Ia pun berkacak pinggang. "Katakan! Sejak kapan kamu bertemu dengan Bara kembali?"
Nicky menghela napas, kenapa ia harus kembali dipertemukan dengan perempuan ini? "Beberapa waktu lalu saat ia membeli perusahaanku." Ia berucap dengan memandang bangunan tinggi di hadapan mereka, di mana gedung itu dulu adalah miliknya yang kini telah berpindah tangan.
"Wait, wait, wait. Kamu bilang Bara membeli perusahaanmu?"
Di tempatnya Nicky mengangguk tanpa menoleh, masih betah dengan apa yang dipandang. Lebih tepatnya, mencoba menanamkan kepercayaan bahwa dirinya bukan lagi pemilik tempat ini.
Sesaat kemudian, Rere menatap Nicky dengan remeh. "Pantas saja resepsionis tadi mengatakan kalau kamu bukan atasan lagi. Ternyata perusahaan ini sudah menjadi milik Bara." Ucapan itu membuat dirinya mendapat lirikan sinis dari Nicky.
"Itu berarti, Bara semakin kaya, ya?" Hening sesaat, tetapi tidak dengan pikiran Rere. "Aku tidak mau tahu. Kamu harus membantuku untuk dekat lagi dengan Bara."
“Kenapa aku?"
Perempuan dengan senyum mengembang itu pun membalas pandangan Nicky. Namun, kali ini memberikan tatapan sengit. "Heh! Jangan menjadi manusia yang tidak tahu terima kasih. Kamu sudah berjanji jika aku membantumu maka kamu juga akan membantuku," Rere berucap dengan emosi. Tidak habis pikir dengan laki-laki beristri yang tidak tahu terima kasih ini.
Sesaat kemudian, ia pergi begitu saja meninggalkan Nicky yang masih meresapi ucapan Rere. Akan tetapi, baru beberapa langkah, ia sudah berhenti. Tanpa menoleh, perempuan yang tengah mengatur emosi itu berucap, "Jadilah laki-laki yang bisa dipegang omongannya, Nic."
Tanpa kata lagi, Rere meninggalkan Nicky yang terus memanggil. Berpura-pura tak mendengar, ia terus melanjutkan langkah. Tidak peduli apa pun, laki-laki yang sudah dibantunya pada masa lalu itu harus balas membantunya. Harus.
Part 4 sudah up.
Bagaimana? Kalian menemukan perbedaannya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top