🐈 Part 1 🐈

Your Wife ia Mine

PART 1


Jalan Raya ITS Surabaya tampak lengang siang ini. Kendaraan yang biasanya padat merayap, kini terlihat berpacu dengan cepat. Mungkin karena bukan waktunya para pekerja kantor pulang ataupun berangkat. Bukan hanya mereka, para pengejar ilmu pun baru akan pulang beberapa menit lagi. Sehingga kendaraan saat ini tidak perlu berjubel dalam kemacetan.

Pengemudi yang melintas pelan bisa menikmati indahnya jajaran tumbuhan tabebuya yang ditanam sepanjang ruas jalan protokol. Pohon yang sudah ada sejak sepuluh tahun lalu itu tumbuh lebat dan asri, tampak hijau dan menyegarkan, cukup mampu menyeimbangkan sirkulasi udara kota Surabaya yang selalu dipenuhi polusi. Daunnya yang rimbun dan sedikit menjorok ke trotoar, dapat melindungi pejalan kaki di bawahnya dari sengatan matahari. Sesekali, dedaunan yang sudah menguning jatuh mengotori bumi. Beruntung pemerintah kota sudah menyediakan jasa kebersihan yang selalu sigap mengumpulkannya.

Daihatsu Copen menjadi salah satu kendaraan yang melintas di jalan. Kendaraan roda empat itu dikendarai oleh seorang pemuda bernama Alliand Aldebaran Pradipta. Liand, begitulah ia biasa dipanggil. Laju roda mulai memelan kala tempat yang dituju telah terlihat.

Tak lama kemudian, mobil sport dua pintu dengan rancangan atap terbuka itu berhenti di bahu jalan, tepat di seberang Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Surabaya. Kuda besi berwarna merah itu mampu menarik perhatian beberapa orang yang beraktivitas di sekitar, merasa heran akan keberadaan mobil mewah—yang pastinya bernilai fantastis—di lingkungan sekolah. 

Pintu bagian kemudi terbuka, menampilkan sosok berumur dua puluh tahun dengan kacamata bertengger manis di hidung mancungnya. Pemuda dengan setelan slim fit dan sweatpants yang disempurnakan dengan jaket bomber itu menutup pintu, lalu menyandarkan tubuhnya pada sisi mobil, menekuk satu kaki dan melipat kedua tangan di depan dada. Terkadang, ia menurunkan kakinya dan menggoyangkan ke kanan dan kiri.

Iris Liand berpusat pada bangunan yang didominasi warna hijau muda di depan dengan tembok setinggi orang dewasa tampak mengurungnya. Namun, ia masih bisa melihat tanaman pucuk merah yang ada di dalam pagar sekolah. 

Ia mengalihkan pandangan pada tangan. Swiss Army—jam tangan berdesain stylish anti air yang menjadi salah satu kesukaannya--melingkar indah pada pergelangan. Waktu menunjukkan jam tiga kurang, membuat ia menerbitkan senyum, sebentar lagi dia akan bertemu dengan seseorang yang spesial baginya. 

Ia kembali mendongak, memperhatikan gerbang dengan pilar hitam sebagai penopang, serta tulisan yang menandakan identitas nama sekolah tercetak jelas pada bagian atas. Suara nyaring terdengar dari baliknya, menandakan sesi pembelajaran telah usai.

Beberapa menit kemudian, lautan manusia berseragam putih abu-abu berhamburan keluar, baik yang berjalan kaki maupun memakai sepeda motor. Siswinya ada yang memakai kerudung dan tidak. Jangan ditanyakan lagi, keberadaan pria itu langsung menjadi pusat perhatian, terutama bagi para siswi. Wajah mereka yang lelah tiba-tiba saja merekah.

Namun, perhatian pemuda bercelana jin sobek itu hanya tertuju pada salah satu murid perempuan yang kini tampak berdiri dengan muka terkejut. Kakinya yang terbalut sepatu olah raga bergerak tanpa dikomando, mendekati gadis yang memang sedang ia tunggu. Senyum tak pernah luntur dari bibirnya, membuat kaum hawa semakin terpesona saat melihat. Tepat saat ia berdiri di depan gadis itu, ia menyapa, "Hai!" 

"Kamu, kok, di sini?" Pertanyaan yang ia dengar membuatnya terkekeh, tetapi juga  menerbitkan wajah cemberut seseorang di depannya. Tingkah yang selalu membuat pemuda itu gemas dan ingin mencubit pipinya.

Namun, ia menyadari di mana mereka kini berada, jangan sampai mereka melakukan drama yang akan menjadi tontonan gratis di depan gerbang sekolah. Ia juga tidak ingin membuat dirinya dan sang gadis berponi ini malu di depan umum.

"Ya mau jemput kamu, lah, Sayang!" Illy, gadis yang masih berseragam SMA itu adalah sang kekasih. Liand tersenyum kala melihat semburat merah yang tercetak di pipi gadisnya. Pipi yang putih, sangat kontras dengan warna semu yang berhasil ia ciptakan karena panggilan 'Sayang'.

"Yuk, pulang!" Sebuah anggukan ia dapat, kemudian tangan halus itu segera ia raih dan menariknya pelan menuju mobil yang terparkir di seberang jalan. Dalam hati ia merasa yakin, jika apa yang ia lakukan telah membuat gadis yang tangannya ia genggam ini menjadi salah tingkah.

Ocehan Illy menghiasi perjalanan mereka, gadis energik yang duduk di sampingnya sekarang bercerita tentang banyak hal. Meskipun ada beberapa yang tidak Liand mengerti, tetapi melihat antusiasme yang terpancar membuatnya bahagia.

Mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan sebuah rumah minimalis keluarga Bachtiar. Rumah yang didominasi warna putih itu tampak asri, dengan berbagai jenis tanaman tumbuh di halaman. Tatanan paving begitu rapi sebagai jalan setapak, memisahkan rumput taman yang tumbuh di sisi kanan dan kiri.

Di sisi tangga yang menuju teras rumah, terdapat pot besar dengan tanaman bunga mawar kuning. Belum lagi bunga anggrek yang ditanam pada pot kecil dan digantung di bagian atas, semakin menambah kesan teduh nan menyejukkan.

Liand menoleh pada Illy, melemparkan senyum pada sang kekasih. “Aku langsung pulang, ya?” Tangan Liand terulur membelai kepala Illy dengan sayang, mengelus rambut halus, hitam lurus beraroma stroberi yang selalu menjadi kesukaannya. 

"Enggak apa-apa. Kamu hati-hati, ya?” ujar perempuan itu.  

Liand mengangguk. Ia menarik Illy dan mendaratkan satu kecupan di kening, sedikit mengelus pipi gadisnya.

Liand tidak melepaskan pandangan dari Illy yang keluar dari mobil, turut membungkuk untuk mengucapkan salam perpisahan sebelum ia melaju pergi. Tepat saat itu, Liand merasakan perbedaan yang nyata, di mana tidak lagi terdengar suara Illy yang menghiasi.

Ia kembali memandang kursi yang sebelumnya ditempati oleh Illy, saat itulah ia tidak sengaja melihat sebuah dompet berwarna biru yang tak lain milik kekasihnya. Ia tersenyum dan menggeleng saat menyadari Illy telah melakukan kecerobohan. Namun, dikarenakan rumahnya sudah dekat, ia lebih memilih pulang terlebih dahulu. Setelah ia membersihkan diri, ia akan mengembalikan dompet itu. 


Mobil yang dikemudikan Liand melambat saat hampir sampai di rumah Illy, lalu berhenti di depan rumah dengan pagar besi warna biru itu. Bukan tanpa alasan ia menghentikan kendaraan, semua ini karena ia melihat keberadaan sang kekasih yang tengah berdiri di depan pagar. Bukan, bukan hal itu yang menjadi pusat perhatiannya. Akan tetapi, keberadaan orang lain di hadapan Illy.

Gadis tujuh belas tahun yang memakai kaus putih dengan tulisan Fali dan rok di atas lutut itu, tengah berbicara dengan seseorang yang menggunakan jaket Levis biru tua dan helm biru. Dilihat dari motornya saja, sudah jelas itu laki-laki. Kening Liand berkerut. Ah, motor itu ... kenapa Liand seperti mengenalnya?

Liand menatap Illy yang menaiki motor dan dibuat terkejut saat tangan yang biasa ia genggam kini memeluk orang lain. Ketika motor yang ia lihat mulai bergerak, dengan segera ia menghidupkan mesin mobil dan menjalankannya untuk mengikuti dua orang yang berboncengan itu. Ia sedikit memberi jarak, tak ingin diketahui oleh keduanya.

Sampai akhirnya, ia menghentikan mobil saat melihat motor yang dibuntuti berhenti. Liand melihat tempat sekitar dari balik kaca, pepohonan tinggi dan beberapa tempat duduk, taman kota. Liand menunggu sejenak, menunggu untuk mengetahui siapa sosok yang membonceng kekasihnya.

Ia sempat menebak seseorang, karena merasa mengenal motor tersebut. Namun, motor seperti itu tidak hanya satu. Ada  banyak orang yang bisa memiliki motor dengan merek model bahkan warna yang sama pula. Ia tidak ingin membuat dugaan yang salah. Apalagi jika ia asal menebak, maka akan ada dua hubungan yang dipertaruhkan.

Namun, betapa terkejutnya ia saat pemuda yang membonceng Illy melepaskan helm yang dikenakan. Ternyata dugaannya akan sosok itu benar. Ia benar-benar mengenali pemuda itu, bahkan sangat mengenalnya. Pertanyaannya saat ini, apa yang mereka lakukan di sini? Belum lagi, sikap keduanya terlihat begitu mesra, persis sepasang kekasih.

“Nicky,” ucap Liand tak percaya. Meski sebelumnya ia sudah menduga, rasa terkejut tak dapat ia hindari kala hal itu benar adanya. Pemuda berkaus putih itu segera melepaskan sabuk pengaman saat dua orang yang ia buntuti berjalan memasuki taman. Belum lagi, keduanya saling berangkulan dan bercanda dengan tawa yang menghiasi. Berbagai spekulasi pun menari di pikiran, bermacam pertanyaan campur aduk di dalam otaknya.

Liand terus membuntuti Illy dan Nicky. Langkahnya menyusuri jalanan setapak dengan mengambil jarak dari keduanya. Ia segera berhenti saat melihat kedua orang itu duduk di salah satu kursi taman, jangan lupakan tangan Nicky yang masih bertengger manis di pundak Illy.

Mereka terlihat tertawa bersama saat salah satu dari mereka menghentikan pembicaraan. Sayangnya, Liand tidak dapat mendengar obrolan mereka. Ia menoleh, mengamati sekitar, mencari tempat agar bisa mendekat pada dua orang yang sedang ia curigai, berharap ia bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. 

Pandangan tajamnya terpaku pada sebuah pohon yang berada tak jauh dari dua sejoli yang masih sibuk bercanda, ia memutuskan untuk berdiri di sana. Tepat saat ia sampai, ia dapat mendengar pembicaraan antara keduanya.

Ketika ia mendengar dengan jelas ucapan Nicky, kedua tangannya terkepal erat di sisi tubuh sampai membentuk urat-urat yang tercetak jelas pada kulit putihnya. Kemarahan tiba-tiba saja merasuki tubuh, merayap dan menjalar memenuhi setiap sendi, siap untuk diluapkan ke permukaan. 

Tubuh Liand menegang seketika. Kedua orang yang ia kenal tidak lagi saling melontarkan kata-kata. Namun, apa yang kedua orang itu lakukan membuat darahnya mendidih seketika. Di sana, Illy sang kekasih, dengan Nicky yang tak lain adalah sahabatnya, tengah berada di posisi yang tak mampu Liand jabarkan.

Nicky mulai mengikis jarak wajahnya dengan gadis yang masih berstatus kekasihnya, satu tangan Nicky terlihat menekan tengkuk Illy. Yang benar saja, ini tempat umum. Akan tetapi, kedua orang itu seolah tidak peduli. Hingga— 

Suara ketukan pintu membuat Bara terkejut, hingga mengangkat kepala yang sebelumnya bertumpu pada meja. Ia mengucek matanya kasar, berusaha menyadarkan diri akan keadaan, mengamati tempatnya berada saat ini. Sebuah ruangan sunyi tertangkap indra penglihat, dengan meja yang masih menjadi tumpuan tangan dan berbagai berkas di atasnya.

Ia larikan pandangan pada sekitar, mendapati sofa di sudut kanan dari tempatnya. Saat itulah ia menyadari di mana ia berada. Ruang kantornya. Ternyata mimpi masa lalu baru saja menyambangi dirinya.

Bara memutar kursi yang ia duduki, beralih memandang kaca dinding dari ruangan, menampakkan padatnya kota Surabaya yang mulai ditelan malam. Bara menghela napas dalam, menyandarkan punggung pada kursi dan mengusap wajahnya kasar. Mimpi.

Mimpi itu lagi. Datang bak pengingat untuk dirinya, akan sebuah dendam yang tertanam dalam diri sejak lama. Rahang Bara tiba-tiba mengeras, matanya melotot pertanda kemarahan. Menatap nyalang pada langit-langit ruangan. Kilatan amarah begitu terlihat jelas, giginya gemeletuk dengan kedua tangan mengepal.

Mencoba menahan gejolak amarah yang mulai tersulut, membesar seperti api dan membara. Hawa dingin yang tercipta dari pendingin ruangan seolah kalah dari panasnya dendam yang berkecamuk dalam dada. 

Dendam. Ya, dendam. Dendam itu ... harus segera terbalaskan.


Hay.
Hay.
Hay.
Selamat pagi.
Mari bersama mulai hari

UPS. Mom copas lagu🤭🤭🤭🤭

Kuylah merapat.
Baca-baca dan kasih votenya

Jangan lupa komennya ☺️☺️☺️☺️

😘😘😘😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top