🐈 Part 3 🐈

Your Wife Is Mine

Part 3

🐈🐈🐈🐈🐈☁️☁️☁️🐈🐈🐈🐈🐈


Illy meletakkan majalah fashion yang sedang dibaca ke atas meja saat mendengar mobil Nicky memasuki halaman. Kaki yang bersilang segera berdiri dan beranjak keluar dari rumah. Senyumnya merekah ketika membuka pintu, mendapati sang suami yang baru saja turun dari mobil.

Berjalan mendekat, ia segera mengambil alih koper dan jas dari laki-laki yang penampilannya saat ini jauh dari kata rapi. Sangat jauh berbeda dari tadi pagi. Mencium punggung tangan, mengapit lengan dan memasuki rumah dengan berjalan bersama. Seolah bau tubuh yang penuh peluh milik Nicky bukanlah sebuah masalah.


"Bagaimana hari ini?" tanya Illy, ia mendongak menatap wajah Nicky yang kentara akan rasa lelah. Langkah sepasang suami istri ini sempat berhenti, bertukar pandang sejenak yang membuat terciptanya kerutan di kening.


"Kamu pasti tidak percaya siapa orang yang membeli perusahaan kita," ucap Nicky. Lipatan pada kening Illy semakin terlihat, penasaran akan siapa sosok yang sedang dibicarakan oleh suaminya.


Bola mata cokelat gelap itu melirik ke atas, ke langit-langit teras seolah berpikir. Sampai ia kembali memusatkan pada wajah sang suami. "Siapa?" tanyanya kemudian.


Tarikan napas dalam terhela dari bibir kering suaminya. Ah, bahkan ia belum sempat memberikan minum untuk melepaskan dahaga Nicky, tetapi sudah menanyakan sesuatu yang cukup mempengaruhi suasana buruk hati laki-laki di hadapannya. Hingga tatapan lelah didapat saat mereka hanya berdiri di depan pintu rumah. "Boleh aku meminta minuman dulu sebelum aku menjawab?"


Illy tersenyum memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi, merasa tidak enak karena bukannya memberikan suaminya minum setelah pulang kerja, tetapi malah memberikan pertanyaan.


"Ya sudah. Aku ambilkan minum dulu." Satu kecupan ia berikan di pipi Nicky sebelum memasuki rumah, sembari membawa koper dan jas sang suami lalu meletakkannya di kursi meja makan. Illy menyiapkan segelas air dingin untuk laki-laki yang kini duduk di meja pantri.


"Ini." Duduk di seberang meja, Illy mengulurkan minuman pada sang suami. Memiringkan kepala, dipandanginya wajah lelah yang tengah meminum air hingga tandas. Kentara sekali jika sedang kehausan. "Siapa?" Jujur saja, ia sangat merasa penasaran dengan sosok yang dibicarakan Nicky. Mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat karena jarak yang memisah cukup lebar.


Lagi-lagi bukan jawaban yang didapat, tetapi hanya helaan napas terdengar berat. Seolah apa yang akan diucapkan suaminya ini begitu mengejutkan. Namun, ia yang terlanjur penasaran tetap mendesak, digenggam dan diremasnya pelan tangan Nicky. "Siapa?" Illy kembali bertanya.


"Liand." Satu nama yang diucapkan Nicky cukup membuat irisnya membola lebar, Bahkan, cengkeraman pada tangan kini tampak melonggar. Liand, nama yang sudah lama tidak pernah didengar. Si pemilik nama pun tidak pernah terlihat. Lalu kini, tiba-tiba saja hadir kembali? Hal yang tidak pernah terduga. Entah kenapa, ada sesuatu yang terasa di dalam tubuhnya, sebuah perasaan aneh yang membuat gelisah.


Akibat rasa terkejut yang dirasa, Illy tidak menyadari jika dirinya kini melamun. Mungkin, matanya tertuju pada Nicky. Namun, pikiran Illy kosong, memikirkan berbagai hal dengan kembalinya Liand. "Sayang." Sebuah usapan pada tangan membuat ia kembali pada kenyataan, segera menatap penuh kesadaran dan memasang senyum pada sang suami.


"Kamu melamun?" tanya Nicky.


Ia segera menggeleng saat mendapat tatapan menyelidik. Tidak ingin suaminya turut merasakan gelisah. "Tidak." Diam sesaat, ia masih berusaha menetralkan diri akibat dari rasa terkejut. Setelahnya, ia kembali memusatkan perhatian pada Nicky.

"Lalu, setelah perusahaan terjual, apa rencana kamu setelah ini?"
Laki-laki yang masih mengenakan kemeja dengan dua kancing yang sudah terbuka hanya mengedikkan bahu dengan tenang. Namun, terlihat sedikit ulas senyum dari wajahnya. Seperti beban beberapa hari lalu yang ditanggung menguap seketika.

"Bekerja, apalagi?"  Pasangan sejoli ini tertawa bersama. "Liand memperbolehkan aku bekerja di sana. Tentu saja, sebagai bawahan. Bukan bos lagi."


Ia pasang senyum hambar mendapati jawaban Nicky. Menatap tangan kekar yang kini beralih menggenggam tangannya. Ia menatap penuh pada bola mata sayu karena lelah. "Dengan ini, kita tidak perlu melepas rumah ini," ucap laki-laki yang sudah beberapa tahun menemani.

Dipandanginya sang suami yang tampak menelisik seisi rumah.
Rumah, ya. Ia pun turut memperhatikan setiap sudut kediamannya ini. Tempat yang menyimpan banyak cerita dan kenangan. Kenapa bisa lupa jika mereka hampir saja melepaskan semua ini?


"Apa pun keputusan kamu, aku akan selalu mendukung kamu,"  ucap Illy meyakinkan dengan membal suaminya. Mereka sama-sama melempar senyum, saling menguatkan satu sama lain.


"Ya sudah. Kamu mandi, gih! Aku siapkan makan dulu." Illy menatap punggung Nicky yang berlalu dengan senyuman. Meski di dalam hati kini berkecamuk segala spekulasi yang mengkhawatirkan, ia tidak akan menunjukkannya di depan sang suami.

Cukup beberapa hari lalu laki-laki yang kini menaiki tangga itu terbebani oleh masalah kantor yang tidak berakhir, di mana berujung pada mereka yang harus rela melepaskan peninggalan keluarga pada orang lain. Ia Menarik napas dalam, lalu mengembuskannya kasar. Memilih bangkit dan segera menyiapkan makanan.



Kaki kanannya dilangkahkan ketika ia keluar dari lift, bergerak pelan dan hati-hati agar orang lain yang ada di ruangan ini tidak menyadari kehadiran dirinya. "Pagi, Sisil," sapa Nicky yang berhasil membuat terkejut penghuni lantai ini. Merasa berhasil mengejutkan, senyum pun tak dapat ditutupi.


"Bagaimana kabarmu?" Kini, ia tengah berdiri di depan meja Sisil, mantan sekretarisnya dulu. Memasang senyum seperti biasa. Kedua tangannya menumpu pada meja, menopang tubuh antara papan nama bertuliskan nama lengkap Sisil.


Perempuan yang mengenakan kacamata baca mendongak dari berkas-berkas yang sedang dikerjakan saat mendengar seseorang memanggil, jangan tanyakan wajah terkejut itu. Lalu, ia mengangguk dan membalas senyuman saat tahu pelakunya adalah laki-laki yang kemarin masih menjadi atasannya.

Sisil bangkit dari tempat duduk, sedikit membungkuk untuk memberi hormat, kebiasaan yang belum bisa diubah. "Pagi, Pak Nicky. Kabar saya baik," jawabnya sopan.


Sisil memang selalu bersikap ramah pada siapa pun. Kebaikan dan kepribadian yang santun membuat Nicky tidak ragu mengangkat perempuan yang berasal dari desa, tetapi bertalenta ini menjadi sekretaris. Illy pun juga mengenal Sisil dengan baik.


Mendengar panggilan Sisil, Nicky berdecak dan mengibaskan tangan. "Aku sudah bukan atasan kamu lagi. Panggil Nicky saja, dan jangan bersikap formal lagi." Memang. Ia merasa tidak lagi pantas mendapat panggilan itu dari perempuan yang bukan lagi bawahannya. Bisa jadi, sekarang jabatan dirinya berada di bawah perempuan yang rambut panjangnya dikuncir kuda kali ini.


"Tapi, Pak—"


"Sudah," potong Nicky cepat. Ia kembali melempar senyum pada mantan sekretarisnya yang saat ini tampak memasang senyum canggung.

"Pak Bara ada di dalam?" Satu jari ia arahkan pada ruangan Bara yang berada tepat di samping kanan meja sekretaris, di mana saat ini terdapat pohon bambu buatan yang terletak di samping pintu sebagai hiasan.


Sisil mengangguk. "Ada, Nick." Suaranya terdengar ragu untuk terucap. Merasa kurang nyaman memanggil Nicky tanpa embel-embel 'Pak'. Mengingat dia hampir tujuh tahun menjadi bawahan laki-laki berjas hitam ini.


Nicky mengangguk dengan mulut membentuk huruf o. "Ngomong-ngomong, posisi kamu sebagai sekretaris aman, 'kan? Tidak diganti, 'kan?" Kekehan mengikuti pertanyaannya. Membuat perempuan baik hati yang dikenalnya turut tersenyum.


Sisil kembali mengangguk. "Aman, Pak--eh, Nic. Pak Bara malah meminta saya untuk membantunya dalam pekerjaan yang akan diambil alih.
Nicky bersyukur akan hal itu. Ia juga tidak ingin, jika pengalihan nama perusahaan akan berpengaruh pada karyawan yang ada. Apalagi, jika ada pemecatan. Kasihan mereka yang sudah lama mengabdi di tempat ini.

Menghela napas dalam, lalu menatap Sisil sekretarisnya dulu.  "Ya sudah! Aku mau masuk dulu."


Suara sepatu pantofel hitam terdengar beradu dengan keramik kala laki-laki mengenakan celana bahan hitam itu mendekati ruangan pemilik perusahaan ini. Sebelum masuk, tangannya terangkat untuk mengetuk pintu. Ya, hal itu harus dilakukan mengingat siapa dirinya saat ini.

Gerakan tangan sempat terhenti, tersenyum masam akan apa yang akan ia lakukan. Dulu, jika ingin masuk maka tinggal masuk saja, tetapi tidak saat ini. Karena ada orang lain yang harus dihormati berada di dalam sana.


Perempuan dengan kardigan merah bata yang sebelumnya berdiri di dekat meja, berjalan mendekat pada laki-laki yang masih diam di depan pintu, menatap heran akan apa yang dilakukannya. "Ada apa ... Nic?"


Tubuh tegap yang sedang melamun itu sempat terkejut saat mendengar seseorang bertanya dari samping. Namun, ia segera menetralkan kembali tingkah gelagapannya. Memasang senyum sebaik mungkin, berharap seseorang yang berada di sisi kanan tidak melihat raut wajah yang sempat tertunduk. "Tidak," jawabnya kemudian, lalu segera mengetuk pintu kaca hitam yang memisahkan dua ruangan.


Suara bariton yang memerintahkan Nicky masuk setelah mengetuk pintu membuatnya segera membuka dan langsung masuk. Pandangan Bara yang duduk di kursi bekas singgasananya terlihat. Bara tampak tekun mempelajari dokumen-dokumen di hadapanya tanpa memedulikan sekitar.

Sepertinya, Nicky menjual perusahaan pada orang yang tepat.
Ah. Memang iya. Tepat sekali. Bara adalah teman masa SMA-nya. Tentu ia mengenal baik sosok Bara. Sosok pemuda jenius yang menjadi idola semua murid perempuan kala itu. Nicky yakin, sampai saat ini pun pasti masih menjadi idola bagi kaum hawa.


"Apa kamu menemuiku hanya untuk memandangiku bekerja?" Suara berat milik pemuda yang duduk di kursi kebesarannya membuat kesadarannya kembali. Ia sedikit merutuki tingkah yang secara tidak langsung telah bersikap tidak sopan dengan memandang langsung atasannya.


"Maaf, Pak. Saya mau menanyakan, saya ditempatkan di bagian mana," ucap Nicky dengan sopan, sedikit menunduk dan menyatukan kedua tangan di depan tubuh.


Bara yang tadinya menunduk dan berkutat dengan dokumen, kini mendongak dan menatap Nicky. Ia bangkit dan berjalan mendekat. "Kamu akan saya tempatkan di bagian keuangan perusahaan," ucapnya tanpa basa basi.

Tangan diangkat menunjuk keluar ruangan, mempersilakan laki-laki di hadapannya untuk mengikuti.
Keduanya keluar dari ruangan, berhenti tepat di depan meja Sisil yang membuat perempuan itu segera bangkit dan turut menatap hormat akan keberadaan sang atasan. "Sisil, tolong antarkan Nicky ke divisi keuangan."


"Baik, Pak." Setelahnya, Bara berlalu menyisakan Sisil dan Nicky.


"Ayo!" Nicky mengangguk.


"Sebenarnya, aku tidak usah diantar. Toh aku juga tahu di mana ruangan divisi keuangan," ucap Nicky yang membuat Sisil tersenyum. Mereka berjalan beriringan menuju lift, sedikit menunggu pintu terbuka lalu masuk dan turun ke divisi yang sebelumnya Bara ucapkan.


"Ingat peraturan harus menghormati sesama karyawan? Baik karyawan baru dan lama. Juga saling membantu sesama karyawan," jelas Sisil. Keduanya tertawa di dalam lift.


"Kamu memang sekretaris yang cerdas, Sil." Nicky memuji perempuan yang kini tampak memasang senyumnya.


"Memang." Keduanya kembali tertawa. Saling bertukar cerita dan lelucon tanpa rasa canggung lagi.

🐈🐈🐈🐈🐈💭💭💭🐈🐈🐈🐈🐈

Selamat pagi.

Bagaimana kabar kalian? Baik semua, ya

🤗🤗🤗🤗🤗

Gas, kan baca Mas Bara

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top