🐈 Part 32 🐈
Your Wife Is Mine
Part 32
🐈🐈🐈🐈🐈☁☁☁🐈🐈🐈🐈🐈
Lima hari hanya duduk berdiam diri di kamar membuat Illy merasa bosan. Ia merindukan ruang geraknya. Jam di dinding menunjukkan pukul tujuh, tetapi Bara belum juga datang membawakan makanan ke kamarnya. Padahal, perutnya sudah meraung ingin diisi sedari tadi. Illy memilih bangkit dan keluar dari kamar.
Saat ia menuruni tangga, sayup-sayup ia mendengar suara perdebatan di bawah. "Apel lebih bagus, Bara."
"Illy lebih menginginkan Mangga." Terdengar bantahan dari Bara.
"Apel lebih dibutuhkan. Apalagi mangga yang kamu kupas itu masih belum matang sempurna."
"Ibu hamil itu suka yang masam seperti ini."
"Kata siapa kamu?"
"Biasanya seperti itu." Illy memasuki ruang makan, membuat perdebatan Lova dan Bara berhenti.
Berbeda dengan Bara yang menampilkan wajah datar, Lova langsung tersenyum sumringah. Ia mendekati Illy lalu mengajak Illy duduk. "Kita makan Illy." Illy mengangguk lalu menuruti Lova.
Terlihat Lova yang begitu telaten menuangkan nasi dan sayuran pada piring Illy. "Ibu hamil porsi makannya lebih banyak, karena dia makan untuk dua perut." Illy menatap Lova tidak enak, merasa dia telah merepotkan. Illy sedikit memandang Bara yang masih menampakkan wajah datar, dengan buah Mangga di tangan.
"Ayo makan!" Illy memakan sarapan dengan Lova yang duduk di sampingnya sembari memotong buah Apel. Sedangkan Bara, ia terlihat meletakkan buah Mangga yang sebelumnya ia pegang, lalu berjalan keluar dari ruang makan.
☁☁☁
Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Illy dan pembantunya. "Biar saya saja, Bi. Bibi teruskan saja." Setelah mendapat anggukan dari asisten rumah tangganya, Illy bangkit dari duduknya. Berjalan mendekati pintu dan membuka pintu utama. Ia cukup terkejut saat mendapati keberadaan kedua orang tuanya berdiri di depannya.
"Ibu, Ayah," panggil Illy lirih. Saat menyebut nama ayahnya, entah kenapa ada perasaan keluh di dadanya. Perasaan Illy tidak karuan saat melihat pandangan sendu sang ayah yang ditujukan padanya.
Illy melihat kedua tangan sang ayah membentang, dengan segera Illy menghampiri sang ayah, berhamburan pada pelukan sang ayah yang akhir-akhir ini ia rindukan. "Ayah," panggil Illy dengan suara serak akibat tangisnya mulai keluar.
"Putri ayah." Entah kenapa, panggilan itu semakin membuat tangis Illy pecah. Ia memeluk erat sang ayah, menumpahkan segala tangisannya.
"Maafin Illy, Yah. Maafin Illy yang sudah mengecewakan Ayah." Bilal menggeleng mendengar ucapan Illy.
"Tidak, Nak. Ayah yang salah. Ayah tidak memahami posisi kamu." Pelukan keduanya terlepas, Bilal menangkup wajah Illy, lalu menghapus jejak air mata Illy di pipi.
Bilal memandang Illy dengan teduh, ia membubuhkan satu kecupan pada kening putrinya. "Putri ayah sudah besar sekarang, putri Ayah sebentar lagi akan menjadi seorang Ibu." Ucapan menenangkan dari ayahnya membuat senyum Illy mengembang.
Illy merasakan usapan pada perutnya, ia menoleh pada sang ibu yang melakukannya. "Bagaimana keadaannya, Sayang. Sehat?"
"Baik, Bu. Dia sehat." Illy memandang kedua orang tuanya dengan bahagia. "Kenapa kita mengobrol di luar? Ayo kita masuk, Bu."
Ketiganya masuk bersama. "Bagaimana sikap Bara sama kamu, Nak?" tanya sang Ayah.
Illy memberikan senyum. "Baik, Yah. Bahkan Bara mendatangkan Asisten rumah tangga untuk membantu menjaga Illy." Ya, hanya itu yang bisa Illy lakukan. Meski sikap Bara tidak se-kasar dulu, tapi sikap dingin Bara masih melekat pada diri laki-laki itu. Jika Illy mengajak berbicara, Bara selalu menjawab dia seadanya. Itu pun kalau keadaan Bara sedang dalam mood baik. Jika tidak, ia masih suka dibentak.
"Illy. Kenapa kamu melamun?" Illy terkejut dengan panggilan sang ibu. Ia melihat kedua orang tuanya memandang ia bingung.
"Ah, tidak. Ayo duduk, Bu." Mereka duduk bersama di ruang keluarga. Sebelum itu, Illy sempat meminta Asisten rumah tangganya membuatkan minuman untuk kedua orang tuanya. Bersama, mereka saling berbincang santai. Terkadang, Illy juga menanyakan tentang kehamilan pada sang Ibu.
☁☁☁
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi Illy belum juga bisa tidur. Ia menggigiti kukunya gelisah. Lagi, pandangannya melihat jam di dinding. Biasanya, Bara akan membelai perutnya jika ia tidak bisa tidur. Sayangnya, Bara baru saja pulang setengah jam yang lalu. Ia tidak mungkin meminta Bara melakukan kegiatan yang biasa Bara lakukan saat ia tidak bisa tidur. Pasti Bara dalam keadaan lelah saat ini.
Illy membaringkan tubuhnya di atas ranjang, lalu memaksa matanya agar bisa terpejam. Namun, ia gagal. Ia tetap tidak bisa tidur juga. Berulang kali ia mencoba, masih sama. Gagal juga. Akhirnya, ia memilih bangkit, keluar dari kamar dan mendekati pintu kamar Bara.
Ia berjalan mondar-mandir di depan pintu kamar Bara, ragu untuk mengetuknya. Setelah hampir lima belas menit Illy tidak melakukan apa pun, Illy memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Bara. Baru saja tangannya terangkat, pintu kamar Bara sudah terbuka dari dalam. Menampilkan sosok Bara yang keluar dengan setelan kaos dan celana pendek. Juga rambutnya yang basah. Sepertinya, Bara baru saja selesai mandi. Cepat-cepat Illy menurunkan tangan dan menyembunyikan di balik punggungnya.
Bara yang melihat Illy di depan kamarnya mengerutkan kening. "Ada apa?" tanya Bara datar.
"Ti—tidak." Bara semakin memandang Illy aneh. "Kalau begitu, aku tidur dulu." Bara tahu jika Illy tengah merasa gugup. Namun, Bara tidak tahu karena apa. Illy yang merasa diperhatikan mempercepat langkahnya memasuki kamar. Berharap Bara tidak lagi berada di sana.
Lagi, Illy hanya berputar-putar di dalam kamarnya. Tanpa bisa menutup mata. Illy terkejut saat pintu kamarnya tiba-tiba saja terbuka. Ia melotot saat mendapati Bara tengah menyandar di pintu dengan tangan masuk pada saku celana.
"Ba—Bara," panggil Illy dengan terbata. Entah kenapa tiba-tiba saja ia merasa gugup, keringat dingin mulai membasahi keningnya. "Kamu ... tidak tidur?"
"Harusnya aku yang bertanya seperti itu. Kenapa kamu belum juga tidur?" Kali ini, Bara melipat tangan di depan dada, menatap Illy tepat pada matanya. Meskipun Illy berusaha menghindar, namun aura yang dibawa Bara bisa melumpuhkan segalanya.
Merasa percuma menghindari Bara, Illy pun meluruhkan pundaknya, ia menarik napas panjang lalu menatap Bara. "Aku tidak bisa tidur," ucap Illy yang lebih terdengar seperti sebuah rengekan.
Bara mendengus, ia menurunkan tangannya lalu menghampiri Illy. "Tinggal bilang saja apa susahnya," ucapnya dengan menarik tangan Illy, membawanya menaiki ranjang lalu merebahkannya. "Kamu ingin diusap lagi perutnya, kan?"
Illy tidak menjawab, ia hanya menatap Bara dalam diam ketika suaminya itu mulai mengusap perutnya. Entah kenapa, sentuhan itu saat ini seolah mengalirkan sesuatu yang terasa seperti hawa panas. Bara mendongak saat ia merasakan Illy seperti menahan napas. Mendapati Illy yang hanya memandangnya dengan diam.
"Kamu menginginkan sesuatu?" tanya Bara dengan suara lirih. Ah, suara itu entah kenapa membuat Illy meremang. Hingga saat Illy merasakan wajah Bara yang mendekat, ia seolah terkunci. Tidak mampu menghindar. Hanya bisa menelan saliva dengan susah payah.
Hingga ia merasakan sesuatu yang kenyal menyentuh bibirnya, perasaan bahagia melambung seketika. Malam itu, lagi. Mereka menyatukan perasaan yang masih mereka sangkal. Perasaan yang entah bisa atau tidak disebut dengan nama ... cinta.
🐈🐈🐈🐈🐈☁☁☁🐈🐈🐈🐈🐈
Ini salah satu yang udah beli bukunya. Kalian nggak mau beli?😁😁😁
Kalau ada yang typo, bilang, ya
😊😊🤗🤗🤗🤗
Lope you All
Jangan lupa vote
Komen
Follow wp
Follow ig
Beberapa hari ini sepertinya ada beberapa yang unfol Mom, ya
😢😢😢😢
🐈Salam🐈
☁EdhaStory☁
🖤🖤🖤🖤🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top