🐈 Part 10 🐈
Your Wife Is Mine
Part 10
🐈🐈🐈🐈🐈☁☁☁🐈🐈🐈🐈🐈
Bara tengah duduk di tempat tunggu bandara kedatangan internasional. Sesekali mengecek jam Lange & Sohne Grand yang dikenakan. Jam mahal seharga tiga puluh tiga milyar lebih itu begitu apik melingkari pergelangan tangannya. Saat ini, ia tengah menunggu kedatangan seseorang. Pandangan masih terarah pada pintu kedatangan, tetapi belum terlihat seseorang yang ditunggu. Padahal, pesawat yang ditumpangi seseorang itu sudah mendarat sejak lima belas menit yang lalu.
Bara meraih ponsel yang berada di dalam saku, mencari sebuah kontak nomor yang akan dihubungi. Saat berhasil menemukannya, ia pun berniat untuk menghubungi. Namun, belum sempat menekan tanda panggilan, suara seseorang membuat ia mengurungkan niatnya.
"Honey!" Suara itu terdengar keras datang dari arah pintu kedatangan. Bara mendongak, ia menampilkan senyum kala mendapati seseorang yang ia tunggu sudah tiba. Ia Segera mengembalikan ponsel pada saku lantas bangkit dan berjalan mendekati perempuan itu.
Di seberang sana, perempuan cantik dengan rambut cokelat bergelombang menatap Bara penuh senyuman. Ia berjalan begitu anggun dengan koper di tangan kiri. Saat berdiri tepat di depan laki-laki yang masih mengenakan setelan jas rapi, perempuan itu segera berhambur memeluk tubuh kekar yang dirindukan.
"I miss you, Honey," ucapnya manja. Tidak peduli jika Johan yang berada tak jauh di sana akan bisa mendengar dengan jelas. Pelukannya pada Bara pun sangat erat.
"I miss you too, Sweetheart." Bara membalas pelukan perempuan itu, mendaratkan sekali ciuman pada pucuk kepalanya.
Setelah keduanya puas terhanyut dalam pelukan, mereka pun saling melepaskan. Namun, tangan keduanya masih setia bertengger di pinggang masing-masing. Saling melemparkan senyuman tanda kebahagiaan akibat pertemuan.
“Bagaimana penerbangannya, Lov?" tanya Bara, satu tangannya terangkat untuk menyematkan anak rambut wanita yang bernama Lova itu ke belakang telinga. Lalu kembali ia daratkan ke pinggang ramping milik wanita beriris hijau.
"Lancar," jawabnya. Sesaat kemudian, helaan napas terdengar dari Lova. "Tapi sangat melelahkan." Ia pasang wajah letih, berharap laki-laki di hadapannya mengerti.
Bara tertawa. "Kalau begitu, sebaiknya kita segera pulang agar kamu bisa beristirahat dengan tenang dan nyaman." Beralih merangkul posesif pinggang Lova dengan satu tangan, lalu membimbing untuk berjalan di sampingnya.
Johan, yang berdiri di belakang Bara dengan sigap meraih koper milik Lova. Ia segera berjalan membuntuti keduanya tanpa banyak bicara.
Lova memasuki mobil yang baru saja berhenti di depan keduanya, duduk manis di samping Bara. Saat mobil mulai melaju, senyum mengembang kala merasakan tubuhnya ditarik untuk bersandar pada pundak kekar milik Bara.
"Tidurlah, Sweetheart, kamu terlihat sangat kelelahan." Bara menepuk-nepuk pelan pundak Lova, perhatian kecil yang selalu membuat perempuan bule itu merasa nyaman.
Lova mendongak melihat wajah Bara dari bawah, rahang kokoh yang ia lihat semakin membuat laki-laki ini terlihat tampan di matanya. "Kenapa, hem?" Ah, pasti Bara tahu saat tengah diperhatikan.
Lova tersenyum. "Kamu semakin tampan," ucapnya dengan penuh senyuman.
"Aku tahu itu." Bara berucap dengan tenang tanpa menoleh pada perempuan dalam rangkulannya.
Bagi Lova, itu tidak masalah. Karena inilah Bara. "But, thanks." Mendengar itu, ia segera memeluk Bara dan menenggelamkan kepalanya pada dada bidang yang paling nyaman.
"Apa sesuai?" tanya Lova masih dalam pelukan Bara.
Bara membalas pelukan Lova dengan lembut. "Ya." Tidak ada lagi yang bersuara, hanya ada senyuman dari bibir mereka yang menemani sisa perjalanan.
☁☁☁
"Bagaimana?" Bara bertanya pada Lova. Ia meminta pendapat mengenai apartemen yang baru saja mereka masuki.
Lova menatap isi apartemen dengan senyuman dan tatapan kagum. Ia menatap Bara lalu berucap, "Kamu selalu mengagumkan. Pilihan kamu tidak pernah membuat aku kecewa, Honey."
"Of course. Because all of this is for you." Lova tertawa renyah, tawa yang menurut Bara selalu menambah kadar kecantikan perempuan ini. "You like it?"
Lova menatap Bara lekat. "Pasti." Sesaat kemudian, memeluk Bara erat.
"Kamu istirahatlah, aku harus kembali ke kantor. Ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan." Lova mengangguk, ia tidak mungkin menghalangi Bara untuk kembali ke kantor. Setelah mengantar ke pintu apartemen, berendam menjadi pilihannya. Menghilangkan penat hasil dari perjalanan nan jauh.
☁☁☁
Bara menghempaskan tubuh pada kursi kebesaran, merenggangkan otot yang terasa kaku. Merasa haus, ia segera meminta sang sekretaris untuk memesankan kopi pada OB. Kopi adalah hal yang menenangkan untuk saat ini. "Kau mau kopi, Jo?" tanyanya pada Johan yang berdiri tidak jauh dari dirinya.
Johan membungkuk sedikit. "Tidak, Tuan." Ya. Selalu seperti itu jawaban dari Johan. Memangnya Bara pikir apa?
Baru saja ia mengangkat pegangan telepon untuk menghubungi sang sekretaris. Suara pintu yang terbuka secara tiba-tiba dan kasar mengurungkan niatnya. Dua wanita Bara lihat di sana, membuat satu sudut bibirnya terangkat.
"Maaf, Pak Bara. Ibu Illy kembali memaksa masuk." Sisil, sekretarisnya, berucap. Bara mengangguk dan memberikan isyarat dengan gerakan tangan. Seperti biasa, sekretarisnya dan juga Johan yang mengerti apa maksud itu akan langsung meninggalkan ruangan.
Bara meletakkan telepon yang ada di tangan dengan gerakan pelan setelah pintu ruangan ditutup oleh Johan. Menyatukan jari-jari di atas meja, ia semakin menampilkan senyuman yang diyakini membuat satu perempuan di hadapannya merasa muak.
"Apa kabar, Ibu Illy?" tanya Bara berbasa-basi, senyum ramah pun ia ukir untuk menyambut tamunya.
"Tidak usah basa-basi. Apa yang sudah kamu lakukan kepada keluargaku dan suamiku?" Bara sudah menduga, pasti Illy akan datang dengan marah-marah. Apalagi tidak ada bahasa formal yang terlontar. Ah, ini pasti menyenangkan. Baiklah. Ia akan melayani.
Namun, seperti biasa. Bara akan menghadapi dengan santai dan tenang, karena jujur ia suka melihat perempuan ini marah-marah. Percayalah. Ada rasa puas dalam dirinya. "Memangnya apa yang aku lakukan?" tanyanya masih dengan santai. Lagi-lagi kebanggaan dapat dirasa kala melihat apa yang dilakukan berhasil menyulut emosi seseorang di hadapannya.
"Tidak usah mengelak. Kamu yang sudah membuat adikku kehilangan beasiswanya, dan kamu juga yang membuat suamiku masuk rumah sakit!" Terlihat Illy berucap dengan menggebu. Entah kenapa selalu seperti ini jika bertemu dengannya.
"Bagaimana aku melakukan semua itu? Tidak ada untungnya bagiku. Siapa kamu dan keluargamu sehingga aku harus repot-repot berurusan dengan keluarga pembual dan pengkhianat seperti kalian?" tanya Bara yang kali ini menatap tajam Illy.
Illy terpaku, merasa kehilangan kata-kata. Entah kenapa ia merasa tertampar akan ucapan Bara. Untuk sesaat ia merasa menjadi seorang yang sangat buruk. Akan tetapi, kemudian menggeleng keras. Kembali memberi Bara tatapan tajam.
"Dasar sombong. Kau—" Ucapan Illy terhenti kala ponselnya berbunyi. Ia segera menerima panggilan itu saat nama sang adik tertera di layar. "Halo," sapa Illy.
"Halo, Kak. Rizal minta bantuan sama Kakak. Rizal harus membayar uang semester ini. Jika tidak, Rizal akan dikeluarkan."
"Apa?" Suara Illy tercekat. "Ba—bagaimana bisa? In—" Illy tidak lagi melanjutkan kata-kata yang ingin ia ucapkan. Ada apalagi ini? Illy melirik Bara yang masih menampakkan wajah tenang, ekspresi yang jujur saja membuat ia ingin menamparnya.
"Kakak hubungi nanti." Illy memutuskan panggilan dengan sang adik. Menatap Bara dengan tajam kembali. "Ingat, Bara. Masalahmu denganku, bukan dengan keluargaku. Berhenti mengganggu mereka," Illy berucap dengan memberi tatapan ancaman.
Bara tersenyum tipis, ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. "Apa untungnya aku mengganggu keluargamu? Tidak ada untungnya bagiku." Mata Illy yang melotot membuatnya ingin tertawa.
"Memang, aku ingin menghukummu atas apa yang kaulakukan padaku." Kali ini, Bara menatap Illy tajam. Tatapan kebencian dan kemarahan masih ada di sana. Baginya, dua hal itu semakin membesar.
"Tapi dengan memenjarakan suamimu, itu sudah cukup bagiku." Kali ini, senyum miring itu kembali terlihat di bibir Bara.
"Meski aku sedikit membuat kejutan dengan toko orang tuamu." Tawa Bara terdengar menggelegar dan puas. Membuat Illy menampakkan wajah kemarahan. Kemarahan yang membuat Bara sangat bahagia.
"Keterlaluan!" Illy pergi begitu saja dengan membanting pintu ruangan Bara. Illy dengan cepat berjalan mendekati lift, menekannya dengan tidak sabaran. Saat lift tak kunjung terbuka, ia memilih beralih pada tangga darurat. Beruntunglah masih bisa diingat di mana letaknya.
Tanpa ingin berlama-lama berada di kantor Bara, Illy menuruni tangga darurat dengan cepat. Namun, lagi-lagi langkahnya harus terhenti saat ponsel kembali berbunyi. Kali ini, nama sang ayah yang tertera di layar. Memejamkan mata sejenak, berharap tidak ada hal buruk lagi yang terjadi.
Namun, harapan Illy tinggallah harapan, saat ponsel berhasil ia dekatkan pada telinga, sebuah kabar buruk kembali didapat. Kabar buruk yang membuat langkah menjadi lemah, membuatnya terduduk di anak tangga.
Tanpa diketahui Illy, di atas sana, Bara menampakkan senyum miringnya dengan melipat tangan di depan dada. Aura kepuasan bisa dirasakan melihat kondisi perempuan yang kini sedang mendapatkan masalah bertubi-tubi.
🐈🐈🐈🐈🐈☁☁☁🐈🐈🐈🐈🐈
Pagi semuaa.
Nunggu lama, ya. 🙏🙏🙏🙏🙏🤗🤗🤗🤗
Kuy baca
Jangan lupa vote dan komen
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top