🐈 Part 2 🐈
Your Wife is Mine
Part 2
🐈🐈🐈🐈🐈☁☁☁🐈🐈🐈🐈🐈
Tepat pukul lima sore, Nicky baru saja pulang dari kantor, melangkah gontai memasuki rumah dengan melonggarkan dasi yang terasa mencekik di leher. Sofa putih empuk yang menyambut di ruang tamu seolah memancing untuk duduk di sana, mengenyahkan rasa lelah karena bekerja seharian.
Namun, nyatanya tidak. Tempat nyaman yang saat ini diduduki tak dapat menghilangkan penat yang ia rasa. Pria dengan kemeja yang sudah digulung sampai siku itu menghela napas dalam serta memijit kening pelan, banyak masalah yang dipikirkan, dan tak kunjung menemui jalan.
Suara langkah kaki terdengar, ia mendongak dan mendapati istrinya turun dari lantai dua. Gerakan pelan dengan tangan yang berpegangan pada pembatas tangga, membuat sang istri terlihat anggun. Nicky berusaha memasang senyum dengan semanis mungkin, seolah dia dalam keadaan baik-baik saja.
“Baru pulang, Sayang? Kok, kamu enggak panggil aku?” Illy, wanita yang telah menjadi istrinya sejak tiga tahun lalu itu kini duduk di sampingnya. Pandangan bingung tercetak jelas dari gurat-gurat wajah, menimbulkan perasaan bersalah. Ya, memang tidak dipungkiri. Biasanya jika datang, dirinya akan mengucapkan salam dan memanggil sang istri dengan panggilan 'Sayang' yang cukup keras. Alhasil, senyumlah yang tersemat untuk perempuan manis ini.
“Mau minum?” Nicky mengangguk, memperhatikan dengan diam saat sang istri mulai bangkit. Ia pandangi punggung yang berlalu menuju dapur dengan pikiran yang penuh akan sesuatu. Tiba-tiba saja, ia mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu.
Peristiwa yang cukup sulit untuk dilupakan waktu itu. Namun, dengan risiko besar, keputusan yang diambil akhirnya dapat membawa ia ke titik ini. Sejujurnya, itu meninggalkan keresahan. Haruskah diungkapkan agar kehidupan bisa tenang?
"Minum dulu, Sayang." Suara lembut menyapa gendang telinga. Ia mendongak dan mendapati Illy yang sudah berada di hadapannya, berdiri dan mengulurkan sebuah gelas yang berisi jus jeruk, diminumnya hingga tandas. Rasa lega menjalari tubuh, terasa bulir-bulir jeruk yang melewati tenggorokan, asam dan manis berbaur menjadi perpaduan yang menyegarkan.
Nicky merasakan pijatan pada bahu dan lengan. Ia menoleh, memasang senyum melihat istrinyalah yang melakukan. Memangnya, mau siapa lagi? Mereka hanya tinggal berdua di rumah ini. Memang, meskipun sudah menikah selama tiga tahun, mereka belum juga mendapatkan momongan. Padahal, keduanya sudah sangat ingin mendengar tangis bayi di rumah yang terasa kosong ini. Setidaknya itulah yang Illy keluhan pada dirinya.
"Capek banget, ya?" Nicky menatap tangan yang terulur di depannya, lalu menatap si pemilik yang hanya menaikkan satu alis. Saat mata dengan bulu lentik itu tertuju pada gelas kosong di tangannya, tawa pun terdengar pelan ketika ia menyadari kebodohan yang dilakukan.
"Ya, ini," jawab Nicky. Pandangannya jatuh pada bahu kecil sang istri, menyandarkan kepala yang terasa pusing di sana, mulai memejamkan mata dan menikmati elusan tangan perempuan yang ia cintai. Tak menghiraukan suara kendaraan yang berlalu lalang di jalan depan rumah, meskipun suaranya terdengar jelas karena Nicky yang tidak menutup pintu utama.
"Bagaimana urusan kantor?" tanya Illy kemudian.
Nicky kembali menghela napas dalam, bangkit dari tempat bersandar ternyaman dan menatap Illy penuh sesal. Ia raih tangan istrinya dan menggenggam hangat, sedikit meremas tanpa menyakiti. "Maafkan aku. Aku gagal mempertahankan perusahaanku. Sepertinya, aku harus menjualnya," ucapnya lirih dengan pandangan sendu.
Nicky menunduk, tak lama kemudian kembali mendongak saat ia merasakan sebuah balasan genggaman. "Jika itu memang yang terbaik, maka lakukanlah." Guratan lelah yang terlihat jelas di wajah semakin menambah ia frustrasi.
Betapa ia tidak suka jika membuat Illy menatapnya kasihan. Namun, semua sudah terjadi. Perempuan yang mengenakan bolero brokat lengan pendek, rambut curly terurai indah, membuat Nicky bisa menguapkan penatnya. Apalagi senyum manis dan tutur kata yang baru saja ia dengar, jujur saja sangat menenangkan baginya.
"Almarhum orang tuaku pasti sangat kecewa denganku karena tidak bisa menjaga perusahaan peninggalan mereka." Ia menunduk, lalu mengusap wajah kasar. Tangannya bertumpu pada lutut sembari meremas rambut, memikirkan apa yang sebenarnya menjadi penyebab perusahaan berada di posisi seperti ini.
Nicky merasakan genggaman pada tangan, lalu tangan yang diturunkan dari kepala. Ia hanya diam saat tangannya digenggam erat oleh sang istri. "Tidak, Sayang. Orang tua kamu pasti mengerti dengan masalah yang ada. Mereka pasti juga mendukung keputusan kamu dari atas sana." Betapa besar hati perempuan di hadapannya ini. Sebelumnya, pernah terbesit di pikiran bahwa ia akan ditinggalkan oleh Illy. Bagaimanapun, secara kasar semua akan berubah. Kemiskinan tentu di depan mata setelah perusahaan terjual.
"Lalu, bagaimana dengan kamu?" tanya Nicky. Ada nada khawatir dalam ucapan itu, mengingat ada tiga orang di belakang Illy yang masih membutuhkan. Belum lagi, seorang adik laki-laki yang kini tengah menempuh pendidikan di bangku kuliah.
Sebuah lipatan pada kening Illy terlihat. "Maksudnya?"
"Setelah aku menjual perusahaan, kehidupan kita tentu tidak seperti dulu lagi. Kita akan jauh dari yang namanya kemewahan," jelasnya. Memang benar, kehidupan mereka pasti akan berubah drastis. Setelah perusahaan dijual, otomatis Nicky bukan lagi seorang pimpinan perusahaan. Mereka tidak akan sebebas dulu dalam berbagai hal, seperti belanja. Apa pun yang akan mereka beli nanti, pasti harus menyesuaikan dengan kantong.
Tanpa diduga, senyum terlihat pada wajah manis itu. Namun, tak lama kemudian iris cokelat itu berkaca. "Tidak apa-apa. Hidup itu kadang di bawah dan kadang di atas. Dan saat ini, mungkin kita sedang berada di bawah. Jika kita bisa berbahagia dengan kondisi kita saat di atas, maka kita juga harus menerima saat kita ditempatkan di bawah." Entah kenapa ucapan Illy yang dibarengi senyuman dan keyakinan pasti membuat hatinya berdebar. Tidak terasa, manis dari tarikan sudut bibir wanita di hadapannya ini menular seketika. Kata-kata yang sangat bijak.
Perasaan bangga akan sang istri menguat dalam diri. Dia memang tidak salah memilih Illy menjadi istrinya. Perempuan baik dengan kelembutan tutur bahasa dan sikap. Nicky meraih tubuh kecil itu, ia peluk dengan erat dan hangat. "Terima kasih," ucap Nicky. Tak segan membubuhi ciuman pada kepala wanita yang kini berada dalam rengkuhan, dengan senyum tak luntur dari bibitnya.
"Terima kasih sudah menerimaku apa adanya. Terima kasih sudah mau berada di sampingku apa pun kondisiku. Terima kasih, terima kasih," ucapnya sekali lagi. Samar-samar ia merasakan anggukan pada dada, semakin erat ia memeluk sang istri sembari ia goyangkan pelukan itu. Tak ayal, membuat keduanya terkekeh.
"I love you, Sayang. I really love you." Tawa renyah ia dengar dari bibir manis sang istri, sambil dilepaskannya pelukan itu dan menatap penuh pada wajah yang kini dipenuhi rona merah. Benar bukan, sedikit kata manis memang selalu berhasil membuat istrinya tersipu.
Nicky menarik kembali Illy dalam pelukan. "I love you too." Hingga balasan sebuah kata cinta dapat ia dengar, semakin menerbitkan senyum dan menambah cerah wajahnya. Perasaan gusar akan kondisi perusahaan kini sedikit terangkat. Semua ini, karena pendukung yang selalu setia berada di sisinya.
Nicky melupakan sejenak masalah, berjanji dalam hati, akan selalu bersama bagaimanapun masalahnya.
Bara masih berusaha mengumpulkan kesadaran. Meskipun telah menyadari bahwa masih berada di kantor, ia merasa nyawanya belum terkumpul sepenuhnya. Ia Menegakkan duduk dan sedikit merenggangkan otot. Tertidur dalam keadaan duduk, membuat punggungnya terasa sakit, belum lagi mimpi yang baru saja didapatkan, membuat kepalanya sedikit terasa pusing. Mimpi buruk, ya, mimpi buruk. Sesuatu yang kembali mengingatkan dirinya akan kesakitan yang dialami beberapa tahun lalu. Satu tanganya terangkat, bertumpu pada meja dan sedikit memberi pijatan pada hidung bagian atas. Sepertinya ia tertidur cukup lama.
Suara ketukan kembali terdengar, ia melirik jam yang ada di ruangan sebelah kanan. Pukul lima sore. Ah, benar, bukan? Ternyata dirinya tertidur cukup lama. Mengusap wajah kasar, ia siap menjalani kehidupan kembali dengan kesadaran penuh.
"Masuk!" titahnya. Tak lama, seorang laki-laki dengan setelan jas yang didominasi warna hitam memasuki ruangan. Seorang laki-laki dengan umur yang terpaut sepuluh tahun lebih tua dari dirinya, yang tak lain merupakan orang kepercayaan. Langkah tegap memasuki ruangan, menimbulkan suara cukup keras antara lantai dan sepatu pantofel yang ia kenakan.
"Ada apa, Johan?" Bara bertanya tanpa basa-basi. Kedua tangannya saling terpaut bertumpu di atas meja. Menatap dalam orang kepercayaan yang kini tengah berdiri tegap tanpa ekspresi di hadapannya. Siap menerima informasi yang memang penting dan ia butuhkan.
Johan sedikit membungkuk, menampakkan rasa hormat pada atasannya. Setelahnya berdiri tegap dengan sikap siap sempurna. "Saya membawa kabar tentang perusahaan keluarga Darendra, Tuan," ucapnya dengan tegas, tidak ada keraguan.
Wajah terlihat datar menampakkan tidak ada yang main-main dalam masalah yang ia tangani, sama seperti Bara. Matanya menatap tepat pada sang atasan saat ia berbicara.
"Katakan!" titah Bara. Satu tangannya kini tampak menopang dagu untuk mendengarkan informasi dari orang kepercayaannya.
"Tuan Nicky, pemilik perusahaan Darendra saat ini, akan menjual perusahaannya. Ia tidak lagi mampu membayar utang yang menumpuk pada bank. Belum lagi, sebentar lagi para karyawan mereka harus mendapatkan gaji," jelas Johan pada Bara. Informasi yang baru saja Bara dapatkan cukup membuatnya menerbitkan senyum misterius. Ah, lebih tepatnya sebuah seringai. Otak cerdasnya bekerja seketika, berbagai rencana cantik untuk balas dendam terangkai di benak sana.
"Jadi, rencana kita untuk membuat perusahaan Darendra kolab berhasil?" tanya Bara, salah satu alisnya terangkat juga bibir yang tersenyum dengan rasa puas. Ia memutar kursi, membuat ia bisa melihat padatnya kota Surabaya yang mulai dihiasi kelap-kelip lampu yang merata, tampak seperti jutaan kunang-kunang yang terbang bebas. Kebebasan. Ah, membicarakan itu membuat ia bertanya. Kapan ia bebas dari rasa tertekan ini? Kilatan sinar jingga hanya sedikit menyapa. Senja tak lagi mengintip, siap kembali ke peraduan.
Johan mengangguk sekali meski Bara tidak melihatnya, lalu menjawab, "Benar, Tuan."
Senyum Bara semakin tercetak lebar. "Baiklah! Siapkan semuanya, Johan. Besok pagi kita akan mendatangi perusahaan Darendra untuk membeli perusahaan itu," ucapnya dengan tegas. Senyum misterius itu tidak pernah hilang sedikit pun dari bibir. Siapa pun yang melihat itu, pasti akan tahu ada niat tersembunyi di sana.
"Siap laksanakan, Tuan." Bara mengibaskan satu tangan tanpa kata. Johan yang melihat itu pun mengerti jika ia sudah diperbolehkan keluar dari ruangan atasannya. Sebelum keluar, Johan kembali menunduk memberi hormat. Kebiasaannya yang ia lakukan meski Bara tidak melihatnya.
"Sisil, jika pemilik perusahaan D'Corp sudah datang, langsung saja persilahkan mereka masuk!" titah Nicky, ia berdiri di ambang pintu untuk memberi perintah pada sang sekretaris. Di depannya, seorang wanita dengan kemeja putih berkerah tampak mengangguk dari balik meja kerja. Patuh akan perintah yang baru saja diberikan.
"Baik, Pak." Setelahnya, pria dengan jas biru laut itu masuk ke ruangan, lalu melanjutkan pekerjaan sembari menunggu seseorang yang akan membeli perusahaannya. Mengingat itu, tidak dipungkiri kalau ada rasa sedih di hati. Ia mengamati ruangan tempat bekerja selama beberapa tahun ini, aroma bunga lavender yang menguat selalu menemani setiap hari.
Sebentar lagi, semua akan menjadi milik orang lain. Ya, begitu singkat.
Tak lama, suara pintu yang terletak di depannya terdengar diketuk. Tak lama, pintu terbuka dan menampilkan sosok wanita dengan rambut tergerai yang tidak lain sang sekretaris. "Pihak pembeli sudah datang, Pak?"
Nicky mengangguk. "Suruh saja mereka masuk." Sisil membalas dengan anggukan pula. Sebelum menutup pintu, sekretaris itu membungkuk sekejap.
Tidak lama, Sisil kembali memasuki ruang dengan dua orang laki-laki di belakangnya. Satu orang dengan jas berwarna navy yang membalut kemeja utuh di dalam, dan satu orang lagi berpakaian serba hitam berjalan sedikit di belakang.
Kehadiran mereka cukup membuat Nicky terkejut. Sosok di depannya adalah seseorang yang sudah lama tidak ia lihat setelah waktu itu. Ia sempat mematung di tempat. Oksigen seolah dirampas dari paru-paru, terasa sesak dan mengimpit dada.
“Li—Liand?" ucap Nicky tak percaya. Sungguh! Hal yang tidak pernah terpikirkan, bahwa ia akan bertemu lagi dengan seseorang yang saat ini berdiri tepat di hadapannya. Bertahun-tahun telah berlalu, tidak pernah sekalipun mereka bertatap muka. Dipandangi tamu penting yang ia punya, menelisik dari atas sampai bawah, mencoba meyakinkan diri akan apa yang dilihat. Tidak sopan memang, hanya saja semua masih belum bisa dipercaya.
Ketukan sepatu yang memenuhi ruang membuat Nicky melirik ke bawah sejenak, Buccheri hitam dengan model memanjang di bagian ujung, hak sepatu dengan tinggi dua sentimeter, juga garis tipis warna putih yang memanjang memutari sepatu terlihat membalut kaki yang masih melangkah mendekat. Tak lama kedua tamunya sudah berdiri tepat di depannya membuat mereka saling berhadapan, saling menatap satu sama lain tanpa ada kata yang terucap.
"Apakah saya akan menandatangani dokumen dengan berdiri?" Suara yang telah lama hilang kini memasuki indra dan menyapa gendang telinga. Ada sedikit perbedaan dari yang terakhir diingatnya. Suara itu terdengar lebih berat.
Nicky tersadar dari rasa terkejut, membuat ia sedikit gelagapan dan merasa tidak enak pada tamu pentingnya. "Ah, iya. Silakan duduk, Tuan …."
"Bara." Nicky terdiam sejenak saat mendengar lelaki di hadapannya memotong ucapan. Ia sempat tertegun kala laki-laki itu mengucapkan sebuah nama. Bara?
Kenapa Bara? Bukankah namanya Liand? Ya. Masih diingatnya dengan jelas bahwa nama orang yang tak lain sang sahabat ini adalah Liand. Apakah, mereka orang yang berbeda?
"Bara?" Akhirnya pertanyaan itu terlontar dari bibir Nicky dengan satu alis terangkat. Merasa tidak mengerti akan nama yang disebut oleh orang di hadapannya ini. Ia masih meyakini bahwa orang yang dilihatnya saat ini adalah sang sahabat. Perasaan bingung pun tidak bisa ia tutupi. "Bukankah nama kamu-"
"Ya. Nama saya Bara," jelasnya sekali lagi. Nicky masih menunjukkan wajah bingungnya. Apa yang ia alami saat ini benar-benar tidak bisa dipercaya. "Nama saya Bara. Bukan Liand yang seperti Anda sebutkan tadi."
"Benarkah?" tanya Nicky yang masih tidak percaya. "Bukankah nama kamu dulu Ali?" Entah kenapa, ia seperti tidak terima dengan nama lain yang disebut tamunya. Karena merasa sangat yakin bahwa yang ditemuinya saat ini adalah Liand. Sahabatnya dulu.
"Benarkah?" Laki-laki di hadapannya balas bertanya, seolah apa yang baru saja ia ucapkan bukanlah suatu kebenaran. Yang bisa Nicky lakukan hanya mengangguk dengan kaku. Ada rasa gamang yang dirasa saat ini. Mulai merasa ragu setelah melihat wajah meyakinkan tamunya.
Tak lama kemudian, Nicky melihat sebuah senyuman miring dari salah satu sudut pria yang mengaku bernama Bara itu. Seolah senyum meremehkan. "Mungkin saja," jawabnya acuh. "Tapi, bagi saya tidak penting mengingat masa lalu jika itu bukanlah hal yang berguna. Benar bukan, Pak Nicky?" Nicky hanya diam tanpa ada kata yang mampu ia ucapkan.
Beberapa saat kemudian, Nicky menarik napas dalam, menghirup udara sebanyak-banyaknya seolah baru saja kehabisan oksigen. Mau tidak mau, ia pun berusaha memasang senyum ramah. "Silakan duduk, Tuan Bara." Ditunjuknya bangku yang dipisahkan sebuah meja besar.
"Maaf, Tuan Nicky. Bisakah kita langsung pada intinya? Tuan saya memiliki jadwal yang cukup padat hari ini." Nicky mendongak, menatap seseorang berbeda tegap yang sedari tadi hanya diam di belakang tamunya. Mendengar ucapan barusan, ia mengangguk. Merasa bersalah telah mengulur waktu rekan bisnisnya.
"Bisa," jawab Nicky cepat, ia menatap Sisil yang sedari tadi hanya berdiri diam di sampingnya. "Dokumennya, Sisil." Tangannya diulurkan pada wanita yang memakai rok sepan berwarna hitam, meminta dokumen yang mereka butuhkan atas pertemuan ini.
Sebuah map berwarna hijau tua diraih, kemudian diambilnya dokumen di dalamnya dan segera diberikan pada tamu yang duduk dengan meja besar sebagai pemisah mereka. "Silakan dipelajari," ucap Nicky.
Saat laki-laki yang akan membeli perusahaannya mempelajari berkas, yang ia lakukan hanya diam sembari menatap lekat pada wajah yang dipenuhi keseriusan. Masih mencoba meyakinkan diri bahwa orang yang dilihat saat ini adalah benar-benar yang diduga.
Tamunya menoleh pada laki-laki yang berdiri dengan menyatukan tangan di depan tubuh, hingga dilihatnya sebuah anggukan yang membuat ia merasakan hal baiklah yang akan didengar. Kini, mereka saling menatap. "Tuan Bara membeli perusahaan Anda."
Nicky menampakkan wajah lega. Acara penandatanganan jual beli perusahaan berjalan lancar. Setelah ini, ia bukan lagi pemilik gedung megah yang masih bisa ditempati. Sebuah lembaran terulur di depan wajah, diterimanya dan dilihat nominal pembayaran yang menjadi kesepakatan.
"Terima kasih." Mereka saling berjabat tangan. Setelahnya, dua orang yang telah sah menjadi pemilik perusahaannya dulu pamit undur diri. Ah, setelah ini mungkin ia akan menghabiskan waktu untuk berkeliling gedung untuk terakhir kalinya.
Mengunjungi setiap divisi untuk sekadar menyapa mereka sebelum akhirnya tidak lagi bekerja sama. Sedikit memberi salam perpisahan mungkin. Bagaimanapun juga, banyak orang yang selama ini telah membantu mengembangkan perusahaan ini.
Ia segera membereskan berkas-berkas yang masih berserakan di atas meja. Namun, kegiatannya terhenti saat suara Bara terdengar memanggil. Ia mendongak, menatap tangan kekar berbalut jam tangan Panerai Luminor Marina PAM 111, dominasi warna hitam sebagai pengikat pada pergelangan tangan, juga kaca jam yang terdapat kristal dari safir.
"Pak Nicky, jika Anda mau bekerja di sini, saya cukup senang. Mengingat Anda lebih tahu banyak mengenai perusahaan ini, mungkin Anda bisa membantu mengembangkannya kembali."
"Ah. Terima kasih, Pak Bara." Setelahnya, dua orang penting itu benar-benar pergi dari ruangan. Meninggalkan Nicky yang memandangnya penuh tanya. Ah, rasa takut akan keadaan ekonominya yang akan berubah drastis sirna sudah karena tawaran itu.
Setelah sepuluh tahun berlalu, keduanya kembali dipertemukan. Liand-lah yang membeli perusahaannya, dan secara tidak langsung, Liand yang saat ini mengaku sebagai Bara telah menolong dirinya. Dia, yang dulu sempat melakukan pengkhianatan terhadap Liand.
🐈🐈🐈🐈🐈💭💭💭🐈🐈🐈🐈🐈
Hello
Apa punya kabar kalian 🤭🤭🤭
Masih ada kah yang baca ini.
Ayo Mom up ulang. Dengan sesuatu yang baru
udah siap peluk bukunya nggak?
😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top